Hotel Astria, Pukul 05.00 pagi. Surakarta.
Deringan ponsel yang ada di meja samping tempat tidur membuat Franklin dengan terpaksa membuka kedua matanya. Sayup-sayup ia masih merasa mengantuk. Franklin mengusap salah satu matanya dan melirik ke arah ponselnya.
Nama Aldi terpampang dan Franklin mendengkus kesal karena merasa jam tidurnya terganggu.
"Asalamualaikum, Pak. Selamat Pagi."
"Wa'alaikumussalam. Pagi."
"Pak jangan lupa-"
"Kamu bisa memberitahu melalui pesan singkat daripada menghubungi saya kan?" potong Franklin cepat dengan nada suara tidak suka.
Seketika Aldi terdiam. Hening sesaat, dan Franklin tidak perduli dengan posisi Aldi yang saat ini merasa bersalah karena memang asistennya itu salah.
"Maafkan saya, Pak. Kalau begitu saya kirim informasinya melalui pesan w******p saja."
Franklin merasa kesal dan mengakhiri panggilan dengan sepihak tanpa ucapan apapun. Ia pun melempar sembarang ponselnya ke sisi ranjangnya dan kembali tertidur.
Deringan ponsel kembali berbunyi. Franklin mengabaikannya dan memilih berpindah posisi sambil memunggungi ponselnya. Tak hanya itu, getarannya saja begitu terasa di tempat tidur sampai akhirnya Franklin meraih ponselnya lagi.
"Bisa tidak jangan menggangguku walaupun hanya satu jam saja?!"
Hening, tidak ada suara apapun. Bahkan napas Franklin serasa memburu.
"Ma-Maafkan aku kalau begitu. Aku, em benar-benar tidak tahu. Asalamualaikum, Mas Franklin."
DEG!
Dengan cepat Franklin membuka kedua matanya. Ia menatap layar ponselnya dan melihat nama Ava disana. Franklin merubah posisi duduk di pinggiran ranjang dan menghubungi kembali, namun ia menghentikan niatnya. Sungguh ia begitu malu karena sudah berkata ketus tanpa melihat siapa si penelpon.
Franklin pun berdiri kemudian mengabaikan rasa sungkannya. Dalam hati ia bertanya-tanya mengapa seorang Ava menghubunginya dipagi hari?
Franklin segera menghubungi Ava kemudian dalam waktu beberapa detik saja panggilan itu tersambung.
"Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam. Iya Mas?"
"Em, Ava maafkan aku. Aku pikir kamu adalah asistenku."
"Tidak perlu meminta maaf Mas, aku ngerti kok."
"Ava?"
"Ya?"
"Kamu, marah sama aku?"
Dalam hati Franklin deg-degan. Jantungnya berdegup kencang. Telapak tangannya serasa dingin karena ini adalah pertama kalinya ia berbicara begitu detail dengan seorang Ava yang ia kagumi selama 3 tahun ini.
"Nggak. Aku nggak marah kok."
"Ava?
"Mas?"
Keduanya pun sama-sama terdiam. Franklin menyentuh leher belakangnya dengan salah tingkah.
Ia menatap cermin di kamar hotelnya dan ntah kenapa ia merasa wajahnya memerah malu.
"Mas mau bilang apa?"
"Em, kamu saja."
"Tidak. Mas saja."
Hening lagi. Franklin berjalan mondar mandir bagaikan setrika dengan perasaan yang grogi mengalahkan moment pertemuannya dengan investor terkaya beberapa hari yang lalu.
"Ava, kamu saja duluan."
"Tidak, Mas saja."
"Beneran aku yang duluan?"
"Iya Mas."
"Em, sebenarnya aku.."
"Ya?"
Franklin duduk di pinggiran ranjang. Ia memilih berbaring terlentang. Kemudian bangun lagi. Berjalan mondar-mandir mengabaikan rasa malunya.
"Sebenarnya aku selama ini.."
"Sebenarnya aku suka sama.."
"Suka apa Mas?"
"Suka.. em, aku suka sama-"
Seketika Franklin syok. Kedua matanya menatap jam di dinding hotel sambil menepuk jidatnya. Lagi-lagi ia terlambat sholat subuh. Franklin panik, ia tidak mungkin berkata pada Ava kalau pria setampan dirinya terlambat sholat subuh kan?
"Apakah semuanya baik-baik saja? Maksudnya tadi Mas suka apa?"
"Ava, maafkan aku. Aku harus tutup panggilan ini ya, ada hal penting. Asalamualaikum."
Klik. panggilan terputus begitu saja. Di sisi lain Ava hanya terdiam dan menatap ponselnya dengan berbagai macam pertanyaan dalam dirinya bertepatan saat seorang Dokter bedah plastik berusia 35 tahun bernama Dokter Rafandi datang memasuki ruangannya.
"Nanti malam jadi kan?"
Ava menatap Rafandi dan hanya mengangguk dengan perasaan tidak menentu.
Kabupaten Sukoharjo, pukul 10.00 pagi.
Setelah menempuh waktu kurang lebih selama 30 menit melalui Jalan Wonogiri, akhirnya Franklin tiba di lokasi Kabupaten Sukoharjo. Salah satu kabupaten yang berada 10 km bagian selatan kota Surakarta dan menjadi pusat pemerintahan.
Aldi membuka pintu mobil untuk Franklin dan pria tampan itu keluar dari mobilnya sambil melepas kacamata bingkai berwarna hitam yang tersemat di hidung mancungnya.
Hari ini Franklin berpenampilan lebih santai dengan memakai kemeja lengan panjang berwarna maroon yang digulung setengah hingga kesiku serta celana jeans hitam dipadukan dengan selop kulit berwarna hitam.
"Lokasinya tidak jauh dari sini setelah kita memarkirkan mobil kita disini, Pak."
"Apakah aman jika mobil kita terparkir disini?"
"Insya Allah aman, Pak."
Franklin hanya mengangguk dan mulai berjalan kaki diatas jalanan yang sedikit berbatu dan tidak rata. Suasana kota Sukoharjo sangat sejuk, nyaman, dan asri.
Franklin baru sadar, pantas saja setelah sempat mencari tahu melalui internet sewaktu di Jakarta, Sukoharjo memiliki julukan kota Makmur.
Beberapa warga berlalu lalang. Ada yang mengendarai motor, berjalan kaki, dan bersepeda. Franklin juga tidak menyangka bahwa beberapa diantaranya tersenyum ramah kepadanya.
Seorang wanita berjilbab terlihat jalan sendirian. Wanita itu terlihat terdiam menatap Franklin dari jarak kejauhan. Dalam hati ia tidak menyangka ada pria tampan berjalan kaki di wilayah tersebut.
Franklin tetap santai seperti biasanya meskipun ia sadar bahwa gadis yang baru saja melaluinya itu sempat menatapnya dari jarak kejauhan.
"Itu Pak tempatnya."
Franklin mengentikan langkahnya. Ia melihat sebuah rumah yang cukup luas dengan perkiraan ukuran 170 meter persegi. Seorang pria paruh baya pun datang menghampirinya dengan senyuman ramah.
"Asalamualaikum, Pak Franklin."
"Wa'alaikumussalam." Franklin pun langsung berjabat tangan dengan pria paruh baya tersebut yang diketahui bernama Pak Samsul.
Pak Samsul juga berjabat tangan dengan Aldi dan mempersilahkan Franklin dan Aldi memasuki rumah home industri olahan mie sayur.
"Jadi begini Pak, suasana home industri kami setiap harinya."
"Sejak kapan home industri ini di berjalan?" tanya Franklin sambil memperhatikan suasananya.
"Sejak tanggal 20 Januari 1990, Pak."
Franklin kembali memperhatikan lagi disekitarnya. Sebagai pengusaha sukses dan besar, ia harus detail dalam menilai suatu hal agar nantinya tidak terjadi kesalahan atau kerugian. Aldi terlihat berbincang-bincang dengan Pak Samuel.
Franklin menatap salah satu pekerja Pak Samsul yang begitu teliti dalam memilih sayur-sayuran sebagai bahan dasar membuat mie sayur. Diantaranya ada sayur bayam, wortel, kentang, ubi, dan sayur lainnya.
Tak hanya itu, kesibukan yang lain juga terlihat di beberapa pekerja lainnya seperti bagian pengolah adonan menggunakan mesin mixer, dan pencetak mie, hingga akhirnya ke bagian pengemasan.
Franklin memasukan salah satu tangannya kedalam saku celana jeansnya sambil menarik salah satu sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman puas. Pikirannya sebagai jiwa pemburu rupiah dalam dirinya pun meronta.
Kedai Kopi Van Java, Pukul 21.00 Malam.
"Franklin, temenin Aifa kesana ya. Disana banyak menjual karpet asli Turki Dey berbagai macam motif dan ukuran. Saat ini Franklin dan Aifa masih di negara Turki setelah Aifa berjalan-jalan dengan pria yang bernama Ray.
"Aku lelah, Kak."
"Ayolah Franklin, please."
"Mommy sudah punya untuk apa Kakak membelinya lagi?"
"Ini bukan buat Mommy, tapi buat aunty Luna."
"Aunty Luna?"
"Iya," dengan semangat Aifa menarik pergelangan tangan Franklin. "Gini ya dek, kalau mau menarik hati calon mertua, salah satunya membelikan sesuatu untuknya. Anggap saja oleh-oleh atau hadiah."
Franklin terdiam mengingat ucapan Aifa dua tahun yang lalu sebelum Kakaknya itu menikah. Apakah ucapan Aifa waktu itu salah satu cara untuk menarik perhatian orang tua Ava?
"Aldi?"
"Ya Pak?"
"Selain wisata, dimana tempat membeli oleh-oleh di daerah sini?"
Aldi baru saja duduk di hadapannya setelah asistennya itu tiba dari toilet. Saat ini keduanya hendak menikmati kopi di malam hari sebelum balik ke Jakarta besok siang. Salah satu tempat ngopi yang menjadi rekomendasi dari Aldi setelah pria itu mengunjunginya kemarin malam.
"Banyak Pak. Beberapa diantaranya ada Kampung Batik Kauman. Kata orang sih, kalau ke solo nggak beli batik rasanya kurang afdol."
"Selain itu?"
"Ada pasar Klewer, pasar di Klewer itu pasar yang menjual produk-produk tekstil. Terus ada Pasar Triwindu solo yang menjual barang-barang antik dan Ngarsopuro Night Market."
"Di Ngarsopuro ada apa?"
"Disana banyak menjual barang-barang murah berkualitas, terus ada kuliner makanan tradisional dan modern Pak. Tapi buka nya setiap hari Sabtu dan Minggu sih."
"Ah sayang sekali. Besok kita balik. Dan ini baru hari Senin." timpal Franklin lagi.
"Ya mau gimana lagi Pak."
"Franklin?"
Franklin dan Aldi menoleh kearah suara ketika seorang wanita memanggil namanya. Dia adalah Anita, teman semasa kuliah di Bandung."
"Anita?"
"Ya Allah, dari tadi aku mencoba menerka-nerka apakah kamu Franklin atau bukan, ternyata iya. Kamu apa kabar?"
Franklin pun segera berdiri dan hendak menyalami Anita, namun dengan sopannya Anita menangkupkan kedua tangannya didepan dadanya. Franklin hanya mengangguk dan tersenyum maklum.
"Alhamdulillah aku baik."
"Alhamdulillah deh, sudah lama banget tidak ketemu ya. Kamu masih di Jakarta?"
"Iya."
"Ke Solo ngapain?"
"Urusan pekerjaan."
"Oh begitu. Sebentar ya.." Anita pun memanggil salah satu pekerjanya. Dan Franklin tidak menyangka kalau pekerja Cafe itu adalah seorang wanita yang sempat ia lihat di daerah Sukoharjo tadi pagi.
"Misha, kemarilah." panggil Anita.
Misha Azizah yang sedang memegang nampan pun terdiam. Tatapannya sempat bertemu pandang dengan Franklin. Dengan anggukan dan langkah pelan, Misha pun mendekati Anita.
Sesampainya disana, Misha memeluk erat nampan yang ia pegang dan sedikit mengangkat kebagian hidungnya agar menutupi kedua pipinya yang bersemu merah melihat pria setampan Franklin.
"Franklin mau minum apa? Tenang saja, khusus malam ini kalian aku gratisin."
Franklin menggeleng. "Tidak. Jangan begitu, aku bisa membayarnya."
"Selow Franklin, anggap saja traktiran dariku. Alhamdulillah cafe ini milikku."
"Bunda!"
Semuanya pun menoleh kearah bocah perempuan kecil berusia 5 tahun. Anita tersenyum dan segera menggendong putrinya. Sedangkan Franklin terdiam. Ia tidak menyangka kalau teman semasa kuliahnya itu kini sudah berkeluarga.
Dalam hati ia merasa miris. Ya ampun, kenapa akhir-akhir ini ia sering bertemu dengan teman sekolah ataupun teman kuliah yang sudah berkeluarga semua?
"Positif thinking saja, mungkin orang tampan sepertiku di suruh cari uang dulu buat masa depan berumah tangga. Makanya jodoh belum datang." ucap Franklin dalam hati.
Tapi tidak dengan Misha Azizah yang sibuk mencatat pesanan Aldi dan sempat melirik lagi kearah Franklin yang sibuk berbicara dengan Anita.
"Masya Allah, tampan."
Kalau kalian punya temen atau keluarga macam Franklin yang selow gitu, cocoknya di apain?
Wkwkwkw
Makasih sudah baca. Sehat selalu buat kalian dan sekeluarga ya.
With Love
LiaRezaVahlefi
Instagram
lia_rezaa_vahlefii