Permintaan Orang Tua.

1555 Words
"Kenapa kamu tidak menggugurkan kandungan mu?" Pertanyaan yang membuatku langsung naik darah. Namun aku memang tidak boleh terpancing oleh iblis itu. Aku hanya perlu menanggapinya dengan langkah yang berani. Harus aku perlihatkan padanya, bahwa aku ini tidak pernah takut padanya, sedikit pun. "Aku sebentar lagi akan menikah dengan Dona. Lalu kenapa kamu tidak menggugurkan kandungan mu. Dan malah sudah se besar itu? apa tujuan kamu yang sebenarnya, an?" Dia yang memperkosaku. Dia yang sudah menghancurkan hidupku. Tapi kenapa dia juga yang menekan ku untuk mengugurkan kandungan ini. Tidak kah ia berpikir bahwa aku sangat menderita karena ulahnya itu. Tidak kah ia memiliki hati nurani? Oh, seharusnya aku sadar bahwa laki laki ini memang lah bukan seorang manusia. Melainkan seorang iblis yang memang tidak memiliki hati nurani. "Kenapa aku harus menggugurkan anaku? bukankah kamu bilang ini bukan anak mu?" aku mengusap perutku yang memang sudah bulat. Demi Tuhan aku sangat menyayanginya dan aku tidak akan pernah membunuhnya, seperti yang dikatakan oleh iblis itu. "Seharusnya kamu tenang saja, karena ini bukan lah anak mu. " Kenapa sesak sekali perasaan ini. Tidak! bukan aku lemah, aku hanya kasihan pada anaku. Dia sama sekali enggak diakui oleh ayahnya. Kenapa jadi begini Tuhan ... kenapa ... "Kamu yang memaksanya untuk hadir di dunia ini. Lalu kamu juga ingin dia mati. Apa kamu pikir dia enggak punya hati? apa kamu pikir dia bukan manusia? Angkasa! kalau bukan karena ulah mu, aku sudah bahagia bersama Damar. Aku memiliki rumah yang besar, dan juga pernikahan yang diberkahi. Kamu tidak tahu itu." Ku dengar tawanya yang menyebalkan. "Enggak ada yang lebih kaya dan lebih baik dari pada aku, an. Kamu pikir, kamu sudah tepat memilih dia?" lalu aku harus memilih kamu? iblis! "Apalagi yang ingin kamu katakan? jika kalimat mu berakhir dengan sebuah perintah bahwa aku harus menggugurkan kandungan ku. Maka aku tidak akan pernah melakukannya. Kamu enggak ada hak untuk itu. Ini adalah anaku, dia milikku. Dia sudah lima bulan, dan dia sudah hidup. Aku tidak akan mau menjadi pembunuh. Tapi ... kalau kamu memang ingin anak ini mati. Maka aku sarankan kamu bunuh saja, aku. " Aku melihat dia melebarkan kedua matanya. Seolah dia terkejut dengan apa yang aku katakan. "Kamu bunuh aku dan anaku. Permisi!" Aku meninggalkan ruangannya dengan begitu saja. AKu tidak peduli kalau dia berniat benar benar mau membunuhku. Kuusap kedua mata ini setelah aku keluar dari lift. Aku tidak boleh memperlihatkan pada siapapun kalau aku ini sudah menangis. "Kamu kenapa? pak Angkasa marah sama kamu?" kenapa laki laki ini masih saja di sini? aku pikir, dia sudah pergi. "Aku pikir, pak mana sudah pergi?" tanya ku padanya, seraya tersenyum samar. "Oh, saya tidak mungkin meninggalkan kamu, an. Saya pasti akan menunggu kamu. " Pak Laksmana ini sungguh terlalu baik untuk seukuran teman kerja. "Oh, iya. Pak Angkasa manggil kamu bahas apa? dia mecat kamu?" "Oh, enggak, pak." "Terus apa? ko kamu kayanya sedih banget." Ah, sialnya aku masih saja belum merubah mimik wajah ini. Seharusnya aku memang tidak memperlihatkan bagaimana mimik wajah ini yang sebenarnya. harusnya aku memang tidak perlu se cengeng ini. "Oh, saya serius enggak kenapa napa. pak." Kami berjalan menuju mobilnya pak Mana yang terparkir. "Pak, saya pulang pakai LRT saja, ya. Saya udah lama enggak pernah pakai itu. Saya kangen." Padahal aku pengen sekali nangis sendirian. AKu enggak mau dia tahu bagaimana sengsaranya hidupku. AKu enggak mau dia tahu, bahwa masalahku dengan laki laki itu amatlah kompleks. Dia bukan hanya bermasalah dengan hidupku saja. Tapi dengan masa depan dan juga anak yang bahkan masih belum aku lahirkan. "Oh, Anita mau naik LRT?" aku melihat laki laki itu mengunci pintu mobilnya kembali, membuatku menautkan kedua alis ini. "Bapak mau ke mana?" tanya ku. "Saya mau menemani Anita naik LRT." ujarnya, dengan sebuah senyuman yang begitu tulus. "Eh, pak, jangan gitu. Bapak pulang saja dengan mobil bapak. Saya akan pergi dengan LRT." "No! saya akan menemani Anita naik LRT." Laki laki ini memang sangat keras kepala. AKu sungguh tidak tahu harus bagaimana lagi menolaknya. "Ayo Anita ..." dia berjalan di sampingku. Dan aku pun mau tidak mau harus pergi dengannya. Karena tidak mungkin aku tiba tiba meminta pulang bersamanya. Rasanya merepotkan sekali. *** "Kita makan dulu yuk?" ajak pak Mana, ketika kita sampai di dekat kosan ku. "Oh, saya pikir, saya akan makan di rumah saja. " Aku sudah lama tidak makan mie instan. Aku pikir, aku akan makan mie instan hari ini. "Apa yang akan kamu makan? mie instan?" tanya nya. Yang ternyata sangat tepat sekali. AKu tidak tahu kenapa ia menjadi seperti cenayang seperti itu. "Kamu mikir lah! memangnya mie instan itu bagus untuk kesehatan anak kamu? jangan sembarangan makan. Itu enggak baik untuk kamu." ujarnya. Laki laki ini sungguh menyebalkan. Kemudian aku pun mau tidak mau ikut dengannya, karena ia memang sudah memaksaku. Kami masuk ke sebuah rumah makan yang berada dekat dengan kontrakan kecilku. "Kamu sering ke sini?" tanya Pak Mana padaku. Aku mengangguk. Ketika aku pulang kerja atau mau sarapan, aku pasti ke sini. "Iya, lumayan. Karena jaraknya yang memang lebih dekat ke sini dari pada yang lain." ujarku. "Oh, iya. Aku melihat kandungan kamu sudah terlihat. Apakah dia lincah seperti janin janin yang lainnya, yang suka nendang sana sini?" "Oh, tentu saja. Dia selalu nendang. Pokoknya dia aktif banget." ujarku. "Kapan USG?" "Aku masih belum punya waktu. Karena USG harus pas saat kerja. Dan kalau aku enggak kerja, nanti aku di pecat lagi." apalagi sekarang atasannya adalah angkasa si lelaki b******k. Aku yakin sekali dia tidak akan pernah mengijinkan ku pergi USG. Karena laki laki itu memang tidak peduli, bahkan dia ini sangat ingin anaku mati. Kami makan berdua sambil sesekali bercerita dan tertawa. Aku merasa nyaman dengan lelaki itu. Maksudku, hanya sebatas teman kerja saja. Karena aku sama sekali belum tertarik dengan lelaki mana pun. AKu bahkan enggak mau dan enggak akan pernah mau menjalin hubungan dengan laki laki mana pun lagi di dunia ini. Karena menurutku laki laki itu sama saja. Menurutku, laki laki itu memang baik, namun semua lelaki akan baik hanya ketika ia menginginkan perempuan itu saja. setelah ia mendapatkan perempuan yang diinginkannya, maka laki laki akan dengan mudahnya meninggalkan atau bahkan menyakitiku. Seperti yang dilakukan oleh Angkasa padaku. Ia mendapatkan ku dengan paksaan yang biadab. Kemudian ia meninggalkan ku begitu saja, bahkan iamenyuruhku untuk membunuh anaknya, yang bahkan merupakan darah dagingnya sendiri. Kami selesai makan, kemudian Pak Mana mengantarkan ku ke kontrakan kecil ku. Laki laki itu duduk sebentar. "kamu punya uang simpanan?" tanya Pak Mana. "Punya." Aku punya simpanan lima puluh juta. Itu uang yang diberikan oleh Mas Damar padaku. Aku sungguh berterima kasih padanya. Dan aku akan selalu berdoa agar laki laki itu selalu bahagia dan mendapatkan pasangan yang terbaik. "Aku mau memberikan uang tabungan untuk kamu. Apa kamu mau menerimanya?" "Oh, tolong jangan lakukan itu, pak. Saya tidak berani untuk menerimanya. Saya ini bukan siapa siapanya bapak. Ada baiknya kalau bapak tidak berlebihan berbuat baik ke pada saya." "Tolong jangan berkata seperti itu, an. Kamu itu perempuan baik. Kamu sangat berhak menerima kebaikan saya." "Pak--" aku melihat notifikasi yang masuk ke dalam ponselku. Sebuah pembertahuan dari Mbangking ku. Bahwa seseorang telah mengirim uang sebanyak 20 juta. Aku tentu saja kaget, karena laki laki yang mengirimkan itu adalah pak Laksmana. "Pak kenapa--" "Semoga bisa bermanfaat. " Dia berdiri. "Karena ini sudah malam, maka saya permisi dulu." Pak Laksmana segera bangun, dan beliau pemit. AKu masih saja termenung di sini, karena merasa sangat kaget dengan laki laki itu. Keesokan harinya aku dikagetkan dengan kehadiran Mas Damar. Laki laki itu sudah menghilang selama empat bulan. Dan saat ini dia kemari dengan senyuman manisnya. "Mas Damar?" aku masih memanggilnya, mas. Karena laki laki itu umurnya memang lebih tua dariku. "Apa kabar mas?" Dia mengusap pucuk kepalaku. "Sudah besar ya janinnnya. APakah dia aktif?" dia mengajaku duduk di kursi tamu, yang ada di luar kamar ku. Dia memperlakukan ku seolah aku ini adalah istrinya yang sedang hamil dan ia sangat mengkhawatirkannya. "Oh, dia aktif sekali, mas. Dia hebat sekali." ujarku. "Syukurlah." dia meletakan paper bag di atas meja. "Ini aku bawa buah dan juga sarapan pagi untuk kamu." Aku termenung melihat semua kebaikannya itu. "Terima kasih, mas. bagaimana kabarnya hera?" "Oh, hera ya ... mungkin baik baik saja." "Loh, kan dia istrinya mas kan? kan mas bilang mau nikah sama hera kan?" Dia terdiam untuk selama beberapa saat. "Bagaimana kalau kamu makan dulu, ya. Nanti lah kita bahas dia." Dia membuka kotak bubur yang diatasnya terdapat banyak daging sapi dan juga sayuran. "Ini bagus untuk kamu. Makan dulu ya. Kamu mau kerja sebentar lagi kan?" tanya nya. tadinya aku mau sarapan di kantin kantor saja. Namun karena mas Damar ke sini, maka aku harus menerima semua bantuannya ini. Aku tidak mau mengecewakannya. "Udah berapa bulan, an?" dia tanya setelah kami selesai sarapan. "Lima bulan, mas. Mas mau teh atau kopi?" "Oh, jangan lah. Saya enggak mau nyuruh kamu. Kamu duduk saja, karena saya sudah minum kopi di rumah. Kamu jangan repot repot ya." Aku pernah melihatnya marah, itu karena ia merasa sangat kecewa padaku. Dan sekarang kemarahannya itu sudah hilang. Dan yang aku dapatkan adalah semua kebaikannya. "An, saya ke sini karena orang tuamu meminta kita pergi ke sana. Bagaimana?" Aku terdiam. AKu tidak mungkin menemui ibuku dengan keadaan aku yang seperti ini. Aku sedang hamil. Dan yang paling parahnya aku bukan sedang hamil anaknya Mas Damar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD