Chapter 11

1344 Words
Kediaman Hamilton. Pukul 05.30 pagi, Keesokan harinya. Franklin menatap dirinya didepan cermin walk in closet. Memastikan bahwa semua penampilan dari ujung rambut hingga ujung kaki sempurna. Tak lupa ia memakai parfum dengan wewangian pheromone kemudian menyemprotkan ke arah tubuhnya, bagian leher, dan pergelangan tangannya. Franklin menatap seluruh ruangan Walk in closet nya yang isinya hanya di tempati pakaian formal dan santai kemudian deretan parfum mahal serta barang-barang lainnya yang tidak begitu banyak dengan nuansa netral Abu-abu putih. BRAK! Pintu terbuka lebar. Franz dan Fariz berlarian kejar-kejaran sambil membawa pistol mainan. "Om! Om!" panggil Franz dengan antusias sambil memegang ujung tangannya. "Om harus menjadi timku buat menyerang adek Fariz!" "Om sibuk." "Oh ayolah Om. Kita main sebentar." "Tidak." Franklin beringsut menjauh sementara Fariz yang berusia 6 tahun itu malah mengejar Franz yang kini berusia 8 tahun. Kedua keponakan Franklin tersebut adalah anak dari Frankie dan Feby. "Dor! Dor! Dor! Ayo kejar aku!" ejek Franz pada adiknya. Merasa kesal karena sejak tadi kalah, tanpa diduga Fariz meraih botol parfum milik Franklin kemudian melemparkannya kearah Franz. Prank! Franz sempat menghindar. Tapi sayangnya botol parfum tersebut mengenai dinding kemudian pecah begitu saja di lantai. Franklin terkejut yang tadinya berada di dalam toilet. Dengan cepat ia keluar dari toiletnya dan kembali memasuki walk in closet lalu tercengang. Franklin melangkahkan kakinya menuju pecahan botol kaca parfum miliknya seharga Rp. 9.752.500 yang baru saya ia beli seminggu yang lalu di Paris melalui situs online luar negeri. Franklin hanya bisa menatap datar. Nunggu parfum datang seminggu dan Baru di pakai pagi ini.  Sementara kedua keponakannya itu sudah hilang ntah kemana. "Positif thinking saja, mungkin bukan rezekiku lagi." gumam Franklin dengan sendirinya dan santuy seperti biasanya. Franklin segera berdiri menuju ruang makan untuk sarapan. Seorang asisten rumah tangga datang menghampirinya. "Maaf Tuan Franklin, saya mendengar ada pecahan kaca dari dalam walk in closet. Bolehkah saya membersihkannya?" "Tidak perlu. Biarkan saja begitu. Aku yang akan membersihkannya sepulang bekerja." "Tapi Tuan, seharusnya itu tugas saya dirumah ini." "Tidak ada yang boleh memasuki kamar pribadiku beserta sekitarnya terkecuali keluargaku." Franklin segera berlalu tanpa banyak kata. Asisten rumah kediaman Hamilton itu hanya mengangguk patuh. Sejak usia remaja, Franklin memutuskan untuk menerapkan pada dirinya sendiri untuk menjaga semua privasinya. Tak hanya itu, bahkan ia rela melaundry semua pakaiannya dan sepatunya seolah-olah merasa enggan kalau semua keperluan pribadinya di sentuh orang lain. Bagi Franklin, ia tidak mempermasalahkan dirinya mengurus semua itu. Bujangan tampan sepertinya tentu saja tidak merasa terbebani. "Tenang saja, nanti ada saatnya kalau semua kebutuhanku akan di urus oleh istri. Iya, aku yakin itu." gumam Franklin pelan. Dengan santai Franklin memakan sarapannya tanpa mempedulikan sekitarnya. Semua keluarga besar di kediaman Hamilton tentu tahu bagaimana seorang Franklin yang tidak banyak berbicara. Tak hanya itu, Franklin juga merasa semua mata menatap kearahnya. ia juga sadar semua itu disebabkan oleh kejadian tadi malam ketika acara akad nikah Ava yang membuat semua keluarga menatap dirinya prihatin. Berbeda dengan Franz dan Fariz yang malah berbisik sejak tadi dan saling menyalahkan satu sama lain akibat insiden parfum Om nya yang pecah. "Franklin." panggil Ayesha pelan "Ya Mom?" "Kamu baik-baik saja?" "Seperti yang Mommy lihat." "Kamu nggak galau dek, kalau Ava menikah sama pria lain?" sela Aifa. "Atau patah hati?" sambung Frankie sambil mengerutkan dahinya. Franklin menatap Aifa dan Frankie kemudian segera berdiri dari duduknya. "Apakah aku terlihat begitu? Tentu saja tidak." "Mommy tidak habis pikir, kamu sudah ajak dia ketemu waktu itu. Kenapa masih bisa diselip pria lain?" "Sudah jodohnya, Mom." "Umur kamu sudah 30 Tahun Franklin, apakah kamu tidak merasa takut menjadi bujangan lapuk?" ejek Frankie dengan santai. Sementara Daddy mereka hanya tersenyum geli sambil menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang perlu di khawatirkan meskipun waktu terus berjalan dan umur semakin bertambah." Aifa menepuk jidatnya. "Tapi Franklin-" "Jangan pernah menganggap usia adalah musuh. Ketahuilah semua yang indah akan datang di akhir." Dan semua yang ada dikursi meja makan saat itu dibuat Franklin terbungkam dengan ke santuyannya. Franklin segera pamit dan mencium punggung tangan Mommy dan Daddynya serta punggung tangan Aifa dan Kakak iparnya Rex. Franklin keluar rumah dengan langkah santai. Tapi tidak ada yang tahu selain Allah bahwa sebenarnya saat ini hatinya sedang sesak, galau, merana, dan patah hati. Kediaman Hamilton. Pukul 00.00 dini hari. Tidak ada yang bisa Franklin lakukan selain merenung dengan perasaan tidak menentu. Padahal sudah berlalu satu hari satu malam setelah acara akad nikah Ava. Tapi mengapa hawa-hawa patah hati masih begitu terasa? Padahal ia sudah melakukan lembur hingga pukul 21.00 malam di HM Corporation guna menghalau perasaan gundah gulananya itu. Tapi sesampainya dirumah, semua usaha itu gagal. Franklin membuka pintu balkon kamarnya. Kemudian ia melangkahkan kedua kakinya untuk menikmati semilir angin malam dan keheningan. Cuaca malam ini begitu terang karena sinar rembulan menerangi bumi. Franklin mengeluarkan sebatang rokok kemudian menyalakannya menggunakan korek api gas. Rokok sudah menyala, Franklin menghisap rokoknya dan asap mengepul di udara. Padahal ia paling jarang menghisap rokok kecuali jika pikirannya sedang penat dan gelisah. Bayangan wajah Ava, senyuman Ava, dan cara wanita itu berjalan dengannya seminggu yang lalu saat makan malam membuatnya sulit untuk di lupakan. Tidak baik memikirkan seorang wanita yang bukan mahram untuknya. Uhuk! Uhuk! Uhuk! Franklin menoleh kebelakang. Ia syok mendapati Fariz terbatuk-batuk. Dengan cepat Franklin mematikan rokoknya kemudian berjalan kearah keponakannya. "Ini sudah malam. Kenapa kamu belum tidur?" "Aku lapar Om." "Kenapa tidak makan?" "Aku ingin makan es cream. Beliin ya Om? Ya? Ya? Ya?" "Tidak baik buatmu makan manis-manis. Lekas tidur kekamar." "Nggak mau! Atau Om aku laporkan ke Kakek habis merokok." Dengan cepat Fariz menuju keluar kamar Franklin dan sudah memegang kenop pintunya. "Mau berapa banyak es creamnya?" Fariz menghentikan langkahnya kemudian menoleh kearah Franklin. "Satu saja Om. Aku janji setelah itu sikat gigi dan tidur. Di ujung jalan ada minimarket buka 24 jam kok." Dengan santai Franklin menuju laci meja kamarnya dan meraih dompet kartu kemudian mengeluarkan ATM Gold card. "Nih, minta antar ke minimarket sama Aunty Lara." Fariz berbinar. Tentu saja ia tahu Om nya itu banyak memiliki uang bahkan dengan mudahnya memberikan kartu ATM Gold card nya. "Boleh beli banyak?" "Terserah. Beli sama tokonya silahkan." "Yey! Om hebat, baik, dan nggak pelit." "Alhamdulillah," "Tadi aku cuma bercanda. Padahal aku cuma mau satu es cream Om." Fariz melenggang pergi dengan riang. Padahal waktu sudah dini hari. Franklin tak habis pikir, mengapa keponakannya itu belum tidur? Jika Frankie dan Feby tahu, bisa di pastikan kalau kedua orang tua itu akan mengomel habis-habisan. "Positif thinking saja, saling memberi akan menambah rezeki." gumam Franklin dalam diam. Franklin berniat kembali ke balkon hendak melanjutkan aktivitas merokoknya yang tertunda bertepatan saat pintu kamarnya terbuka. "Daddy?" "Kamu belum tidur?" "Belum. Ada apa perlu apa Dad?" Fandi melangkahkan kakinya memasuki kamar Franklin sambil membawa sebuah proposal penting kearahnya. "Ini berkasnya. Sudah Daddy cek. Alhamdulillah Pak Samsul menyutujuinya." "Alhamdulillah." "Proyek ini hadiah untukmu." Franklin mengerutkan dahinya. "Maksud Daddy?" "Anak perusahaan HM Corporation Daddy berikan padamu. Kamu bisa membangunnya di kota Solo sebagai Presdir." "Bagaimana dengan Frankie di HM Corporation? Bukankah semua ide ini milik Frankie?" "Itu bisa di atur." Franklin tidak menyangka kalau Daddynya itu memberi sebuah  perusahaan produksi pangan untuknya. Jika di pikir-pikir, baru saja beberapa detik yang lalu ia memberi uang pada keponakannya untuk jajan es cream. Apakah secepat itu Allah membalas kebaikannya? Sungguh Allah Maha Baik atas segala suatu hal. "Baik Dad, Terima kasih." "Tolong kembangkan dengan baik. Jangan sampai salah dalam mengambil langkah sehingga mengalami kerugian besar." "Insya Allah Dad," "Anggap saja ini hadiah dari Daddy sebagai obat patah hati kamu. Kali aja di Solo kamu ketemu jodoh." Tiba-tiba Franklin merubah raut wajahnya menjadi datar sehingga membuat Fandi tersenyum geli sambil mengedipkan salah satu matanya padanya. Daddynya itu benar-benar menggodanya soal jodoh. Fandi pun pergi keluar kamarnya dan meninggalkan kesunyiannya. "Kalau jodohku tidak ada Jakarta, mungkin di tempat lain. Atau bisa jadi kamu yang baca cerita aku ini calon jodohku." Ya Ampun Franklin.. Ayo yang dari kmrin baca chapter 1 sampai 10 dan mulai bertanya-tanya, Franklin sama siapa? Ada tokoh baru atau nggak? Kok tokoh wanitanya yang memunculkan chemistry belum ada ya? Sabar ya Ukh. Hehehe. Ketemu jodoh itu nggak semudah membalik telapak tangan kan??? Tetap stay di cerita ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD