Chapter 17

1900 Words
Desa Grogol, kabupaten Sukoharjo. Pukul 18.00 sore. Misha baru saja selesai mengambil air wudhu ketika Adzan magrib baru saja selesai berkumandang. Misha menuju kamar dan segera melaksanakan sholat fardhu tiga rakaat. Pintu ruang tamu terbuka pelan. Misha menghentikan niatnya yang ingin membuka pintu kamarnya. Ia pun menoleh ke arah pintu dan berdirilah Hamdan disana. Kakak kandung Misha yang berusia 30 tahun. "Kamu ada uang nggak? Aku kalah main." Misha berusaha menahan sabar. Hamdan memang menyebalkan. Bukannya mengucap salam saat memasuki rumah, pria itu malah meminta uang. Misha menggeleng pelan. "Maaf Kak, aku nggak punya uang." Hamdan melangkahkan kedua kakinya mendekati adiknya dan berdiri di hadapannya kemudian bersedekap. "Kamu nggak usah bohong deh!" "Aku nggak bohong Kak." "Kapan kamu gajian?" Seketika Misha terdiam lagi. Sudah kesekian kalinya Kakaknya itu selalu meminta uang padanya untuk bermain judi dan membeli minuman keras. Tak hanya itu, bila terdesak, Hamdan bisa mengambil barang-barang berharga miliknya kemudian menjualnya begitu saja tanpa izin. "Mimi masih lama gajihannya." "Oke.." Hamdan tersenyum sinis. Tanpa diduga ia menyentuh pipi Misha hingga membuat Misha bergidik ketakutan. "Kamu tahu kan akibatnya kalau bohong?" ucap Hamdan pelan dan tajam. Misha mengangguk pelan. Tentu saja ia tahu karena sebelumnya Hamdan nekat mengambil uang gajinya secara diam-diam didalam dompetnya ketika ia tertidur. Hamdan menjauh dari Misha. Dengan cepat Misha menghadang jalan Hamdan. "Kak.." "Apa?" Misha memaksakan senyumnya.  "Kakak akan lebih tampan kalau sekarang pakai gamis dan peci untuk pergi ke mesjid sholat berjamaah. Adzan Maghrib sudah berkumandang. Allah memanggil kita untuk sholat." Hamdan tak menggubris Misha. Pria itu malah bersikap tak perduli lalu memasuki kamar pribadinya. Misha hanya bisa menatap kepergian Kakaknya dalam diam. Hatinya sesak dan sedih karena Kakak semata wayangnya itu sering lalai dalam perintah Allah dan berbuat maksiat. "Aku akan sabar menunggu Kakak. Aku yakin suatu saat Allah segera memberi Kakak hidayah." lirih Misha dengan perasaannya yang sesak. Hotel Astria, Pukul 20.00 Malam. Surakarta. Ray menatap kesamping ketika Rayna sibuk memoles bedak tipis di wajahnya. Saat ini, keduanya sudah berada di dalam mobil yang terparkir di bassement hotel Astria, tempat mereka menginap selama di Solo. "Dek.." panggil Ray pada Adiknya. "Hm?" "Ini cuma perbincangan yang nggak terlalu resmi banget kan?" "Iya, menangnya kenapa?" "Aku merasa kamu cantik banget malam ini." "Kan aku memang cantik? Kakak baru menyadarinya ya? Sejak kemarin kemana saja sih?" Ray tertawa geli. Ia pun segera menghidupkan mesin mobilnya dan mulai mengendarainya menuju keluar hotel. "Kakak jangan ketawa. Iya deh iya, yang sibuk sama Kak Aisyah dan Rifqi sampai-sampai nggak nyadar kan, kalau aku sebagai Adik Kakak itu selama ini cantik pakai banget." "Sekalipun ada Aisyah dan Rifqi, aku tidak akan pernah lupa kalau aku mempunyai adik kembar yang cantik." "Hahaha bagus deh kalau begitu. Oh iya, bagaimana kabar Kakak ipar dan keponakanku itu Kak?" "Alhamdulillah baik." "Alhamdulillah." Rayna tak banyak berbicara lagi. Ia sudah selesai memoles wajahnya menggunakan bedak dan merapikan sedikit dalaman hijabnya serta memastikan agar helaian rambutnya tidak terlihat. "Aku tanya seperti tadi karena aku merasa kamu begitu semangat bertemu dengan Franklin." ucap Ray akhirnya. "Hanya urusan bisnis dan pekerjaan, Kak. Wajar saja aku ingin berpenampilan rapi dan sebaik mungkin. Nggak mungkin kan ketemu sama Franklin pakai daster doang?" "Bukan karena tertarik sama dia?" Rayna segera menoleh kearah Kakaknya. Dilihatnya Ray hanya menghedikan bahu ketika saat ini mobil yang mereka kemudikan berhenti di persimpangan empat lampu merah. "Ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?" "Kakak curiga aku suka sama dia?" "Kalau iya kenapa?" Seketika Rayna tertawa. Tanpa diduga ia malah menojok pelan lengan berotot Kakaknya. "Jangan menduga-duga Kak. Nggak baik." "Apa salahnya? Lagian dia tampan dan baik. Kalian cocok. Itu saja." "Oke oke, aku sadar akan hal itu," Mobil kembali jalan ketika lampu persimpangan sudah berganti berwarna hijau. "Aku akui Franklin itu memang tampan, mapan, sukses dan cerdas. Tapi maaf, aku nggak tertarik sama dia." "Kenapa?" "Dia bukan tipeku. Itu saja." "Awas termakan omongan." "Loh, aku nggak bohong Kak. Lagian aku lebih tertarik dengan Syabil." Ray mengerutkan dahinya. Dengan cepat ia menoleh kearah Rayna. "Syabil? Bukannya dia teman Rayni? Rayna, please. Jangan sampai kamu bertengkar suatu saat dengan Rayni hanya karena masalah pria. Kalian bersaudara, oke?" Rayna merasa jengah. "Aduh Kak, jangan lebay. Mereka cuma teman. Apa salahnya? Aku cuma mau temenan doang sama Syabil. Ih, lagian sih yang mulai duluan, kan Kakak. Kalau nggak bahas Franklin, ogah banget ngomong masalah ginian. Apalagi sampai merembet ke Syabil." Dan Ray hanya menghela napasnya. Setidaknya ia tahu kalau ternyata Rayna tidak menyukai Franklin. Seperti yang di tanyakan Aifa beberapa hari yang lalu ketika Aifa itu menghubunginya tanpa diketahui siapapun. Kedai Kopi Van Java. Pukul 20.00 malam. Surakarta. Suasana kota Surakarta begitu ramai di malam hari dengan suasana kotanya yang sederhana. Mobil yang dikemudikan Aldi sudah memasuki parkiran kedai kopi Van Java. Aldi segera keluar dari mobilnya dan membukakan pintu untuk atasannya. Franklin keluar dengan penampilan yang rapi dan santai malam ini. Seperti biasa, wajahnya selalu tampan dengan rasa percaya dirinya sejak dulu. Franklin segera memasuki kedai kopi Van Java dan melihat Ray dan Rayna sudah menempati di meja nomor 5 dekat jendela Kedai kopi. Rayna melambaikan tangannya kearah Franklin. Kemudian Franklin pun segera menghampiri Rayna dan duduk di hadapan wanita cantik itu. Sementara Aldi duduk di hadapan Ray. Seorang wanita pelayan kedai kopi datang menghampiri mereka sambil membawa buku menu seperti biasanya. "Kita pesan dulu ya." ucap Rayna dengan senyuman tipisnya. Franklin mengangguk. "Oke, malam ini aku yang akan traktir kalian." "Eh nggak usah." sela Ray cepat. "Kami bisa membayarnya." "Tidak apa-apa. Anggap saja sebagai tanda terima kasihku sebagai tanda kerja samaku dengan Rayna." Ray tak banyak berkata-kata lagi. Ia hanya tersenyum tipis dengan perasaan tidak enak. Ray dan Rayna sibuk membuka buku menu dan menatap deretan berbagai macam jenis kopi. "Pak, saya persiapkan berkasnya sekarang ya." ucap Aldi. Aldi  sibuk mempersiapkan berkas penting untuk bahan pelengkap perbincangan kerja sama mereka malam ini. Tapi tidak dengan Franklin. Tanpa diduga pria itu mengerutkan dahinya melihat seorang wanita yang ia lihat pingsan tadi siang. Siapa lagi kalau bukan Misha. "Pak, ini berkas yang akan di tanda tangani Ibu Rayna malam ini." Franklin sibuk menatap Misha yang baru saja tiba dari parkiran motor dan memasuki kedai kopi tergopoh-gopoh dengan raut wajah panik. Wanita itu menuju kasir kemudian berbicara dengan temannya disana. "Oh iya Pak, ini-" Aldi terdiam sesaat, tak hanya itu. Sejak tadi ia merasa bahwa ucapannya tidak di tanggapi sama sekali oleh Franklin. Aldi menampilkan raut wajah smirknya. "Lagi panik saja wajahnya cantik, apalagi kalau lagi manja. Iya kan Pak?" goda Aldi sambil menatap Misha. Franklin segera menoleh kearah Aldi sambil menghendikkan bahunya. Franklin menatap Aldi dengan santai seperti biasanya. Sementara Ray dan Rayna terlihat masih berbincang dengan pelayanan kedai kopi sejak tadi. "Terus kenapa? Kamu suka sama dia?" Franklin tersenyum sinis penuh kemenangan. "Apartemen kita hanya sebelahan. Kapan pun aku bisa melaporkan hal ini dengan istrimu." Skakmat. Aldi meneguk ludahnya dengan gugup. Ia merasa jengah. "Gini-gini saya setia loh, Pak. Kok Bapak malah ngancam saya?" "Karena kamu memuji wanita lain." "Terus Bapak cemburu?" "Sejak kapan kamu kepo? Kamu tahu sendiri sejak dulu aku single fisabilillah. Jadi cemburu itu rasanya nggak mungkin." Aldi hendak menyela tapi siapa sangka dengan santainya Franklin menatap pelayanan kedai yang sedang melayani Ray dan Rayna kemudian memesan minumannya. Franklin telah mengabaikan Aldi yang sudah salah bermain-main dengan seorang Franklin Hamilton. "Mbak, saya pesan hot americano saja." Kedai kopi Van Java, 30 menit kemudian. Perbincangan mengenai urusan bisnis antara Franklin dan Rayna mengalir begitu saja dengan santai. Rayna sepakat bahwa produk parfum halal yang akan ia produksi nantinya akan di produksi sendiri kemudian distribusikan oleh perusahaan Franklin yang baru. Ponsel Ray berdering. Nama Aifa terpampang di layarnya. Dengan was-was Ray memperhatikan disekitarnya. Ia sudah bisa menebak kalau Aifa akan menanyakan soal kedekatan Franklin dan Rayna yang sudah jelas kalau Rayna itu tidak suka dengan Franklin. "Em, aku izin keluar kedai sebentar untuk menerima panggilan ini." ucap Ray pada semuanya kemudian berdiri meninggalkan tempat. Tak hanya itu, tiba-tiba Franklin juga ikut berdiri dari tempat duduknya. "Aku ingin ke toilet." "Ngapain Pak?" tanya Aldi. "Tidur." "Saya lihat wanita yang pingsan tadi siang juga ke toilet loh Pak. Ih, Bapak jangan aneh-aneh loh ya disana." goda Aldi dengan raut wajah jahil. Mendengar hal itu, Rayna malah tertawa. Franklin hanya menghedikan bahu tidak perduli dan memasukan salah satu tangannya kedalam saku celana jeans-nya "Wah, aku tidak menyangka kamu memperhatikan wanita itu sampai segitunya. Bahkan dia masuk toilet pun, kamu tahu." Aldi panik. "Ish, Pak. Bukan begitu, maksud saya-" "Kalau begitu siap-siap saja malam ini tidur diluar kalau istrimu tahu yang sebenarnya." Franklin memasukan salah satu tangannya kedalam saku jeansnya sambil membalikkan badannya. Dan Aldi pun menepuk jidatnya hingga membuat Rayna semakin tertawa. Misha sudah merasa lelah ketika uang yang ada di dompetnya tidak ketemu. Ia sudah mencarinya dirumah namun tidak ketemu. Misha yakin kalau uangnya itu pasti tercecer dan ia sedang berusaha mencarinya walaupun kemungkinan sangat nihil ditemukan. Tak hanya itu, saking niatnya berharap ketemu, ia pun rela balik ke kedai kopi setelah sholat isya selesai dirumah. Misha berjongkok untuk melihat kedalam bak sampah didekat wastafel toilet. Ia menghela napasnya. Uang sebesar Rp.100.000,- untuk orang penghemat seperti dirinya sangatlah banyak. Salah satu pintu kamar mandi yang ada dibelakang Misha terbuka. Misha sadar akan hal itu, tapi ia tidak perduli. Ia malah beralih memperhatikan disetiap sudut bawah wastafel kalau saja uangnya ketemu. Misha tetap dengan posisinya berjongkok sambil berpindah ke samping hingga tanpa diduga lengannya mengenai kaki seseorang. Misha mendongakkan wajahnya dan betapa terkejutnya ketika ia dan seseorang tersebut saling menatap satu sama lain. Misha segera berdiri dengan gugup. Ia mulai syok kalau seseorang itu adalah Franklin. "Ma.. maaf." Franklin tidak memperdulikan hal itu. Ia malah mencuci tangannya di westafel. Misha merasa detak jantung sangat cepat meningkatkan. Tubuhnya gemetar sekaligus bibirnya serasa mengering. Misha menundukkan langkahnya dengan tubuhnya yang mulai berkeringat secara berlebihan. Disaat yang sama, ia juga merasa takut ketahuan. Takut ketahuan karena suatu hal  sekaligus gugup karena suka. Tanpa banyak kata, Misha memilih pergi dari sana. "Tunggu." Misha menghentikan langkahnya. Suara pria itu terdengar hangat di pendengarannya. Dalam hati ia tersentuh. Hanya suara Franklin saja wajahnya sudah merona merah. Tapi efek yang terbesar saat ini adalah perutnya terasa mual bahkan ingin muntah akibat serangan paniknya. Misha tidak berani menoleh kebelakang ketika langkah Franklin terdengar mendekat meskipun masih berjarak. "Maaf, helai rambut kamu kelihatan di dahimu. Jangan sampai auratmu terlihat." DEG! Misha terdiam. Detik berikutnya dengan santai Franklin melalui dirinya tanpa berbicara lagi. Misha merasa deg-degan. Franklin sudah pergi. Dengan perlahan Misha memundurkan langkahnya dan menatap kearah cermin wastafel. Franklin benar, rambutnya terlihat. Dalam hati Misha bersyukur ada seseorang yang menegurnya meskipun pada akhirnya pria itu bukan siapa-siapanya. Disaat yang sama, air mata menetes di pipi Misha ketika ia membenarkan dalam hijabnya agar helaian rambutnya tidak terlihat. "Ya Allah, kenapa hamba di takdirkan bertemu dengan dia yang hamba sukai sekaligus hamba khawatirkan?" Semua sudah rapi. Tapi Misha masih saja menundukkan wajahnya. Air mata sudah menetes mengenai wastafel. "Hamba suka sama dia. Hamba mungkin.." Misha menghapus air matanya. "Hamba mungkin sudah mencintainya dalam doa selama ini. Tapi bagaimana bila aib dan semua kebenaran itu terungkap?" Ponsel Misha berdering. Buru-buru Misha menghapus lagi air mata di pipinya. Ia pun tersenyum tipis setelah melihat siapa yang menghubunginya. "Halo Asalamualaikum. Iya Nak?" "Wa'alaikumussalam. Bunda! Fiya kangen sama Bunda! Bunda besok jadikan, jalan-jalan sama Fiya?" Aku tahu kalian penasaran Masih part 17 loh ini, kalian kuat kan sama alurnya Makasih sudah baca dan sabar menunggu part ini update ya. Sehat selalu buat kalian dan sekeluarga. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD