Satu buah sepeda motor sport sejak tadi berhenti di depan rumah makan tempat Nurul bekerja. Pengendara itu tidak membuka helm, ia duduk mengamati aktivitas yang sedang berlangsung di dalam sana.
Tampak Fatih sedang melayani salah satu pelanggan. Hari ini ia mulai bekerja sebagai pelayan di rumah makan tersebut. Dengan susah payah, Nurul merayu manajernya untuk menerima Fatih bekerja. Akhirnya, usaha Nurul tidak berakhir sia-sia. Fatih diterima dan sekarang ia mulai bekerja.
Pengendara motor Kawasaki Ninja mulai bergerak. Ia turun dan melepaskan helm-nya. Rambut gondrong yang ia miliki tampak berantakan diterpa angin malam. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Jam menunjukkan angka delapan malam. Pastas saja rasa lapar membelilit perutnya sejak tadi. Dengan langkah mantap, pria berambut gondrong tersebut masuk ke dalam. Suasana tampak begitu ramai.
Ketika si pengendara memasuki rumah makan, tanpa sengaja ia bertubrukan dengan wanita pelayan yang badannya... obesitas? Kelebihan berat badan lebih halus mungkin dari pada obesitas.
"Maaf, saya tidak sengaja." Wanita itu menunduk dan berulang kali meminta maaf karena kecerobohannya.
"Ckk...! Mengganggu saja!" desisnya lalu berlalu tanpa memperdulikan wanita yang menunduk, menyesal.
Fatih yang melihat kejadian itu langsung mendekati wanita tadi dan bertanya dengan nada khawatir, "apa yang terjadi, Mama? Apa kau baik-baik saja?"
Wanita yang tengah menunduk itu terperangah mendengar panggilan yang baru saja Fatih berikan untuknya. Ia mendongak dan menatap Fatih dengan kesal.
"Kenapa kau memanggilku Mama? Cukup mereka saja yang memanggilku dengan sebutan "Mak" jangan ditambah lagi denganmu."
"Bukannya namamu Nurul Mawaddah?" Fatih menekankan kata "Ma" supaya gadis di depannya mengerti.
"Iya, tapi...."
Fatih langsung menyela, "nah! Berarti aku tidak salah dong memanggilmu Mama, kalau aku memanggilmu dengan panggilan Wawa, nanti kau juga yang malu."
"Kenapa?"
"Karena kau tidak mirip dengannya."
"Emang dia siapa?" Nurul mengernyit bingung.
"Artis Malaysia. Hahaha...!" Fatih tertawa lebar saat melihat raut wajah Nurul yang terlihat konyol karena memikirkan siapa wanita yang dimaksud Fatih.
"Hey...! Kalian! Jangan asyik bercanda, ayo bekerja! Apa kalian mau dipecat?" Tiba-tiba Marko datang dan menegur mereka berdua. "Kau baru saja bekerja, jangan sampai kau dipecat karena keasyikan ngobrol dengannya," lanjutnya sambil menunjuk wajah Fatih lalu beralih kepada Nurul.
Nurul merasa bersalah dan menyesal. "Maaf, tolong jangan kau adukan kami pada Pak Manan, aku mohon!" Pinta Nurul pada Marko. Kalau ia saja tidak apa-apa, masalahnya, ia tidak mau Fatih ikut kena getah karena kelalaiannya.
"Tenang saja, kita tidak akan dipecat, aku jamin itu," ucap Fatih menenangkan dengan tersenyum lembut. Kedua tangannya ia letakkan di kedua bahu Nurul. "Pokoknya, asal kau bersamaku, semuanya akan baik-baik saja," lanjutnya lagi. Ada sinar misterius yang terpancar dari bola mata hitam pekat itu, namun, Nurul tidak menyadarinya.
@@@
Malam ini Daniel ingin merasakan lagi kopi dan makanan di rumah makan yang ia datangi tempo hari. Dengan memakai jaket tebal dan kacamata serta di lengkapi topi yang bertengger di kepalanya, ia meraih kunci mobil dan melajukannya ke arah utara.
Udara malam ini memang terasa dingin. Namun, tidak menghalanginya untuk menikmati kopi buatan wanita gendut itu secepatnya. Kopi panas sangat pas di malam yang dingin seperti ini. Dengan kecepatan sedang ia membelah jalanan malam yang masih dipadati berbagai macam kendaraan yang berlalu-lalang.
Sepuluh menit kemudian Daniel sampai di tujuan. Suasana rumah makan terlihat ramai, apalagi malam minggu seperti ini banyak yang menghabiskan akhir pekannya bersama keluarga. Suara riuh rendah anak-anak terdengar sampai keluar di mana posisi Daniel berdiri saat ini.
Ia baru saja keluar dari mobil dan tanpa sengaja melihat sepeda motor sport Kawasaki Ninja yang sangat familier di matanya. Ia mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah melihatnya. Kerutan di keningnya membuat alisnya hampir menyatu. Karena tidak kunjung mendapatkan ingatannya tentang motor itu, akhirnya ia menyerah. Tanpa peduli lagi ia melangkahkan kakinya memasuki rumah makan yang serba lengkap itu.
Keberuntungan berpihak padanya. Meja yang biasa ia tempati masih terlihat kosong, berarti tidak ada yang mendudukinya. Ia menyunggingkan senyuman, begitu sadar, ia bersikap dingin kembali.
Daniel tidak menyadari bahwa ada seseorang yang memperhatikannya sejak ia masuk tadi.
"Mbak!" Panggilnya pada pramusaji yang baru saja melewatinya.
"Iya, Pak! Ada yang bisa saya bantu?" tanya pramusaji dengan tersenyum ramah.
"Buatkan saya secangkir kopi!" perintahnya.
"Baik. Silakan ditunggu, Pak!"
Setelah pramusaji tadi meninggalkannya, Daniel mengedarkan pandangan melihat situasi sekelilingnya. Netranya bersitatap dengan lelaki berambut gondrong. Ada rasa curiga ketika lelaki itu mengalihkan matanya tiba-tiba. Daniel memicingkan matanya memperhatikan namun, hanya sesaat karena kopi pesanannya sudah datang.
"Selamat menikmati, Pak."
Daniel mengangguk, lalu ia menyeruput kopi panas yang disediakan ... Pidah! Nama yang tertera di nametage bagian kiri d**a si wanita. tadi ia sempat melihatnya sekilas.
"Rasanya kenapa berbeda?" ia bergumam pelan.
"Mbak! Mbak!" Daniel memanggil kembali pelayan tadi yang bernama Pidah.
"Iya, ada apa, Pak?" tanya Pidah masih dengan tersenyum ramah.
"Ini bukan kopi yang saya maksud, rasanya sangat berbeda sekali. Apa ada kopi lain?"
Pidah mengernyit bingung, kemudian ia menggeleng, "tidak ada, Pak! Kalau kopi yang Anda pesan tadi memang seperti ini adanya."
"Hhh! Tolong panggilkan pramusaji yang lain," perintahnya dengan wajah datar.
"Siapa yang Bapak maksud?"
"Seorang wanita yang berbadan agak...." Daniel mengisyaratkan dengan melebarkan kedua tangannya.
Pidah yang langsung mengerti siapa yang dimaksudkan oleh lelaki di depannya, langsung bergegas berlalu dari sana dan memanggil Nurul yang sedang mencuci piring di belakang dan dibantu oleh Fatih.
"Mak! Ada pelanggan yang memanggilmu."
"Siapa?" Tanya Nurul tanpa menoleh, tangannya masih luwes mencuci piring dan Fatih yang membilasnya.
"Lelaki kemarin yang kau sajikan kopi."
"Apa kau pernah menyajikan kopi kepada lelaki lain selain aku?!" suara Fatih terdengar kaget.
Nurul menyengir seraya menganggukkan kepalanya.
"Siapa saja yang sudah menikmati kopi buatanmu itu?"
"Mmm... seingatku, cuma kau dan lelaki itu saja. Kenapa?" tanya Nurul.
"Mulai sekarang dan detik ini juga, kau dilarang menyentuh dan menyeduh kopi untuk lelaki lain," perintah Fatih tak ingin dibantah.
"Yeee.., mana boleh begitu, kita di sini hanya sebagai pelayan, tidak boleh pilih-pilih pelanggan. Aku tidak mau Bos marah dan memecatku nanti hanya gara-gara laranganmu yang tidak masuk akal itu." Nurul terkikik geli melihat raut wajah kesal Fatih.
"Awas saja kau kalau melanggar perintahku!" ancamnya tidak memperdulikan protes gadis tambun di sampingnya ini.
"Baiklah, baiklah, tapi untuk kali ini aku tetap akan menyeduh kopi, kasihan lelaki itu menunggu kopi buatanku." Nurul mencuci tangannya lalu beranjak dari tempat pencucian piring meninggalkan Fatih yang terlihat gusar.
Pidah melongo menatap perdebatan Fatih dan Nurul. Mereka bagaikan pasangan suami-istri yang sedang mendebatkan sesuatu yang tidak penting. Kemudian ia berlalu dari sana mengikuti Nurul.
Sementara Fatih menyeringai kecil menatap punggung Nurul yang semakin menjauh. "Lihat saja nanti, apa kau masih berani membantahku gadis kecil...."
Di tempat duduknya, Daniel mengetuk-ngetuk meja memainkan jari-jarinya. Kebiasaan yang kerap ia lakukan saat mulai merasa bosan. Netranya tidak lepas dari sosok gadis tambun yang sedang menyeduh kopi. Ia terlihat serius dan juga lucu bersamaan. Entah apa yang lucu, Daniel pun tidak tahu. Yang jelas, wanita itu sungguh sangat menggemaskan, rasa-rasanya ia ingin menerkamnya sekarang juga. Namun itu hanya sebatas angin lalu saja karena ia tidak benar-benar berniat untuk melakukannya.
Tidak lama kemudian, Nurul datang membawa secangkir kopi.
"Ini kopi pesanannya, Pak! Semoga suka," kata Nurul.
"Terima kasih!" Daniel menyeruput kopi, kemudian tersenyum bahagia. Ini kopi yang ia maksud tadi.
"Hmmm... rasanya nikmat sekali. Kapan-kapan, aku ingin dibuatkan lagi olehmu."
Nurul hendak membuka mulut, tapi Fatih datang tiba-tiba dan menarik lengannya.
"Kenapa kau terlalu lama, Ma?"
Wajah Nurul tiba-tiba bersemu merah karena malu dengan panggilan Fatih. Pidah dan Marko yang tidak jauh dari tempat mereka berada menatap dengan raut wajah kaget. Mereka bertanya-tanya, ada hubungan apa antara Fatih dan Nurul? Setahu mereka, Nurul tidak dekat dengan siapapun kecuali rekan-rekan kerjanya, bahkan di antara rekannya saja ada yang tidak terlalu dekat dengannya. Murni mungkin pengecualian.
Sedetik kemudian bibir Pidah melengkung ke atas setelah mengingat kejadian yang dilihatnya tadi. Interaksi antara Fatih dan Nurul tadi sudah menjawab pertanyaannya dan Marko. Akan tetapi Pidah hanya menyumpannya di dalam hati. Biarkan saja Marko dengan rasa penasarannya.
"Ini juga aku mau kebelakang," bisik Nurul supaya pria yang sedang menikmati kopinya tidak mendengar.
Namun, suaranya ternyata sampai ke gendang telinga Daniel. Daniel mendongak dan menatap heran dua makhluk di hadapannya.
"Ada apa ini?"
Fatih yang posisinya membelakangi Daniel pun berbalik.
Deg!
Fatih dan Daniel sama-sama kaget.