Part 8

1136 Words
Siaga satu. Tatapan Rana di pagi itu menunjukkan hal yang demikian. Akibat bangun kesiangan, Rana jadi tidak tahu kapan ketiga putra Semesta berangkat sekolah sehingga kini hanya sisa dia dan Pak Alam saja. Duduk manis di kursi makan, itulah Alam. Lain dengan Rana yang super waspada, pun meneliti wajah Alam dengan curi-curi pandangnya. Ya, bibir itu ... Mulutnya yang sedang mengunyah butir nasi, Rana perhatikan. Gerakan rahang Pak Alam yang menunjukkan seberapa elegannya geraham di dalam sana bekerja menghaluskan tiap suapan, Rana masih memandang dalam diam. "Kenapa?" Sampai-sampai dia tidak sadar kalau ternyata sejak tadi Alam sudah alihkan fokus padanya dan membuat Rana terkesiap. "Hm? Oh ... nggak, Pak." Salah tingkah. Kepergok sedang memerhatikan, Rana pun menunduk kembali melahap makanannya. Sedangkan jantung sudah dugun-dugun. Alam menyusut mulutnya dengan tisu yang tersedia. Tak ambil pusing dengan hal itu. Alam memulai topik bicara. "Oh iya, apa kamu selalu dan sudah terbiasa bangun siang?" "Hah? Nggak." Rana tatap Pak Alam. "Aku kalo bangun biasanya jam lima kok. Cuma kalo lagi capek banget, bisa sampe jam enam sih." "Saya bangun jam empat, anak-anak jam lima menyusul. Kalau biasanya, mereka jam enam sudah siap. Tinggal sarapan dan langsung saya antarkan ke sekolah. Seperti tadi ..." Meringis. Rana yang meringis dalam duduknya. Alam pun melanjutkan, "Jadi, untuk hari ini saja ... saya sarapan dua kali. Tolong ke depannya kamu harus bangun pagi, lebih pagi dari ini. Gimana mau mengurus anak-anak saya coba kalau kamu bangun tidurnya saja pas matahari sudah terbit?" "Iya, Pak. Maaf." Alam pun legut air putihnya. Demi menghormati sekaligus bentuk kemanusiaan, dia yang sudah sarapan dengan anak-anak jadi sarapan lagi dengan Rana. Dua kali. Alam merasa tidak sepatutnya dia membuat Ranasya sarapan sendirian pada hari pertamanya tinggal di kediaman Alam. Selepas mengantarkan tiga krucilnya ke sekolah, Alam bergegas kembali. Yang ternyata sosok penghuni baru di rumahnya ini masih terdampar di alam mimpi. Langsung saja Alam bangunkan dari luar, lama, menunggu Rana keluar lalu mandi barulah Alam mengajaknya sarapan. Kikuk. Itu sih yang Alam lihat dari seorang Rana pagi ini, padahal semalam kelihatannya Rana sungguh berani sampai protes segala. "Ngomong-ngomong, hari ini kamu masuk kerja atau kampus?" "Kerja, Pak. Kuliah aku udah hampir selesai. Jadi bisa sekalian observasi di kantor Pak Hardian nanti." "Begitu, ya. Sebentar lagi jam delapan nih. Kalau nggak salah, itu jam operasional kantornya Hardian, kan?" tutur Alam sambil melirik arloji di pergelangan tangan. Rana mengangguk. "Iya, ini bentar lagi mau berangkat kok. Sarapan aku belum habis, kan. Mubazir kalau disisain, apalagi sudah Bapak masakin." Mana mungkin Rana sisakan walau hanya sebutir nasi di piring. Lebih-lebih Pak Alam sudah membuatnya terharu dengan sarapan dua kali pagi ini. Melupakan fakta bahwa sebelumnya Rana siaga, yang lambat laun sekarang kewaspadaan itu mengendur. Rana nikmati sarapannya dengan ceria. Ah, sudahlah. Segala sesuatunya mungkin hanya keresahan Rana semata. Mungkin sebenarnya meski sentuh-sentuh begitu, Pak Alam ini tak ada maksud lain. Toh, cuma cubit, meski di paha. Toh, cuma menghentikan Rana bicara, walau caranya dengan menempelkan telunjuk di bibir. Toh, cuma mimpi, meskipun memang terasa amat nyata ciuman panjangnya. "Rana." "Iya, Pak?" "Boleh saya jujur sama kamu?" "Hm?" Mengerjap. Rana menatap telaga bening Alam yang juga menatapnya. "Boleh. Silakan aja. Tentang apa, Pak?" Alam basahi bibirnya sedetik di sebelum dia berucap, "Sebenarnya ... kamu itu perempuan tipe saya banget." "Y-ya?" Gimana? Apa? Rana nyaris jatuhkan sendok di atas piringnya. Untung tidak tersedak, apalagi saat Pak Alam lanjutkan. "Alis kamu." Telunjuk Alam mengarah di sana, milik Rana. "Mata kamu." Turun pada bagian itu. "Terus ... bibirnya." Hal yang membuat Rana terbayang mimpi semalam. Oh, jangan-jangan?! Jantung Rana berdetak kencang. Tidak, ini bukan pertanda cinta. Tidak semua jenis detakan di dadaa adalah akibat rasa suka pun aroma asmara. Rana hanya ... "Semua yang kamu punya dan saya sebutkan tadi itu, kesukaan saya." ... deg-degan saja. Karena Pak Alam bilang, "Tipe ideal saya ada di kamu. Alis, mata, dan bibir yang kamu miliki itu adalah perpaduan sempurna di mata saya." Rana membuka mulutnya, tapi bibir itu terkatup lagi kala Pak Alam kian dalam memandangnya. Tersenyum sebelum beliau memaparkan bahwa Rana itu ... "Cantik, saya suka liatnya. Dan saya harap kejujuran saya ini nggak akan jadi beban buat kamu, kalau-kalau mata saya betah mandangin wajah itu." Oh, tidak! Kalian pikir, bagaimana bisa Rana menjalani hidup di bawah atap yang sama dengan lelaki yang baru saja mengungkapkan kejujuran tentang betapa menariknya seorang Ranasya Zhagat Raya di pelupuk Alam Semesta?! Sungguh, bukannya terpesona. Rana justru merasa ... apakah dia dalam bahaya? "Ah, sudah jam setengah delapan. Kamu sudah, kan, makannya? Ayo, saya antarkan kamu ke kantor. Kebetulan saya juga ada perlu sama Hardian." Yang pada akhirnya Rana tak diberikan waktu untuk meresapi keterkejutannya dulu. Uh ... Duduklah dia di mobil itu. Sejujurnya, Rana bingung kenapa dia sepatuh ini? "A-anu, Pak--" "Jangan tegang. Saya cuma mau bantu pasangkan sabuk pengaman kamu saja kok." Yang berupa bisikan. Argh! Coba sini bilang, bilang sama Rana, gimana caranya supaya dia NGGAK TEGANG seperti yang Pak Alam bilang?! Dasar, kejujuran sialan! *** Selama perjalanan menuju kantor Pak Hardian, mobil yang Pak Alam kendarai dilanda keheningan. Terutama Rana yang tak akan buka mulut kalau Pak Alam tidak mengajaknya bicara. Ya, gimana? Rana masih terkejut. Ini sangat tiba-tiba. Dia pun kebingungan. Bahkan rasanya aneh juga. Ah, tapi ... Melirik Pak Alam, lelaki yang masih saja kalem di jalannya walau beberapa menit lalu sudah mengungkapkan perasaan ... iya, kan? Tadi Pak Alam bilang, Rana itu tipe idealnya. Oh, atau itu cuma ungkapan sekadar ungkap? Bukan suatu hal berupa penyampaian rasa? Rana jadi memikirkannya. Padahal ... "Aku udah punya pacar, Pak." Belum, sih. Tapi Rana katakan saja. Pak Alam pun meliriknya, sekilas sambil kemudian dia mengangguk. "Oh, ya? Selamat kalau begitu." Ehm. "Iya." "Sudah lama pacarannya?" "Sekitar enam bulan." Ngarang. Biarkan! Ini hidup Rana, jadi terserah dan suka-suka dia saja. Alam pun mengangguk lagi. "Orang mana pacarnya?" "Ada lah." "Ya. Tapi tidak mengubah apa yang sudah saya sampaikan di meja makan sebelumnya." Masih santai. Rana tak melihat ada tanda-tanda kecemburuan atau apa gitu? Pak Alam biasa saja. Rana pun memutar otaknya. Dia harus pandai memainkan brain jika sedang bicara dengan lelaki 38 tahunan itu. "Orang Yogyakarta." "Oh ..." Alam membulatkan bibirnya. Lalu membelokkan setir sebagaimana alur menuju kantor Hardian. "LDR dong, ya?" "Hm ... gitu deh, Pak." "Ya sudah." Mereka pun tiba. Rana ukirkan sebuah senyuman. Anggaplah sebagai tanda terima kasih karena sudah diantarkan, walau memang sekalian jalan. "Oh ya, Rana, sebentar!" Menahannya. "Iya, Pak?" Rana urung keluar, pintu mobil belum dia buka. Adalah detik di mana Pak Alam sentuhkan ibu jarinya di atas permukaan bibir Rana. Lagi ... Walau bukan seperti semalam yang memang menyentuh akibat merasa 'perlu', hingga Rana anggap wajar. Tapi sekarang ... "Sudah. Dari tadi saya gemas, ada jejak sarapan kamu di sana." Dan lelaki itu tersenyum lebar. Sedangkan Rana ... apa kabar?! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD