Part 7

1020 Words
Awan, Guntur, dan Langit sudah terlelap. Ini malam pertama Rana tinggal di sana, di sebuah rumah mewah yang isinya jantan semua. Dan malam itu Rana belum memulai perannya, sebab ketiga putra Semesta belum sepenuhnya menerima gagasan papi mereka. Konon, Guntur perlu mencerna ide sang papi. Lalu Awan merasa harus mendiskusikannya lagi secara tertutup bersama adik-adiknya. Sedangkan Langit hanya akan setuju kalau Bang Awan dan Bang Guntur ada di satu kesepakatan yang sama. So, Rana belum melakukan apa-apa baik itu soal mengajar ataupun tentang ketentuan baru secara sepihak dari Pak Alam. Yang mana saat ini, Rana sedang memprotesnya. "Mengurus segala keperluan anak-anak ... apa pula itu, Pak?! Janji awal Bapak kan cuma nyuruh saya jadi guru les mereka, tapi--" Begitu saja. Terhenti oleh sebab jari telunjuk Alam dia letakkan di sana, tepat di atas bongkahan bibir Rana, yang mana saat ini bola mata Ranasya membulat sempurna. "Jangan berisik. Anak-anak bisa bangun nanti," katanya. Pelan sekali. Oh, lihat! Alam masih saja kalem pembawaannya, masih saja tenang tutur katanya. Lain hal dengan Rana yang sudah terbakar oleh segala syoknya saat ini. Mulai dari paha, lalu bibir. Ya ampun! Habis ini Pak Alam mau sentuh bagian tubuh Rana yang mana lagi?! Praktis Rana segera mengusap bibirnya di setelah jari itu tak lagi di sana. Rana menatap waspada lelaki di depannya. Yang saat ini sedang menatap Rana seperti sebuah tatap dari predator kepada mangsanya. Padahal mereka berdiri di balkon, tapi rasanya Rana seperti sedang berada dalam ruangan seprivat kamar. Uh, kenapa ya? "Tolong tangannya dikondisikan, Pak." "Contohnya?" Rana memutus posisi berhadapan mereka saat ini, tak nyaman dipandangi sedemikian intens oleh pria 38 tahunan itu. Tuh, kan ... ini bukan perasaan Rana saja, tapi memang sejak pertemuan yang entah keberapa, tatapan Pak Alam memang agak meresahkan. Bisa-bisanya Rana setuju diboyong ke sini, tinggal di satu atap yang sama dengan lelaki ini, yang jelas-jelas berperangai bahaya untuknya. Rana pegang pagar pembatas, pun Alam lakukan hal serupa. Tak lagi menatap di Rana, dan fokusnya lurus ke depan melihat hamparan lampu kota yang jauh di ujung pandang. Ehm. Rana memilih tak meresponsnya. Tadi di setelah ketiga putra Semesta masuk kamar masing-masing dan tidur di sana, Rana minta bicara empat mata dengan Pak Alam, hingga di sinilah mereka. Alam mengajaknya ngobrol di balkon. Letak balkon itu ada di lantai dua, lorong antar kamar putra-putra Alam, kecuali Awan (dia kamarnya ada di lantai satu), jadi dua pintu kamar itu menghadap satu lorong yang sama dan ujungnya tembus ke balkon, sedang ujung satunya adalah jalan menuju tangga. Malam itu Rana hanya pakai kaos pink dan celana panjang training. Sementara Alam lengkap dengan piyama biru dongkernya. Mereka berdiri bersisian memandang lurus ke depan, tangannya sama-sama memegang pagar balkon. Padahal semula berdiri berhadapan, menatap mata satu dengan lainnya. Rana embuskan napas pelan. Detik di mana Alam meliriknya. "Segitu keberatannya kamu buat mengurus anak - anak saya?" Eh? Terkesiap. Rana balas dengan lirikan serupa. "Bukan." Menjeda, menggigit bibir bagian dalamnya. "Aku cuma protes karena ucapan Bapak di sini saat ini sama di rumah aku ke Ibu aku sebelumnya nggak sama." Yang tak lagi formal Rana bicara. Alam mengangguk. Dia bahkan tersenyum. Lalu bilang, "Ya ... mau bagaimana lagi? Di sini saya yang punya kuasa, sebelum empat puluh juta itu kamu lunasi, kamu bisa apa selain setuju dengan semua ketentuan saya, kan? Baik itu dadakan, atau terencana." Rana terperangah dibuatnya. Nggak salah, sih. Tapi ... "Semangat, ya." Pak Alam menepuk bahunya. Lantas dia hengkang di setelah berucap, "Saya tidur duluan. Tutup pintu balkonnya kalau sudah selesai meratap di sini. Dan ... selamat malam." Meninggalkan Rana yang ah entahlah di tempatnya. ARGH! Rasanya Rana pengin jambak rambut cowok 38 tahun itu. Mentang-mentang punya uang, beliau mempermainkan 'seenaknya'. Tapi, daripada murka akibat geram oleh tutur kata dan sikap Pak Alam, apa tidak sebaiknya Rana bersyukur saja? Mengurus anak sama dengan baby sitter, kan? Apa masalahnya? Anggap saja mengurus adik atau ponakan. Iya, masih baik Pak Alam tidak minta dibayar dengan badan. Duh, Rana ... Rana. Begitulah perang batin yang terjadi pada diri Ranasya saat ini sebelum berikutnya dia memutuskan untuk mengistirahatkan seluruh organ. *** Kamar Alam ada di lantai satu bersebelahan dengan kamar tamu yang Rana tempati. Di mana kini Rana sudah rebahan. Menutup mata, membayangkan hal-hal menyenangkan agar mimpinya tidak mengerikan. Tentang bunga tidur, menurut Rana, mimpi itu akan datang tergantung dari apa yang dia pikirkan di sebelum benar-benar terpejam. Baik buruknya mimpi itu berasal dari cikal bakal pikiran. Demikianlah filosofinya. Seorang Rana yang menggeliat resah dalam tidurnya. "Eungh ..." Uh. "Hmph ..." Oh. Begitu bunyinya. Seperti itu suaranya. Dan demikian pula Rana dalam tidurnya. Yang mana kini bibirnya kebas dilahap habis oleh sesosok makhluk berjenis manusia. Rana mengerang. Kala bibirnya terasa dihisap, tak sekadar dicumbui lumatan. Tapi sungguh dilaksanakan sebuah ciuman yang panjang. Oh, Tuhan! Nampak jelas bahwa semua itu perbuatan Pak Alam. Kian dekat, kian dalam. Namun, nyatanya ... begitu mata Rana benar terbuka, di sana tak ada siapa-siapa selain bantal guling yang dia peluk erat barusan. Matahari pun sudah meneroboskan sinarnya di balik tirai jendela. "Astagfirullah." Lirihannya. Cuma mimpi. Rana mengusap wajah. Tapi, apa itu tadi? Mimpinya bukan sekadar cuma. Hanya karena sentuhan di bibir dari jemari Pak Alam sewaktu di balkon tadi, terngiang-ngiang, tanpa Rana kehendaki bayangan di kepalanya merujuk ke sana sehingga hadirlah mimpi seperti ini. Yang Rana perhatikan bibirnya di depan cermin rias kamar itu, tak ada yang salah, tak ada yang berubah, bahkan ketebalan bibirnya pun masih sama, baik-baik saja. Serius, bunga tidurnya berdosa sekali. Nggak sopan mimpiin bibir majikan. Oh, Rana ... "Gak beres nih otak," gumamnya. Menepuk pelan kepala seakan dengan begitu bayangan mimpi semalam bisa hilang. Gara-gara tatapan Pak Alam. Gara-gara sorotan intens yang beliau berikan. Terbayang-bayang tanpa Rana rencanakan. Tak peduli awal hendak tidurnya dia membayangi apa, tapi ujungnya bayangan itu lari ke sana, di tempat yang ada Pak Alamnya, sampai-sampai Rana memimpikan lelaki itu secara kurang ajar. "Rana?" Bahkan mimpinya membuat Rana enggan keluar dari kamar. "Ranasya?" Diketuknya pintu kamar itu dari luar. Ah! Rana ngapain, sih?! Baru juga satu malam, tapi dia sudah mimpi yang macam-macam. Menurut kalian, wajar tidak dia demikian? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD