Kediaman Hamilton, Pukul 14.00 siang. Jakarta Utara.
Sebulan Kemudian.
Napas Franklin tersengal-sengal ketika ia baru saja berlari diatas treadmill selama kurang lebih 15 menit. Franklin terdiam sesaat sambil mengusap dahi yang berpeluh disekitaran wajahnya menggunakan handuk kecil yang melingkar di lehernya.
"Frank, ayo kita keluar."
Franklin menoleh kearah Frankie yang juga baru saja selesai mengangkat barbelnya seberat 10kg.
"Kamu saja, aku masih ingin berolahraga."
"Kita sudah 30 menit disini. Jangan bilang kamu sedang mencari alasan untuk menghindar?"
Franklin terdiam. Yang di maksud saudara kembarnya itu adalah kalau sehabis Zuhur tadi teman Mommynya semasa kuliah waktu di Bandung datang mengunjungi rumahnya. Tak hanya itu, dia juga membawa putri mereka.
Franklin mengela napasnya dan turun dari atas treadmill kemudian memilih meraih sebotol air mineral dan duduk di bawah sambil menselonjorkan kedua kakinya.
"Aku tidak menghindar."
"Terus kenapa menolak?"
"Aku lelah. Itu saja."
"Sudah seminggu kamu menolak ajakan Mommy kalau Mommy minta ditemani ke undangan pernikahan dan acara-acara resmi perusahaan dari teman Daddy. Kamu juga enggan keruang tamu begitu aku kedatangan tamu pembisnis senior yang membawa putri mereka."
"Terus?"
"Kamu nggak nyadar kalau orang tua kita begitu secara tidak langsung mereka mau memperkenalkanmu dengan putri dari anak-anak teman mereka?"
"Aku sadar."
"Kalau begitu kenapa tidak menemui mereka?" kesal Franklin lalu mendengkus kesal.
"Aku tidak suka begitu."
"Kenapa?"
"Lebih suka mencari sendiri sesuai pilihan hati."
Franklin menenggak air mineralnya bertepatan saat pintu ruangan gym terbuka. Disanalah Aifa berdiri sambil menggendong Rafa. Si kecil berusia 1 tahun 6 bulan.
"Dek, kamu dipanggil Mommy diruang tamu."
Frankie menoleh kearah Kakaknya. "Kakak ngajak bicara kesiapa?"
"Franklin."
Frankie menatap Franklin yang terlihat sok sibuk dengan mengecek ponselnya. Aifa mendengkus kesal kemudian ia memasuki ruangan gymnya sambil menurunkan Rafa yang terlihat senang sambil berjalan yang belum terlalu lancar.
"Franklin cepat keruang tamu." sela Aifa.
"Aku lelah, Kak."
"Tapi Mommy sudah nunggu sejak 30 menit yang lalu. Nanti keburu tamu Mommy pulang."
"Biarkan saja."
"Ih nyebelin!" Aifa menatap Frankie."Dek kenapa saudara kembarmu ini menyebalkan?"
"Mana aku tahu Kak. Tanyakan saja pada Daddy dan Mommy yang sudah membuat Franklin dimasalalu."
"Dasar aneh! Tentunya kamu juga dibuat di waktu yang sama bareng Franklin."
Dan Frankie tertawa sambil menggendong Rafa yang ikut tertawa karena keponakannya itu berusaha menaiki tempat-tempat alat fitnes lainnya. Akan berbahaya jika Rafa sampai terjatuh.
"Ayo sayang, ikut Om. Kita datangin Kakek Nenekmu di ruang tamu ya."
Frankie mengabaikan Aifa dan Franklin. Kemudian segera pergi meninggalkan ruangan gym. Aifa menatap kepergian adik dan putranya lalu beralih menatap Franklin yang tetap sibuk memegang ponselnya.
Aifa beralih duduk di hadapan Franklin. Tanpa diduga ia memeluk lututnya sendiri sambil menenggelamkan wajahnya.
"Aifa sedih."
Franklin tersadar begitu mendengar suara Kakaknya yang begitu lirih.
"Kak ada apa?"
"Aifa sedih kalau Franklin merana."
"Percayalah Kak. Aku tidak apa-apa."
"Tapi siapa yang tahu isi hati dan perasaanmu selama ini?"
Franklin kembali terdiam. Kakaknya itu memang benar. Ia pun mengulurkan tangannya untuk menyentuh lengan Aifa.
"Kak..."
"Aifa tahu kok rasanya patah hati itu gimana. Aifa juga tahu rasanya sakit hati ketika hanya bisa diam menahan rasa cemburu."
Aifa mengangkat wajahnya dan menatap Franklin. Ia tidak menyangka kalau Kakaknya itu akan menangis. Wajah Aifa sudah basah oleh air mata dan Franklin sadar sejak dulu Kakaknya itu sangat manja dan mudah menangis.
"Franklin pria yang hatinya kuat. Walaupun lemot dan nggak peka, tapi Franklin bisa mengendalikan diri saat kecewa dan patah hati. Nggak seperti Aifa yang dulunya baperan sebelum menikah dan mudah panik. Apalagi kalau sampai Rex tidak nikahi Aifa."
Franklin tersenyum kecil lalu menyentuh pipi Aifa sambil mengusap air yang membasahi pipi Kakaknya. Setelah itu Franklin berdiri dan mengulurkan tangannya.
"Maaf sudah buat Kakak sedih."
Aifa menyambut uluran tangan Franklin. Franklin beralih keluar ruangan gym di ikuti dengan Aifa yang malah memeluk lengan adiknya sambil berjalan.
"Franklin yang sabar ya."
"Iya Kak."
"Jodoh Franklin ada disuatu tempat. Aifa yakin dengan hal itu. Ini masalah waktu karena belum ketemu."
"Iya."
"Dek,"
"Hm?"
"Janji sama Aifa ya?"
"Soal?"
"Tetap berjuang dan berusaha."
"Insya Allah Kak. Aku akan melakukannya."
60 menit kemudian.
Nyatanya Franklin tetap tidak bisa menghindar setelah Aifa memberinya omongan secara baik-baik dan pelan-pelan agar ia mau mendatangi ruang tamu hanya untuk sekedar berkumpul tanpa banyak bicara.
Sesekali Franklin hanya tersenyum tipis dan berbicara seperlunya ketika ditanya oleh keluarga dari teman Mommya itu. Tapi Franklin bernapas lega setelah mengetahui yang sebenarnya kalau wanita cantik berhijab didepan matanya itu sudah bersuami.
"Ya Allah Ay, aku nggak nyangka putramu sudah sukses ya sekarang. Terakhir kemari Franklin masih kuliah."
"Masya Allah. Alhamdulillah iya jeng Putri. Oh iya, kamu di Jakarta sampai kapan?"
"Insya Allah sampai Minggu depan."
"Wah lama juga ya?" sela Ayesha sambil tersenyum tipis. Kemudian tatapannya beralih kearah putri temannya itu.
"Tapi aku minta maaf loh nggak bisa datang keacara pernikahan Inayah bulan kemarin. Waktu itu Fandi sakit."
"Iya Ay, nggak masalah kok. Lagian waktu itu Inayah di jodohkan. Jadi pernikahannya dipercepat."
Ayesha mengerutkan dahinya. "Loh bukannya dulu kamu bilang Inayah sudah punya pilihannya sendiri?
"Iya itu memang benar. Tapi aku dan suamiku tidak setuju sama pilihan dia."
"Kenapa ya kalau boleh tahu?"
"Mantan calon Inayah dulu pengedar narkoba. Sebagai orang tua tentu saja aku tidak mengijinkan Inayah bersanding dengan pria yang memiliki pekerjaan seperti itu. Kabar terakhir yang aku dengar, pria itu punya adik perempuan dan baru saja adiknya itu keluar dari penjara karena kasus narkoba."
Ayesha menatap Putri dengan miris meskipun hatinya ikut bernapas lega karena akhirnya temannya itu menikahkan Inayah dengan jodoh pilihan yang tepat.
"Alhamdulillah kalau Inayah bertemu dengan jodoh yang baik ya, Jeng Put."
Semua obrolan-obrolan pun mengalir begitu saja. Sementara Franklin tetap terdiam seperti sebelumnya dan berharap semua situasi ini akan segera berakhir.
Komplek Perumahan Citra Indah. Pukul 21.00 malam.
Ava menatap telapak tangannya yang kini di genggaman erat oleh Rifandi diatas bantal. Hari ini ia off bekerja. Sementara Rifandi baru saja pulang satu jam yang lalu setelah dinas pagi seharian meskipun jam pulangnya telat.
Rifandi semakin memeluk erat tubuhnya dari belakang bertepatan rasa haus begitu terasa di tenggorokannya. Ava pun memilih bangun secara perlahan dan membuat Rifandi ikut terbangun.
"Sayang?"
Ava menoleh kearah Rifandi. "Maaf membangunkan Mas. Aku ingin kedapur."
"Kamu lapar? Ingin dibuatkan sesuatu?"
Ava menggeleng lemah. "Tiba-tiba aku ingin jus alpukat."
"Malam-malam begini?"
"Iya Mas. Aku juga lapar."
Rifandi tertawa kecil. Tanpa banyak bicara ia pun bangun dari tidurnya dan segera menuju keluar kamar. Ava pun ikut mengejar langkah suaminya
"Mas mau kemana?"
"Kedapur. Bikinin kamu jus dan makanan."
"Tapi Mas-"
"Sudah, tidak apa-apa. Istri aku yang cantik dan manis ini jangan sampai kelelahan ya."
Ava terdiam ketika tanpa diduga Rifandi menyentuh permukaan perutnya.
"Mas ngapain?"
"Feeling sih, kayaknya kamu lagi hamil?"
"Ha?"
"Sudah seminggu kamu mual-mual di pagi hari. Kata anak-anak mahasiswa koas di rumah sakit tadi sore, kamu sering pusing dan nggak bisa lama-lama di ajak konsultasi hasil ujian praktek mereka. Mereka juga mulai menebak-nebak kamu lagi hamil."
Ava terdiam lagi. Saat ini ia dan Rifandi sudah berada di dapur. Rifandi mulai sibuk membuatkan jus dan makanan untuknya. Ia menatap punggung lebar Rifandi yang begitu telaten mengerjakan semuanya.
Seketika hati Ava tersentuh. Ia memegang perutnya sendiri. Benarkan ia sedang hamil? Jika benar, maka tidak ada lagi rasa kebahagiaan yang tak ternilai didalam hidupnya.
Ava menatap tubuh tinggi dan tegap Rifandi dari belakang. Rifandi memang tampan. Seprofesi dengannya sebagai Dokter bedah dirumah sakit. Ia sendiri tidak mengerti yang dulunya selalu menyebut nama Franklin disetiap sujudnya selepas sholat kenapa malah Rifandi yang menjadi jodohnya?
Jodoh memang rahasia Allah. Sungguh Allah Maha Tahu tentang apapun yang terbaik untuknya meskipun diawal ia sempat merasa hatinya begitu berat menerima pria lain dalam hidupnya.
"Kak?"
Ava menoleh kearah Vita yang tiba-tiba datang menghampirinya.
"Vita belum tidur."
"Tadinya sih tidur. Tapi kebangun begitu pengen pipis."
Ava mengangguk. "Oh gitu. Kamu mau Jus?"
"Boleh deh." Vita tersenyum. "Oh iya Kak, tadi sore aku dapat email dari perusahaan."
"Perusahaan mana?"
"HM Corporation. Alhamdulillah aku di terima disana, Kak.
Haai Asalamualaikum, Alhamdullilah aku kembali update meskipun sedikit ngaret karena akhir-akhir ini aku sibuk banget.
Jadi gimana perasaan kalian setelah membaca chapter ini? Sudah mulai menduga-duga dan mulai menebak?
Kalau begitu makasih udh begitu. Tetap Author hargai kok.
Tetapi akan ada banyak bom meletus nanti seperti biasanya..
Wkwkw
Tetap stay di cerita ini agar semua terkaan kalian suatu saat insya Allah terjawab ya.
Makasih sudah sabar menunggu author
Sehat selalu buat kalian dan sekeluarga. Semoga kita sekeluarga terlindungi dari berbagai macam penyakit. Aamiin.
With Love
LiaRezaVahlefi