Kedai Kopi Van Java, Pukul 11.00 siang. Surakarta.
Ketika membuka kedua matanya, hanya rasa pusing yang mendera di kepala Misha. Dengan perlahan Misha memposisikan diri untuk bangun dari tidurnya dan duduk.
Misha menatap sebuah selimut yang menutupi bagian perut hingga ke ujung kaki. Misha memegang kepalanya lagi dan kedua matanya menatap ponsel yang tergeletak diatas meja samping tempat tidurnya.
Misha segera meraih ponselnya dan mendapati 4 panggilan tak terjawab. Tanpa menunda waktu lagi, Misha berinisiatif menghubungi nomor tersebut.
"Halo Asalamualaikum?"
"Wa'alaikumussalam. Maaf aku baru menghubungimu, Tata."
Suara helaaan napas terdengar di seberang panggilan. Misha sadar sahabatnya itu pasti sedang kesal dengannya.
"Tadi aku telepon kamu. Yang nerima Mbak Anita. Kata Mbak Nita kamu pingsan."
"Iya, aku pingsan."
"Sekarang kondisi kamu gimana?"
"Alhamdulillah aku baik-baik saja Tata, aku cuma sedikit pusing."
"Terus kapan kamu libur bekerja?"
"Besok. Ada apa?"
"Ayo kita pergi ke psikiater dan memeriksakan kondisi kamu."
"Percayalah aku baik-baik saja. Lagian hari libur besok aku ingin menggunakannya dengan istirahat."
"Tapi Mi, please-"
"Aku sudah pernah melakukannya dan itu tidak berhasil."
"Ya karena nggak rutin kan?"
"Dan uangku juga nggak cukup Ta, kamu tahu sendiri kan biayanya nggak sedikit. Apalagi Kakakku nggak bisa di harapkan, dia-"
Misha tidak sanggup berbicara lagi. Yang ia lakukan hanya diam dan beristighfar berkali-kali tanpa bisa mencegah air mata yang mengalir di pipinya. Hidup sebagai anak yatim piatu dengan Kakak kandung laki-laki yang kerap mendzolimi perasaannya itu membuatnya sabar sejak dulu.
"Maafin aku, saat ini moodku sedang buruk." ucap Misha akhirnya.
"Aku nggak bermaksud menekan kamu Mi, sebagai sahabat aku cuma khawatir sama kondisi kamu, itu saja. Menurut aku, panik yang kamu alami itu sudah parah deh. Sekarang jujur sama aku, apakah kamu baru saja mengalami suatu hal atau melihat sesuatu yang membuatmu takut?"
Pintu terbuka pelan. Misha sadar kalau saat ini ia baru saja siuman dari pingsannya dan terbaring di kamar tamu lantai dua milik atasannya.
Anita menatap karyawan kedai kopinya dan bernapas lega ketika akhirnya Misha sudah siuman dari pingsannya selama kurang lebih 15 menit.
"Tata, nanti kita sambung lagi ya. Ada Mbak Anita masuk ke kamar."
"Yaudah. Jaga diri baik-baik ya, Mi. Jujur, aku khawatir banget sama kamu. Aku janji akan kesana bila waktunya sudah tiba."
"Oke. Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Misha mengakhiri panggilannya dengan sahabatnya bertepatan saat Anita menghampirinya.
"Bagaimana keadaanmu Misha?"
"Alhamdulillah saya baik-baik saja, Kak."
Anita bernapas lega. "Alhamdulillah deh. Tadi saya panik banget melihat kamu pingsan. Untungnya saja ada teman saya yang menolong kamu dan menggendong kamu naik ke lantai dua ke kamar ini."
"Teman Kakak?" Misha mengerutkan dahinya. "Siapa?"
"Ada, teman kuliah waktu di Bandung. Kebetulan dia tadi-" seketika Anita menghentikan ucapannya. "Ya Allah, bahkan kamu pun pingsan didepan dia Sha,"
Yang hanya bisa dilakukan Misha saat ini adalah mencengkram kuat selimut yang ia pegang. Tentu saja ia tahu tentang teman dari atasannya itu. Siapa lagi kalau bukan seorang Franklin Hamilton yang kabarnya akan mendirikan perusahaan produksi pangan di kota Solo ini?
Berita tersebut sudah beredar dimana-mana dan disosial media.
"Yaudah saya izinin kamu istirahat dulu ya, setelah Zuhur kamu boleh pulang."
Misha merasa tidak enak. "Tapi Kak, saya baik-baik saja."
Anita tersenyum sesaat lalu membalikkan badannya. "Setidaknya kamu harus pulihkan kondisi kamu dulu Sha. Jangan merasa sungkan, kita sudah seperti keluarga. Saya keluar dulu ya."
Anita pun melenggang pergi meskipun dalam hati ia bertanya-tanya mengapa hanya membahas tentang Franklin saja wajah Misha sudah bersemu merah?
Misha menatap kepergian Anita. Pintu kamar pun tertutup. Dengan perlahan ia memegang degup jantungnya yang berdebar kencang hanya karena memikirkan kalau Franklin sudah menolongnya.
Misha menundukkan wajahnya lagi. Hatinya terasa campur aduk tidak menentu antara memendam rasa suka dengan Franklin sejak lama dan rasa takut dengan apa yang ia sembunyikan selama ini pada pria itu.
Sesuatu yang ia takutkan dan itu menyangkut masa depannya.
Apartemen Solo Residen. Pukul 11.30 siang.
Franklin memasuki sebuah lift ketika ia baru saja tiba di Apartemen Solo Residen. Seperti biasa, ada Aldi yang setia mendampinginya dalam urusan pekerjaan.
"Saya sudah menghubungi Ibu Rayna Pak. Katanya beliau sudah berada di hotel dan lokasinya tidak jauh dari sini."
"Oke."
"Kalau Bapak tidak sibuk, katanya malam ini dia ingin ketemu Bapak."
"Baiklah. Atur jadwal habis Isya saja. Katakan padanya ketemuan di luar saja. Di kedai tempat kita minum kopi setengah jam yang lalu."
"Kedai kopi yang ada wanita pingsan tadi?"
"Iya."
"Saya penasaran kenapa wanita itu bisa pingsan ya, Pak? Apalagi teman Bapak tadi sampai panik banget."
"Itu urusan mereka. Bukan urusanku. Aku hanya sebatas menolong dengan rasa manusiawi."
"Tapi wanita yang pingsan tadi manis loh Pak."
"Terus urusannya denganku apa?"
"Tapi Pak-"
"Dia manis atau cantik, itu sudah takdirnya. Jadi tidak perlu di bahas."
Aldi terbungkam dengan ucapan Franklin yang singkat, padat dan jelas. Berusaha mencairkan suasana, Aldi teringat Rayna.
"Oh iya, nanti malam kenapa tidak mengundang Ibu Rayna ke apartemen Bapak saja?"
Ting! Pintu lift terbuka. Franklin segera keluar dengan langkah tegap sambil menarik kopernya.
"Aku tidak pernah mau menerima tamu seorang wanita yang bukan siapa-siapaku di wilayah pribadiku."
"Khusus wanita ya Pak?"
"Iya."
Aldi tidak banyak bertanya lagi ketika ia sudah tiba di depan pintu apartemen yang posisinya hanya bersebelahan dengan atasannya itu. Aldi menatap kesamping dan Franklin sudah memasuki pintu apartemennya sendiri tanpa banyak kata.
Aldi menghela napas. Ia sadar dan memaklumi bahwa Franklin adalah atasan yang terlalu simpel dari segala pemikiran dan ucapannya.
Sesampainya didalam ruangan, Franklin menatap seisi apartemennya yang baru saja ia tempati dan berada di lantai 10.
Sebuah apartemen baru dengan fasilitas mewah dan lengkap dengan luas bangunan kurang lebih sebesar 20m2 dan berlokasi strategis.
Apartemen yang Franklin beli senilai ratusan juta itu kini resmi menjadi miliknya. Franklin tak mempermasalahkan soal harga, yang terpenting baginya adalah kawasan tersebut terletak strategis di tengah kota dan jarak tempuh untuk ke perusahaannya yang baru, hanya membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit dengan kondisi yang lancar.
Ponsel Franklin berdering. Franklin menatap layarnya dan nama Frankie memanggilnya.
"Halo Asalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam. Frank, kamu sudah sampai ditujuan?"
"Alhamdulillah sudah."
"Alhamdulillah kalau begitu. Aku harap kamu baik-baik saja karena disini ada kabar buruk."
Franklin terdiam. Perasaannya tiba-tiba merasa was-was. "Apa yang terjadi?"
"Daddy sedang marah di ruang kerjanya. Daddy baru saja mengalami penipuan bisnis investasi."
"Berapa kerugian yang Daddy alami?"
"Rp.150.000.000,-"
Franklin memilih duduk di sofa apartemennya dan memijit pelipisnya karena syok mendengar kabar dari Daddynya.
"Daddy belum ada menghubungiku saat ini." ucap Franklin akhirnya. "Aku akan menghubunginya setelah jam makan siang."
"Baiklah. Mungkin Daddy tidak ingin mengganggu aktivitasmu. Aku tutup dulu panggilan ini."
"Oke,"
"Eh tunggu dulu Frank, tunggu!"
"Ada apa lagi?"
"Ada hal penting yang ingin aku tanyakan."
"Apa?"
"Kamu sudah move on kah sama Ava? Ecieee yang lagi patah hati."
Detik berikutnya Franklin memutuskan panggilannya secara sepihak dan melempar asal ponselnya ke arah sofa yang ada di sampingnya
Franklin tak habis pikir, kenapa ia bisa memiliki saudara kembar yang begitu menyebalkan?
Pria single seperti dirinya sangat sensitif bila di singgung soal jodoh dan patah hati.
Sempat mikir gak sebelumnya,
Kirain Frankie mau bahas soal urusan bisnis sebelum mengakhiri panggilan?
Eh nggak tahunya..
Makasih sudah baca.
Makasih sudah nunggu dengan sabar chpater ini kembali up ya.
Sehat selalu buat kalian.
With Love LiaRezaVahlefi