Rana mahasiswa semester 8. Seluruh mata kuliahnya sudah tuntas, hanya satu yaitu tinggal skripsi saja. Di tengah kesibukan magang, Rana suka cari-cari bahan untuk dia jadikan objek penelitian. Tapi nyatanya, dia malah sibuk magang sehingga sampai saat ini belum juga setor judul untuk karya ilmiahnya.
Nasib sial menimpa Rana, dia jatuh dan membuat penyok kendaraan orang. Makin sial soalnya itu mobil mahal, dimintai tanggung jawab yang sama mahalnya pula.
Walau di balik kejadian yang Rana anggap sial itu, masih ada kabar baiknya, seperti: dia bisa lunasi dengan sistem cicilan, bahkan diberi keringanan harga pun cara mendapatkan uang, yakni harus bekerja di rumah gerangan.
Nggak berat kok, cuma mengajar dan mengasuh tiga orang anak dari duda sekelas Pak Alam.
Iya, kan?
Masih baik, bukan?
Yang penting nggak diminta bayar pakai badan.
Jadi, haruskah Rana bersyukur, Miskah? Walau keberadaan bibirnya jadi tak tenang bawaannya bibir itu pengin kabur jika lihat Pak Alam. Nggak ngapa-ngapain sih memang, andai usapan jari bisa dikata 'bukan apa-apa'. Sayangnya, bagi Rana itu sebuah makna 'bahaya', segala jenis sentuhan yang letaknya bukan di area umum tubuh seseorang kan jadinya meresahkan.
Sulit untuk dibilang wajar.
Nggak bisa kalau harus dibiarkan, takutnya malah keenakan, terus semakin berani hingga bukan sekadar dielus.
Sesungguhnya, segala sesuatu yang diberi dan dilakukan oleh Pak Alam itu asing buat Rana.
Kejujurannya pun setelah dia pikirkan ulang, terdengar seperti modus semata. Sentuhan-sentuhannya seolah bermakna menggoda. Dan tatapannya ... Rana yakin, ada sesuatu yang Pak Alam incar dari dirinya.
Apa, ya?
Bibir?
Alis?
Atau mata?
Uh, kalau begini ceritanya ... Rana nggak mau jauh-jauh dari Awan, Guntur, atau Langit saja. Pokoknya nggak boleh berduaan sama papi mereka.
Lalu sekarang ...
Tanda bahaya.
Pak Alam datang menghampirinya, meski masih berada di kantor milik Pak Hardian.
"Sudah jam istirahat, kan?"
Alam bicara padanya. Oleh sebab itu Rana mengangguk. "Iya, Pak."
Entah ada kepentingan apa beliau sampai-sampai mangkal di tempat kerja orang hingga seperempat harian.
"Yuk, makan siang bareng saya."
Ini pasti modus ronde kedua.
"Maaf, Pak. Tapi di sini sudah disediakan makan siangnya," kata Rana tak enak hati. Tapi sungguh itulah inginnya dia saat ini. Menolak ajakan Mr. Alam YTH yang mencurigakan.
Kenapa, ya?
Tingkahnya semakin terang-terangan.
Masa, sih, mau menjadikan Rana ibu tiri untuk anak-anaknya?
Hiiiy~ OGAH!
Rana nggak mau, ya, jadi emak tiri. Tolong digaris bawahi.
"Begitu, ya." Alam pun melihat arlojinya. "Ya sudah, saya duluan."
"Iya, Pak." Dan Rana kembali sok sibuk dengan berkas di meja, membiarkan Pak Alam hengkang dari sana. Tapi, tak lama, pandangannya Rana naikkan. Melihat punggung tegap seorang Alam Semesta yang lambat laun mulai lenyap terhalang jarak.
Sudah pergi.
Alam sudah tak terlihat lagi.
Baru dengan begitu Rana bisa melemaskan tubuh di kursi.
Well, Rana penasaran. Boleh tidak ya, dia tanya Pak Hardian mengenai seorang Alam?
***
"Sebelas menit dua puluh tujuh detik, Papi telat jemput Langit. Kalau dikalkulasiin, Langit rugi puluhan ribu gara-gara nungguin Papi, tahu?"
Lihatlah, di tangan Langit sudah ada jajanan kaki lima. Belum lagi di tong sampah yang Langit buangkan cangkang cikinya di sana.
Alam terkekeh seraya mengecup pipi Langit-nya.
"Yuk, pulang!"
Langit cemberut. "Papi jangan cium-cium Langit dong kalo lagi di luar," katanya pelan.
"Untungnya sekarang udah sepi."
"Loh, emangnya kenapa? Langit juga suka cium-cium Papi, kan?"
"Iya, tapi itu kalo di rumah."
Langit turun dari kursi di sekitaran penjual cimol, tadi Langit beli itu. Dia pun menunggu papinya di sana. Kelihatan gerbang SD dari arah sini. Dan sekarang Langit berjalan dituntun sang papi menuju kendaraannya.
Well, urusan jajan, Langit itu boros maksimal. Makanya kan dia punya tubuh yang lebih gembul ketimbang abang-abangnya.
"Apa bedanya Papi cium di rumah sama di sekolah?"
Mobil pun mulai dilajukan.
Sedangkan Langit menghela napasnya.
"Kenapa, tuh? Kok Langit menghela napas gitu?" Sambil melirik si Bungsu.
"Nggak kok." Langit menggeleng. "Cuma kalo di sekolah kan tempat umum, Langit udah gede, kalo dicium gitu kesannya masih kayak anak kecil."
"Di mata Papi, Langit tetep putra kecilnya Semesta dan akan selalu begitu loh."
"Papi, please ... kalo Langit mau, sekarang juga Langit bisa jadi mahasiswa."
Alam tertawa. "Ya, ya, ya. Papi percaya. Terus kenapa nggak menerima program akselerasinya?"
Hingga banyak guru yang menyayangkan kemampuan Langit tidak dimanfaatkan sebagai mana mestinya. Memang betul, di rumah Langit mengeluh bosan karena pelajaran anak SD begitu mudah baginya. Tak ada tantangan. Tapi saat namanya lolos akselerasi, Langit minta kepada Alam untuk bersekolah secara 'normal' sejalur usia dan teman-teman sebayanya.
Entah kenapa.
Alam tak begitu ambil pusing hal tersebut. Yang penting Langit senang. Lalu untuk memenuhi kepuasan belajarnya, Langit jadi suka merecoki buku-buku Awan dan Guntur. Begitu mudah dia cerna, level bacaan Langit pun meningkat, dia jadi suka buku-buku milik papinya. Terus begitu, meningkat, dan meningkat. Sampai kemudian Langit menemukan mainan barunya setelah rubrik dan segala jenis puzzle dia taklukkan.
Ya, makanya sekarang-sekarang ini Langit banyak antengnya. Tidak serungsing dulu. Alam sudah bisa mengatasi Langit dengan mengizinkan sang putra ikut trading. Mempelajari grafik saham dari praktik dia sendiri menggunakan akun Alam.
Tak apa.
Bungsunya memang begitu.
Walaupun keistimewaan Langit yang itu semakin menonjol, dia semakin kehilangan banyak teman.
Bisa dihitung jari siapa saja anak yang bertahan menjadi teman Langit-nya.
Alasan mengapa Langit menjadi 'kesayangan' Alam. Kelebihan Langit, membawa kekurangan.
Mobil pun henti melaju, mereka tiba di sebuah resto langganann Alam dari sewaktu dia ngebujang sampai sekarang.
"Langit mau pesen apa?"
Memilih menu. "Langit kenyang. Tapi tolong bungkus ayam penyet ini buat makan di rumah kalau lapar nanti."
Duduk berdua, berhadapan, seolah pinang dibelah dua. Alam dan Langit menempati meja nomor 9.
"Oke, ada lagi?"
"Lemon tea-nya satu, diminum di sini." Sambil menunggu papinya makan siang di sana.
Alam pun memanggil pelayan. "Paket ayam penyetnya lima dibungkus ya, Mbak. Terus es lemon tea-nya satu, es teh tawarnya satu juga, sama lele gepreknya satu dimakan di sini."
Ya, seperti itu.
Keseharian Alam selaku ayah dan ibu untuk ketiga anaknya. Pagi-pagi dia bangun, buat sarapan, antarkan anak-anak sekolah, ngeluyur sambil menunggu jam pulang si bungsu, walau terkadang dia kembali lagi ke rumah dan menemani ART panggilan di setiap membereskan rumahnya. Tentu saja, orang kepercayaan. Yang sudah lama mengabdi dalam membenahkan kediaman Alam.
Habis itu, makan siang sambil mengisi waktu sebelum tiba di jam pulang Awan dan Guntur. Lagi, Alam menjemput mereka. Walau sebenarnya Awan sudah protes oleh keseharian Papi mereka yang kayak nggak ada kerjaan.
Awan kan sudah besar, ada Guntur juga, sudah begitu mereka kan pria. Ya kali mau diantar jemput sama Papi selamanya?
Ugh.
Tapi tetap, Alam menolak. Selalu bilang, belum saatnya. Jika dia ada seminar di luar kota, atau sibuk dadakan, maka sopir panggilan yang juga sudah menjadi langganann Alam untuk dia percayakan mengantar jemput tiga krucilnya.
Nah, itulah asal muasal Langit saja sampai capek lihat Papi yang terlalu mandiri dalam arti 'mengambil double peran untuk dia jalani sendiri'. Coba kalau Papi punya pasangan, pasti waktunya tak akan full merecoki keseharian Awan, Guntur, dan Langit, kan?
Hingga ketiga Semesta mendiagnosa bahwa Papi mereka terkena sindrom kurang belaian? Eh, bukan. Tapi, kesepian.
Itulah mengapa Awan, Guntur, dan Langit bersikeras untuk dapatkan satu betina buat induk jantan mereka.
Tapi selama masa pencarian, sulit sekali, Pemirsa! Papi selalu saja menolaknya. Hingga tibalah di hari itu, hari kemarin, saat Papi membawakan seorang perempuan yang sayangnya masih 'bau kencur' membuat Awan, Guntur, pun Langit harus memperhitungkan sebelum nanti mengambil keputusan.
Padahal sudah bagus Papi bawa betina, tapi apa harus 'mahasiswa' juga?!
Kan, nggak.
"Pi, Awan mau tanya."
Tanpa terasa jam pulang anak SMP sudah dilalui hingga kini mobil Alam pun tiba di halaman rumahnya lengkap bersama anak-anak.
"Ya, apa itu?"
Masing-masing buka sabuk pengaman.
"Kalau punya istri, Papi pengin yang kayak gimana?"
Terhenti sejenak pergerakan Alam demi menoleh pada putra pertama. "Kebiasaan nanyanya nggak jauh-jauh dari sana."
"Jadi?" Ini Guntur.
Ada saat di mana perundingan para bocah sudah dilaksana, tapi tak dituangkan dalam cerita.
Hari itu ...
"Oke, oke. Dengar ya, Papi nggak mau jawab pertanyaan ini lagi buat ke depannya."
Soalnya bosan.
Sungguh dunia telah berkebalikan.
Biasanya anak yang digandrungi pertanyaan kapan nikah, kan? Nah, ini mah beda. Orang tua yang didesak oleh anak-anaknya supaya cari pasangan.
"Begini ... nggak muluk-muluk. Kalau punya istri, Papi penginnya yang sayang sama kalian, Papi nggak butuh istri cantik atau potensial. Karena sepotensial apa pun dia, kalau nggak sayang sama Awan, Guntur, dan Langit ... buat apa? Soal perempuan yang pernah kalian tawarkan, nggak yakin sih, tapi sepertinya mereka tertarik sama pernikahan duda tiga anak itu karena wajah Papi yang mumpuni."
Astaga.
Papi PEDE sekali.
Langit sampai terperangah. Ah, tapi kalau nggak gini, bukan papi Langit dong namanya.
"Begitu, ya ... tapi mahasiswa yang Papi bawa itu cantik juga," gumam Guntur.
Mengangguk. Rana memang cantik, tipe idealnya malah. Meski demikian, dia bukan istri impian bagi Alam.
"Sudah, kan? Yuk, turun. Papi pegel nih pengin cepet-cepet rebahan."
***