Yang telah diputuskan. Awan, Guntur, dan Langit bersedia menerima Rana sebagai guru les mereka. Tak cuma itu, Rana juga nerangkap sebagai 'pengurus' ketiganya.
"Kak Rana, Papi belum kasih tau, ya? Biar SD gini, tapi otak Langit bukan diciptakan untuk jawab soal perkalian lima dasar!"
Oh ya, Rana sudah memulainya. Di mana malam ini dia suguhkan materi 1 x 1 sampai dengan 10 x 5 untuk Langit. Rana hanya memberikan soal sesuai porsi kelas mereka di sekolah, bahkan Awan dan Guntur pun Rana kasih soal yang sekiranya pas untuk anak SMP seusia mereka, tapi hanya Langit yang protes.
Sementara di sofa besar ruang keluarga itu, Alam duduk tumpang kaki, bersedekap sambil memantau ketiga putra Semesta yang mulai Rana ajari.
Ya, belajarnya di ruang keluarga. Duduk berkerumun dengan masing-masingnya disediakan meja belajar mini, sedangkan Rana di tengah mereka. Ada pula papan tulis kecil yang berdiri di sana. Lesehan.
"Coba diisi aja dulu pertanyaannya, Langit. Nanti baru Kakak kasih soal yang baru."
"Papi--!" Langit mengadu. Tapi sebelum itu, di awal papinya sudah memangkas dengan, "Ikuti saja alurnya."
Ish.
Sebal.
Langit menatap jengkel sang Papi, pun tajam kepada guru les barunya. Lagian nih ya, Langit nggak perlu ada les - lesan segala. Dia serba bisa, serba otodidak. Bahkan selama ini yang biasanya jadi guru kan Langit, Awan dan Guntur adalah muridnya.
Namun, mau dikata apa, sekarang Langit mengerjakan soal pemberian Ranasya. Patuh pada papinya.
Membuat Rana berdeham detik itu juga.
Melirik Pak Alam, yang juga menaikkan pandangan di semula beliau sedang fokus main ponsel. Kini mereka bertatapan.
"Apa?"
Rana menggeleng.
Hanya teringat dengan kisah yang Pak Alam paparkan di mobil, tentang putra Semesta yang nomor tiga. Konon, dia istimewa. Ya, Langit berbeda. Dan Rana nggak bisa menyamakan kemampuan Langit dengan kemampuan daya pikir anak-anak seusianya.
Jadi, semua itu benar, ya?
Belum satu menit buku milik Langit sudah tersaji di depan Rana minta untuk segera dinilai.
"Huh!" Langit kesal.
Rana pun berdecak kagum dalam hatinya. "Oke ..." Yang dia nilai hasil pikir Langit pada soal perkalian 5 dasar. "Coba jawab pertanyaan Kakak."
Waktu di mana Langit dan Rana bertatap muka.
"Telur sama ayam duluan mana adanya?"
Bercanda?
Langit tak percaya. Kenapa Papinya membawa betina yang agak miring gini otaknya? Cantik sih, apalagi saat senyum. Tapi kalau nggak beres gini kan Langit jadi pengin diskusi ulang soal kandidat Mami untuk Papinya.
Sementara Alam, anteng dengan ponselnya. Membiarkan Rana dan anak-anak berbaur.
Padahal Awan dan Guntur sudah mendengkur.
Ya ampun.
Nampaknya hanya Langit yang membara saat belajar.
"Itu pertanyaan konyol. Tapi bukan berarti Langit nggak bisa jawabnya."
"And then?" Rana ngajak debat bocah usia 9 tahunan yang tampangnya bak pinang dibelah dua dengan Pak Alam.
Yang mana saat itu dengan lancar Langit katakan, "Antara telur sama ayam, yang lebih dulu ada menurut Langit adalah ayam. Kenapa? Langit ambil dari teori ini: Manusia pertama yang Tuhan ciptakan adalah Nabi Adam, langsung manusianya, bukan paduan saat masih terbentuk sebagai spermaa--"
Uhuk!
Rana batuk-batuk.
Ya Allah.
Mulut siapa itu yang nyebut spermaa dengan lancar jaya tanpa merasa canggung apalagi tabu?!
Tentu saja, Langit Tri Semesta orangnya. Tak peduli pada wajah Rana yang sudah merah padam mendengarkan ...
"Sampai akhirnya diciptakan pasangan Adam, Hawa. Reproduksi antara laki-laki dan peremhmp--!"
Rana bekap mulut kecil itu.
Astagfirullah.
Langit yang bicara, Rana yang ngos-ngosan.
"Udah, udah ... paham."
"Langit belum selesai!" Sambil menyingkirkan tangan Rana di mulutnya. Nggak sopan!
"Udah, Kakak udah paham kok."
"Tapi teori Langit baru sampe di teori pertama!"
Belum masuk pada teori per-hewanannya.
Namun, sungguh ... Rana nggak mau dengar. Apa pula itu? Bocah 9 tahun khatam materi reproduksi manusia? Yang Rana tatap sosok ayah dari bungsunya Semesta.
Alam hanya mengangkat alis seolah bilang, "Why?" tanpa kata.
Di mana Langit kembali mengoceh soal teorinya perkara 'ayam dan telur mana yang lebih dulu ada' sampai sekiranya jawaban itu dapat diterima logika oleh Rana.
Alam sih kalem saja.
Sudah biasa.
Nggak aneh kok.
"Langit pernah baca buku tentang segala aspek yang berkaitan dengan reproduksi manusia." Dia bicara tanpa dosa.
Di setelah acara belajar mengajar itu Rana tutup dengan alasan suasana sudah tidak kondusif lagi. Melihat Awan dan Guntur yang sama-sama tertidur. Lalu Langit yang melantur. Walau sebenarnya, kan Rana yang mulai.
Jadi, bubar!
Langit lari ke kamar, diikuti Guntur yang menyusul sambil menguap habis dibangunkan. Awan pun sama, dia pindah tempat untuk lanjutkan tidur nyenyaknya. Tanpa membawa satu pun alat belajar mereka.
Terus, Rana?
Adalah orang yang membereskan semuanya.
Sabar.
Demi lunasi empat puluh juta.
Hingga kini Rana bisa duduk di sofa sebelah Pak Alam yang sibuk mantengin layar ponselnya. Rana ajak bicara. Tentang Langit yang paham terkait spermaa.
Pak Alam pun sudah menjawabnya barusan, seperti itu. Yang mana kini dia letakkan ponsel di meja demi fokus menghadap Ranasya.
"Emangnya buku semacam itu nggak dijauhkan dari jangkauan Langit?"
"Sudah."
"Terus kenapa--" Rana menelan ludahnya. Tak dia lanjutkan ... sebab dia merasa tatapan Pak Alam lagi dan lagi bukan tatap yang biasa orang berikan saat ngobrol ringan. Pun, bola mata hitam Alam jatuhnya di bibir yang sulit Rana sembunyikan.
Kayaknya duduk berdua dengan Alam saat ini adalah pilihan yang buruk. Rana pun mencicit, "Tolong, Pak. Matanya dijaga."
"Ah, iya." Alam alihkan dengan menatap mata Rana. "Tadi sampai mana? Langit, ya?"
Pengin Rana getok kepala majikannya.
"Istilah lain sih, Langit ini omnivora. Pemakan segalanya, dan dia adalah pembaca segalanya. Waktu itu dia sempet ngeluh bosan karena buku-buku milik Kakaknya begitu mudah dipelajari. Akhirnya saya persilakan Langit membaca koleksi buku di rak buku saya."
"Koleksi?"
Wah ... pantas saja Rana merasa tatapan Pak Alam cukup mesumm, ternyata di rak bukunya beliau punya koleksi aset 21 tahun ke atas.
"Ya." Mengangguk lah dia. Alam lanjutkan, "Dan saya lupa ada beberapa buku yang arahnya ke sana, lalu saat ingat ... Langit sudah baca."
"Terus? Gimana Bapak tau kalo Langit udah baca buku itu?"
Alam basahi bibirnya. Mengingat-ngingat, soalnya itu sudah lama. Mungkin waktu Langit kelas 1 SD.
"Langit nanya. Akhirnya kami belajar bersama. Um ... debat banyak hal dari materi itu. Ada juga soal feminisme. Dan ya, begitulah." Alam mengedikkan bahunya.
Rana bingung mau respons apa.
Intinya ... tentang reproduksi, sepertinya ilmu Langit jauh lebih unggul di atas Rana. Terus cuma pipi Rana yang merona saat kata 'spermaa' dibawa-bawa.
"Saya udah bilang kalau langit ini istimewa, kan?"
Oke, Rana percaya. "Iya, Langit istimewa."
Dan Alam meresponsnya dengan, "Sama kayak kamu."
"Apa?" Menoleh, menatap Alam.
Dua lensa sewarna batu di sungai itu pun saling bersinggungan. Yang Alam paparkan, "Alis, mata, dan bibir."
Bagi Alam ... "Kamu istimewa."
Dan Alam ulurkan tangannya, menyentuh bibir Rana. "Boleh saya jujur?"
Lagi?
Rana pernah mendapatkan kejujuran dari Pak Alam, dan jujurnya beliau adalah sebuah petaka bagi Rana yang mendengarnya.
Namun, ... "Silakan."
Rasa penasaran membuatnya berkata demikian.
"Tapi sebelum itu, boleh saya mengenal kamu lebih dalam?"
Tunggu!
Ini ... apa-apaan?!
***