Bab 06

1326 Words
Secangkir kopi yang masih mengepul dan setoples wafer sudah terhidang cantik di atas meja ruang tamu. Tampak seorang pria sedang mengamati seisi ruangan yang sekarang ia tempati. Satu set lemari kaca berserta isinya menjadi pembatas antara ruang tamu dengan ruang tengah. Dua kamar tidur. Dan dari tempat duduknya saat ini, ia dapat melihat ruang makan yang letaknya di belakang, tepatnya bersatu dengan dapur. Sungguh rumah yang sangat sederhana, bahkan meskipun kecil, rumah ini sangat rapi dan bersih. Gadis yang duduk di hadapannya kini menunduk karena malu dengan kejadian tadi. "Apa kau tinggal sendiri di sini?" "Hah! Apa?" ternyata gadis ini masih dengan dunianya sendiri. "Apa kau tinggal seorang diri di sini?" ulang pria itu. Matanya tidak lepas menatap gadis berkerudung coklat dan bergamis hitam di depannya. Kalaulah gadis itu mahramnya sudah ia uyel-uyel saking gemasnya ia melihat gadis itu. Apalagi dengan pipi yang merona. "Iya, saya tinggal sendiri," jawabnya masih menunduk. "Kenapa kau terus-terusan menunduk? Apa belum kau temukan sesuatu yang kau cari tadi?" "Hah! Apa? Oh ... ti-tidak ada." Gadis itu mendongak seraya menggaruk pelipisnya karena gugup. "Hahaha ... kau itu benar-benar lucu." Pria itu tertawa melihat reaksi gadis di depannya yang tampak menggemaskan. Gugupnya tidak bisa gadis itu tutupi. Mendengar kata-kata "lucu" yang meluncur dari bibir pria di depannya, Nurul mendelik sebal. Hilang sudah kegugupannya. "Kalau Pak Fatih ke sini hanya untuk meledek saya, lebih baik Pak Fatih pulang sebelum saya usir dari sini." Ada nada ketus dalam kalimat sang gadis. "Wah... Wah... Wah...! Ini yang saya suka dari kamu, bukan seperti tadi yang hanya diam tanpa bersuara. Baiklah, saya ke sini hanya ingin melihat keadaanmu. Ke mana saja kau seharian ini? Tidak tahukah kau, bahwa saya mencemaskanmu?" akhirnya pria itu mengutarakan maksud kedatangannya. "Anda tidak perlu mencemaskan saya, anda itu bukan siapa-siapa bagi saya. Tolong jangan beri saya perhatian yang berlebih, karena...." Gadis di hadapannya itu menjeda kalimatnya. Ada keraguan di sana. "Karena apa...?" tanya Fatih penasaran. "Karena ... Aahh...! Pokoknya saya tidak mau anda memberi saya harapan dengan cara perhatian anda tersebut, titik!" "Hahaha...! Kalau aku tidak mau, bagaimana?" Tawa terpatri dari wajah Fatih ketika melihat wajah sang gadis bersemu merah. "Oh ya! Satu lagi, mulai sekarang panggilan kita jangan lagi secara formal seperti itu, aku ingin dekat denganmu. Kalau panggilan saja masih 'anda dan saya' bagaimana bisa kita menjadi dekat?" Mata Nurul melebar tatkala mendengar ocehan lelaki di depannya ini. Apa dia tidak salah dengar? Atau jangan-jangan ada yang tidak beres dengan otak pria ini? "Bukannya Anda sendiri yang ngomong seperti itu?" ia mengernyit menatap wajah Fatih yang dipenuhi dengan senyuman. Ia tatap lama, kemudian baru ia sadari bahwa pria yang ada di hadapannya ini ternyata terlalu tampan. Mata yang menatap tajam bagaikan elang, hidung mancung, alis tebal, semuanya pas, namun sayang ada aura dingin yang menyelimutinya. Tiba-tiba ia bergidik ngeri. @@@ Sekembalinya lelaki berperawakan besar lagi gagah dari rumah makan bernuansa Melayu tadi siang, pikirannya tidak menentu. Apalagi setelah menyicipi kopi yang diseduh oleh wanita bertubuh gendut tadi pagi masih bergelayut manja di ingatannya. Ia berjalan mondar-mandir di kamar yang ia tempati selama ini. "Dddrrrrttt... Dddrrrttt...!" Langkah kakinya berhenti tatkala ponselnya bergetar. Ia mendekat kemudian meraih ponsel yang bergambar apel tergigit sebelah itu. Lama ia mengamati sebelum akhirnya smartphone yang digenggamnya berhenti begitu saja. Tidak berlangsung lama, ponsel itu kembali bergetar. Mau tidak mau ia harus mengangkatnya sebelum ia dipecat menjadi anak yang menghubunginya ini. "Halo, Ma!" "Daniel...! Kemana saja kamu selama ini, Nak? Mama mengkhawatirkanmu, Sayang...!" terdengar isakan di seberang sana. Lelaki yang bernama Daniel itu hanya mendesah saat mendengar tangisan ibunya. Sudah hampir lima bulan ini ia pergi dari rumah, menghindar dari tekanan papanya yang selalu membanding-bandingkannya dengan sang kakak. Selama ini ia hanya diam saja, namun semakin hari Papanya semakin memaksakan kehendaknya untuk menikahkannya dengan anak rekannya. Ia tidak mau dipaksa seperti itu, ia tidak ingin seperti kakaknya, sudah ada seorang wanita yang mengisi relung hatinya. Dari dulu sampai sekarang rasa itu tidak pudar. "Ma, Mama tenang, ya, Ma, aku baik-baik saja. Mungkin dalam waktu dekat ini aku tidak bisa kembali dulu, ada hal yang harus aku lakukan," ucapnya menenangkan sang mama. "Mama harap kau baik-baik saja di sana. Mama minta maaf karena tidak bisa melindungimu." Nada penyesalan dari Mama membuat Daniel merasa bersalah. Ia tahu, selama ini hanya sang mama yang selalu berpihak kepadanya meskipun secara diam-diam, sedangkan papa jangan harap. Ia selalu memaksakan kehendak asalkan mendapat keuntungan termasuk dalam hal pernikahan bisnis yang menguntungkannya. Sudah cukup selama ini ia mengenal para wanita yang hanya mengincar hartanya saja. Ia tidak akan tertipu lagi, makanya ia mengganti penampilannya seculun dan selugu mungkin, karena ia ingin mencari wanita yang menerima apa adanya ia bukan ada apanya ia. Selain itu, ada satu rahasia yang Daniel sembunyikan dari keluarganya. Rahasia besar yang menyangkut dengan pekerjaannya. "Iya, Ma! Mama tenang saja, aku akan pulang saat aku sudah mendapatkan dan menemukan apa yang aku cari. Sudah ya, Ma, aku mau istirahat dulu. Bye Mam, i love you... Mmuuach!" Daniel menutup pembicaraannya lalu menghempaskan setengah tubuhnya ke atas kasur dengan kedua kaki menjuntai ke bawah. Ia tatap langit-langit kamar dengan pikiran menerawang ke mana-mana. Hening. Hanya terdengar embusan napasnya yang ia keluarkan secara kasar dan berat, seakan ada begitu banyak beban yang menghimpit dadanya. "Aku harus mencari tahu siapa wanita itu...," gumamnya pada dirinya sendiri. @@@ Malam sudah sangat larut. Di tempat tidurnya Fatih bergerak-gerak gelisah. Ia meraih ponsel dan melihat jam sudah pukul setengah satu. Masih terlalu dini baginya untuk bangun, namun hati yang gelisah tak dapat ia tenangkan. Akhirnya ia bangun dan menyambar jaketnya, melangkah dan membuka pintu. Seketika ia bergidik saat angin dingin menerpa wajahnya. Dengan santai ia berjalan membelah malam. Di ujung jalan yang gelap, tampak semburat cahaya dari rumah tersangka yang membuat ia gelisah sepanjang malam ini. Sedangkan si pemilik badan tidak menyadarinya sama sekali. Sungguh membuat kacau hati dan pikirannya. "Untuk apa aku pergi ke sana?" ia bertanya pada dirinya sendiri ketika ia sadar akan tujuannya. Kemudian ia berbalik. Namun lima menit kemudian, dengan agak linglung ia sudah berdiri di depan rumah yang masih bercahaya meskipun malam sudah beranjak dini hari. Dengan hati-hati ia melangkah agar tidak menimbulkan suara, kemudian ia duduk di bangku depan rumah dan mengamati suasana malam di sekitarnya. Sayup-sayup terdengar lantunan indah dari sang empunya rumah membuat Fatih merasa tersihir. Alangkah indahnya suara wanita itu dengan lantunan kalamnya. Ia menghayati setiap bacaan yang menyapa gendang telinganya. Sebaris senyum hadir di bibirnya ketika suara itu menutup bacaannya. Jangankan membaca, mendengarnya saja sudah membuat hati tenang dan damai. Al-Qur'an. Ya, Al-Qur'an adalah Kalam Allah yang bisa menenangkan hati yang gelisah. "Mas Fatih...?!" Fatih terhenyak ketika di belakangnya suara wanita menyapanya. Ia tidak menduga bahwa kedatangannya diketahui oleh sang pemilik rumah. Ia menoleh dan mendapati wanita yang membuatnya gelisah sesaat tadi mengintip dengan gurat wajah terkejut di balik gorden jendela. Ada rasa lega saat ia melihat wanita itu meskipun hanya melalui celah jendela, namun tidak menampik hadirnya sebuah senyuman yang terbit dari wajahnya. Sedangkan wanita itu bergeming, diam tak bersuara menetralisir detak jantungnya. Setelah kepulangan pria di depannya menjelang magrib tadi, ia tidak menyangka bahwa sang pria akan kembali lagi. "Mas Fatih, ngapain Mas Fatih ke sini?" Ya, sekarang ia memanggil pria itu dengan sebutan Mas, akhirnya ia menuruti permintaan Fatih agar mereka menjadi dekat. Namun semua itu tidaklah mudah, karena ada syarat yang harus dipenuhi oleh sang pria. Namun, sampai sekarang syarat itu belum di kemukakan olehnya kepada lelaki bercambang tipis di depannya saat ini. "Aku tidak tahu kenapa, tapi yang pasti saat ini aku hanya ingin melihatmu saja. Ngomong-ngomong kenapa jam segini kau belum juga tidur?" Bukannya menjawab, ia bahkan menanyakan hal lainnya kepada Fatih, "Apa yang kau lakukan di depan rumahku, Mas? Tidak enak dilihat orang, tengah malam begini Mas ada di depan rumah seorang wanita, lebih baik Mas pulang sekarang, ya." Seketika Fatih tersentak. Ia tidak percaya gadis di balik gorden jendela itu mengusirnya begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD