Hotel Astria, Pukul 11.00 siang. Surakarta.
Setelah membeli beberapa oleh-oleh untuk keluarga dan orang tua Ava tadi pagi, Franklin memilih beristirahat sejenak sebelum kembali pulang ke Jakarta. Hari ini Franklin sepakat menuju Bandara Adi Soemarmo bersama Aldi pukul 16.00 sore setelah sholat Ashar.
Ponsel Franklin berbunyi diatas tempat tidur. Niatnya ingin tidur sejenak sebelum sholat Zuhur batal begitu saja. Franklin segera meraih ponselnya dan menatap nama Aifa di layarnya.
"Asalamualaikum, Iya Kak?"
"Wa'alaikumussalam. Franklin Franklin Franklin! Kapan kamu pulang ke Jakarta?!"
Franklin memposisikan dirinya duduk tegak di pinggiran ranjang. Dahinya berkerut penuh tanda tanya.
"Apakah semuanya baik-baik saja?"
"Pertanyaan ini cocoknya untuk kamu," sela Aifa. "Kamu sama Ava baik-baik saja?"
"Maksud Kakak?"
"Gini ya, tadi Aifa jalan sama Rex. Terus Aifa ada lihat Ava jalan sama pria lain Franklin! Kok kamu bisa di selip sama pria lain sih? Kok kamu nggak gercep sih? Kok kamu santuy sih?"
Franklin berusaha untuk tenang meskipun sebenarnya hatinya sedikit gelisah. Benarkah Ava begitu?
"Franklin!"
"Apa?"
"Kok apa sih? Panik dikit kenapa?!"
"Positif thinking saja Kak, mungkin itu Kakaknya atau keluarganya."
"Franklin, Aifa serius!"
"Mungkin itu Paman atau adik lelakinya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Kak."
"Jadi kamu begitu ya sama Kakak? Mulai nggak percaya?"
"Bukan begitu, aku-"
Klik. Panggilan terputus secara sepihak. Franklin menatap ponselnya. Ia sadar Kakaknya itu saat ini sedang ngambek. Padahal Kakaknya itu sudah dewasa, tapi ntah kenapa ketika marah caranya dia seperti kekanakan saja dari dulu.
Franklin berusaha menahan sabar dan kembali membujuk Kakaknya yang manja itu kemudian menghubunginya meskipun butuh deringan ke empat baru di respon.
Bila sebelumnya Aifa akan mengira Franklin akan panik karena wanita yang disukai adiknya itu bersama pria lain, namun siapa sangka kalau Franklin tetap santai seperti biasanya.
"Apa lagi?" tanya Aifa ketus.
"Kakak marah sama aku?"
"Kalau iya kenapa, nggak kenapa?"
Franklin menghela napasnya. Ia memijit leher belakangnya yang sedikit lelah.
"Kalau iya aku minta maaf, kalau enggak cuma mau nanya, Kakak mau di titipin apa mumpung aku masih disini?"
Aifa terdiam. Padahal ia masih marah sama Franklin. Sedangkan Franklin, paling tidak bisa mengabaikan amarah Mommy dan Kakaknya. Kedua wanita itu benar-benar sosok yang begitu berarti dalam hidupnya.
"Kak?"
"Aifa enggak mau apa-apa. Aifa marah sama Franklin!"
"Kak-"
"Sebagai Kakak, Aifa tidak ingin Franklin nggak peka. Oke?"
"Baiklah maafkan aku," Franklin mengacak-acak rambutnya dengan rasa frustasi dan berharap semua drama Kakaknya itu cepat berakhir. Akhirnya ia pun memilih berbaring.
"Aku akan berusaha tidak begitu."
"Janji?"
"Iya, Janji."
"Beneran?"
"Hm."
"Adek sayang Aifa kan?"
"Iya Kak, iya."
"Apakah titipan tadi masih berlaku?"
"Maksud Kakak?"
"Franklin masih di Solo. Boleh Aifa minta di beliin sesuatu? Kan tadi Franklin nawarin ke Aifa. "
"Oh itu," Franklin segera bangun dari tempat tidurnya kemudian berjalan kearah tas kerjanya dan mengeluarkan ponselnya yang kedua. "Katakan apa yang ingin Kakak mau?"
"Aifa mau di beliin Tas. Barusan Aifa dapat informasi dari adminnya. Ada promo di pusat perbelanjaan yang ada disana. Beliin ya? Ya? Ya?"
"Hm, berapa harganya?"
"Murah saja, Rp. 87.540.000,-, kualitas branded dan ORI."
"Oke."
"Huaaaaa terima kasih Franklin! Kakak doakan semoga tahun ini kamu lekas dipertemukan jodoh, Aamiin."
"Aamiin."
Dan akhirnya Franklin bernapas lega ketika Aifa sudah tidak marah lagi dengannya. Seperti doa Aifa barusan, ia menganggap bahwa jodoh akan datang di waktu yang tepat dan semuanya akan baik-baik saja.
Kediaman Hamilton, Pukul 18.00 sore. Jakarta Timur.
Senja mulai terjadi ketika Franklin baru saja pulang dari bandara dan saat ini mobil yang dikemudikan supir pribadi keluarga besar Hamilton memasuki halaman kediaman mewah itu.
Baru saja Franklin keluar dari mobilnya, ponselnya kembali berdering. Franklin menatap sebuah nomor baru di layarnya. Nomor ponsel Siapa? Tak mau menunda waktu, Franklin segera menerima panggilan tersebut.
"Halo, Asalamualaikum?"
"Wa'alaikumussalam. Ini Nak Franklin?"
"Iya benar." Dengan jelas suara tersebut adalah suara seorang pria paruh baya. "Maaf, ini siapa?"
"Saya Wahyu Nugroho. Ayah Ava."
Seketika Franklin terdiam di tempat. Degup jantungnya tiba-tiba deg-degan.
"Iya Pak, ada yang bisa saya bantu?"
"Ini tentang putri saya, Ava."
"Malam ini kerumah ya, orang tua kamu sudah saya hubungi. Saya tunggu pukul 20.00 malam."
Suara adzan Maghrib berkumandang. Dengan cepat Franklin memasuki rumahnya karena tidak baik berada diluar rumah saat senja.
"Untuk lebih jelasnya nanti kita sambung lagi ya Nak. Sudah magrib."
"Baik Pak, Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Panggilan berakhir. Dengan santai Franklin menuju kamarnya dan bersiap-siap untuk berganti pakaian untuk menuju mesjid dekat kediamannya.
Franklin menarik kedua sudut bibirnya. Seperti yang ia anggap selama ini, jodoh itu tidak akan kemana. Jadi, tidak ada yang perlu di cemaskan. Itu saja. Telepon dari Ayah Ava adalah salah satu tanda bahwa calon mertuanya itu memberinya lampu hijau.
Dua jam kemudian, pukul 20.00 malam.
Franklin sudah rapi dan wangi. Tak hanya itu, wajahnya yang tampan malam ini memperlihatkan betapa bahagia meskipun Allah Maha Tahu apa yang ia rasakan.
Tak hanya itu, Franklin menatap goddybag yang sudah berisi boneka, buket mawar, dan satu stel syar'i darinya. Franklin merogoh saku jeansnya dan ia mengeluarkan sambil menatap kotak kecil berwarna merah yang didalamnya tersemat cincin berlian disana.
Mumpung malam ini ada acara kumpul keluarga, ia akan berniat melamar Ava tanpa menunda waktu lagi.
Franklin segera keluar dari kamar dan menuju ruang tamu begitu semua keluarga sudah berkumpul meskipun hanya ada Daddy Fandi, Mommy Ayesha, pasangan Aifa dan Rex serta Feby yang malam ini tanpa Frankie karena pria itu sedang lembur di kantor. Fandi mengerutkan dahinya. Ia menatap Franklin yang membawa goddybag.
"Kamu bawa apa?"
"Hadiah."
"Untuk Ava?" sela Ayesha.
Franklin mengangguk. Dengan cepat Aifa mendekati Adiknya.
"Franklin, kamu jangan-" deringan ponsel Aifa berbunyi sehingga membuat Aifa menghentikan niatnya.
"Ponselku berbunyi. Sepertinya ini dari admin tasku."
"Jangan lama-lama terima panggilannya atau nanti kita akan terlambat." sela Ayesha.
"Iya Mom, iya."
Komplek Perumahan Citra Indah. Pukul 20.45 Malam. Jakarta Timur
Akibat terjebak macet selama kurang lebih 45 menit, akhirnya Franklin beserta keluarga besarnya terlambat untuk tiba di kediaman Ava.
Franklin keluar dari mobilnya. Banyaknya mobil-mobil yang terparkir di pinggiran jalan membuat Franklin sedikit menahan senyumnya dari tadi.
Ia tidak menyangka kalau Daddy dan Mommynya sudah menyiapkan kejutan acara untuknya dirumah Ava. Saking bersyukurnya, Franklin pun mengamit lengan Ayesha disebelah kiri sedangkan Fandi memegang pergelangan tangan istrinya disebelah kanan.
"Dad, Mom, terima kasih sudah mempersiapkan semuanya."
Fandi dan Ayesha mengerutkan dahinya. "Maksud kamu apa?" tanya Ayesha.
"Maksudku-"
"Bismillahirrahmanirrahim, saya nikahkan dan kawinkan engkau Muhammad Rifandi bin Siswanto dengan Ava Fadila binti Wahyu Nugroho dengan Mas kawin tersebut dibayar Tunai."
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Ava Fadila binti Wahyu Nugroho dengan Mas kawinnya dibayar tunai."
"Bagaimana saksi?"
"Sah!"
"Sah!"
"Sah!"
"Barakallah..."
"Alhamdulillah.."
Seketika Franklin menghentikan langkahnya begitu mendengar suara Ijab Kabul dari alat pengeras suara. Dunia serasa runtuh. Hatinya seperti tersayat pisau.
Sakit. Itulah yang ia rasakan.
Franklin yakin saat ini ia sedang tidak bermimpi apalagi salah mendengar semuanya. Tidak ada yang bisa Franklin lakukan selain diam tanpa bisa berbuat apapun sementara goddybag yang ia bawa tadi akhirnya tersimpan rapi begitu saja didalam mobilnya dan tidak berarti.
Fandi, Ayesha, Aifa, Rex serta Feby menatap Franklin dengan iba sejak tadi namun tidak bisa berbuat apapun. Aifa terdiam menatap adiknya yang terlihat mengenaskan. Padahal sebenarnya ia ingin memberitahu Franklin bahwa malam ini adalah acara akad nikah Ava namun semua itu tertunda setelah deringan ponselnya sempat berbunyi.
Waktu terus berjalan. Franklin menatap Ava yang kini sedang mengamit lengan suaminya dengan wajah cantiknya. Tanpa sengaja tatapan Ava dan Franklin bertemu.
Ava menatap Franklin dengan perasaan sesak. Sesak karena ia harus menerima sebuah perjodohan yang dilakukan orang tuanya selang satu hari setelah Franklin datang kerumahnya hanya untuk mengembalikan bros hijabnya waktu itu.
Ava berusaha menahan air mata ketika ia teringat satu hari yang lalu saat pukul 05.00 pagi, ia menghubungi Franklin hanya untuk mengatakan hal yang sesungguhnya namun pria itu malah mematikan panggilan karena kesibukan yang mendadak.
Tapi apa mau dikata, bila selama ini sebuah doa yang ia ucapkan pada Allah dan berharap bahwa Franklin adalah jodohnya semua itu tidak terjadi. Sungguh Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Manusia hanya bisa berencana dan Allah SWT lah yang menetapkan garis takdir seperti halnya malam ini ketika di Lauhul Mahfudz bahwa jodoh seorang Ava Fadila adalah Muhammad Rifandi, bukan Franklin Hamilton.
Ava memutuskan pandangannya pada Franklin dan menatap kelain. Sebisa mungkin ia menahan air mata kesedihannya demi menjaga perasaan suaminya agar tidak cemburu dan salah paham. Demi agar bisa mulai berbakti pada imam halalnya apalagi menyukai pria lain.
Dengan langkah berat Franklin keluar dari rumah Ava dan berniat menunggu didalam mobil saja.
"Nak Franklin?"
Franklin mengentikan langkahnya. Tiba-tiba Ayah Ava memanggilnya. Franklin mencoba memaksakan senyumnya.
"Ya Pak?"
"Masya Allah, akhirnya kita bertemu lagi. Oh iya, terima kasih ya sudah memberi hadiah buat saya dan sekeluarga. Alhamdulillah, Ibu suka dengan kain batiknya."
Franklin pun mencium punggung tangan Ayah Ava setelah itu tersenyum tipis meskipun hatinya sedang kecewa.
"Em, sama-sama Pak."
"Kemarin perjalanan bisnis ya ke kota Solo?"
"Iya Pak."
"Wah-wah. Pak Fandi pasti bersyukur memiliki seorang putra yang cerdas dan sukses sepertimu. Padahal impian saya sejak dulu menginginkan calon menantu pengusaha."
Dan Franklin merasa itu adalah tamparan keras baginya.
"Ya, tapi begitulah. Jodohnya Ava ternyata teman kerjanya sendiri. Saya kira waktu itu kamu mau lamar anak saya meskipun kenyataannya tujuan kamu kerumah saya hanya untuk mengembalikan bros hijab putri saya."
Franklin mencoba tersenyum miris. Dan ia pun berpura-pura sok sibuk memperhatikan jam dipergelangan tangannya.
"Kalau begitu selamat ya Pak atas pernikahan putri Bapak."
"Terima kasih."
"Saya pamit dulu. Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam. Oh iya Nak." .
Franklin menghentikan niat langkahnya. Padahal ia hendak menjauh dari sana secepatnya.
"Ya Pak?"
"Jangan lupa hari Minggu nanti datang ke acara resepsi Ava, ya. Saya minta tolong agar kamu mau menjadi salah satu groomsmen di pernikahan putri saya."
"Ha?"
Wahyu mengangguk sambil tersenyum. "Pokoknya nanti datang ya Nak, kamu itu sudah saya anggap seperti putra saya sendiri."
Franklin menatap tiang listrik yang ada disebelahnya. Dan rasanya ia ingin membenturkan kepalanya saat ini juga disana.
Mau ketawa, tapi nggak tega
Pelajaran yang bisa kita petik dari part ini?
Jawab di kolom komentar.
Intinya makasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian ya,
With Love
LiaRezaVahlefi
Instagram
lia_rezaa_vahlefii