"Hah! Berhasil!" Elise berseru senang setelah berhasil membawa Adrian keluar dari dalam klub.
Namun kebahagiaan itu hanya seketika setelah melihat beberapa orang pria yang bertubuh kekar sedang menapak ke arah mereka. Wajah yang terlihat sangar membuat Elise yakin sekali bahwa yang datang adalah musuh.
"Oh, sial! Apakah mereka semua musuhmu?" tanya Elise pada Adrian yang sedari tadi betah sekali mengunci bibirnya.
"Sepertinya ‘iya’," jawab Adrian.
"Gawat!" Elise lantas mengajak Adrian masuk ke dalam mobil tuanya.
"Apakah kamu yakin bisa mengemudi?" tanya Adrian dengan nada dan tatapan tidak yakin.
"Kau meremehkanku, Tuan Adrian!" Elise bergumam kesal, menyalakan mesin mobilnya, dan meluncur laju meninggalkan pekarangan klub malam yang sepertinya masih kacau, mungkin sebentar lagi akan ada campur tangan dari pihak kepolisian untuk mengamankan situasinya.
“Mereka mengikuti kita,” gumam Adrian.
Benar saja, saat Elise melihat spion tengah untuk mengamati kondisi di belakang, terlihat beberapa mobil mewah yang sedang mengikuti mereka.
“Ganti posisi, Elise. Biarkan aku yang mengemudikan mobil,” ucap Adrian dengan nada serius.
“Tapi, Tuan—”
“Elise, apakah kau mau orang-orang itu menangkap kita dan melakukan kekejaman pada dirimu karena sudah menolongku, hmm?” tanya Adrian penuh dengan nada yang mengintimidasi.
“Aku tentu aku tidak mau!” pekik Elise cemas.
“Jika begitu, maka biarkan aku yang mengemudi mobil,” titah Adrian tak terbantahkan.
Saat menemukan celah, tanpa banyak bicara, Elise memelankan laju mobilnya dan gantian posisi dengan Adrian. Meski sedikit khawatir dengan luka tembak pria itu, namun Elise tidak bisa berbuat banyak.
“Mereka sudah dibelakang saja!” pekik Elise saat melihat kebelakang.
Dor!!
Satu kali tembakan dilepaskan dari arah belakang, namun nyasar mengenai kaca samping tempat duduk Elise membuat wajah gadis itu seketika pucat pasi.
“s**t!” gumam Adrian dengan nada pelan.
Dengan kecepatan kilat, Ford Mustang itu kembali meluncur laju di atas jalan raya, melewati jalan-jalan berliku kota San Fransisco, menaklukkan tikungan-tikungan tajam dengan keahlian yang cukup memukau.
"Siapa dia sebenarnya? Kenapa begitu lihai sekali," cengang Elise dalam batinnya.
Adrian tersenyum puas setelah mobil para rivalnya kini jauh tertinggal di belakang. Ketika lampu lalu lintas berubah menjadi kuning, pria tampan nan jangkung itu menekan gas dengan mantap, mobilnya meluncur melewati persimpangan dengan sempurna sebelum berbelok tajam ke kanan. Meninggalkan suara deru mesin yang mendengung, dan meninggalkan para rivalnya yang masih terjebak dalam kemacetan.
“Tu-tuan Adrian! Tolong jangan sampai mobilku rusak parah." Elise baru bisa bersuara setelah sadar dari keterkejutannya.
“Sebutkan alamat rumahmu,” ujar Adrian, pilih abai dengan ucapan Elise sebentar tadi.
“Untuk apa? Kita harus ke rumah sakit sekarang karena lukamu itu butuh perawatan segera,” Elise melontarkan pertanyaan, kemudian memberikan perintah pada Adrian agar mengarahkan mobil menuju rumah sakit.
“Luka ini tidak seberapa, aku bisa merawat diriku sendiri.”
“Tapi, Tuan.”
“Sebutkan alamat rumahmu!” kali ini nada Adrian lebih tegas dan satu oktaf lebih tinggi membuat Elise tersentak kaget.
“Ke toko bunga saja,” cicit gadis itu kemudiannya.
Adrian tampak mengernyit. “Toko bunga?”
“Aku tidak punya rumah. Toko bunga itu adalah rumahku. Di dalam toko ada satu ruangan yang sudah direnovasi menjadi tempat tidur, makan, dan mandi,” jelas Elise panjang lebar, menundukkan wajahnya, guna menyembunyikan kesedihan.
‘Pantas saja dia selalu ada di toko. Ternyata toko itu juga tempat tinggalnya dia,’ batin Adrian dalam diam.
Pria itu mulai memperlambat laju mobil, merubah jalur menuju toko bunga yang berhadapan dengan bangunan Quantum.
“Kenapa kau membantuku, Nona Elise?” celetuk Adrian tiba-tiba memecahkan keheningan yang terjadi.
“Karena jika tuan mati, maka aku akan selamanya kehilangan bungaku,” jawaban terus terang Elise membuat Adrian mengangguk pelan.
“Apakah bunga itu terlalu penting buat dirimu?”
“Tentu saja,” jawab Elise cepat.
“Sepenting apa?” tanya Adrian lagi.
“Aku sanggup melakukan apa saja, asal aku bisa mendapatkan bunga itu kembali,” Elise merubah posisi duduknya menghadap pada Adrian yang sedang mengemudi. “Bagaimana jika aku membayarmu separuh dan sisanya aku nyicil?” tawar Elise yang mulai melakukan negosiasi dengan Adrian.
“Nyicil dengan cara kamu bekerja di night club, huh?”
“Selama aku bisa mendapatkan uang, kenapa tidak,” tegas jawaban Elise.
“Bagaimana kalau kau bekerja denganku saja? Aku akan menyerahkan bunga itu padamu asal kau mau menerima tawaranku. Bagaimana?” tanya Adrian dengan senyuman misterius.
“Bekerja denganmu?”
“Jadilah pelayanku.”
“Pelayan? Mengurus dirimu dan-”
“Semuanya, Elise!” Adrian memotong cepat kalimat gadis itu, dengan ungkapan yang ambigu.
Namun demi bunga peninggalan sang mama, tanpa berpikir panjang lagi, Elise mengangguk setuju. “Baiklah! Aku mau menjadi pelayanmu, Tuan Adrian,” jawabnya mantap.
“Sekali kamu bersetuju, maka sudah tidak ada jalan untukmu patah balik lagi, Elise,” peringatan keras dari Adrian itu langsung saja mendapatkan persetujuan dari Elise.
Adrian, seorang pria tampan yang merupakan CEO dari perusahaan Quantum Dynamic, sebatas itu saja yang Elise tau tentangnya. Namun dibalik topeng CEO nya itu, ada dunia gelap yang sedang digelutinya, dimana dia cukup dikenal dengan panggilan Tuan Frost atau Don Salvatore, pendiri Salvatore Clan yang benar-benar kejam dan berdarah dingin.
…
“Simon! Di mana Don Salvatore?” tanya Angelo pada asisten pribadinya Adrian itu.
“Sepertinya seseorang sudah membawa Don Salvatore keluar dan menyelamatkannya,” jawab Simon sambil memperban luka bekas tembakan di lengannya dengan cekatan.
“Aku melihat sendiri, pelayan tadi yang membawa Don Salvatore keluar dari klub,” kali ini Teresa yang menginterupsi pembicaraan Simon dan Angelo.
Kring!!!!
Ponsel Simon berdering nyaring membuat kaget ketiga orang itu yang sedang sibuk merawat luka mereka masing-masing. Dengan cekatan, Simon merogoh saku celananya dan melihat nomor asing yang sedang tampil pada layar yang menyala.
“Siapakah yang menelpon?” tanya Angelo, salah seorang petinggi clan Salvatore yang menguasai wilayah selatan.
“Nomor asing,” jawab Simon cepat.
“Jawab saja, aktifkan mode pembesar suara,” titah Angelo dan lantas dikerjakan oleh Simon.
“Hello Simon, bagaimana rasanya menjadi kacung Adrian, hmm? Apakah menyenangkan?” ucap satu suara pria dari ujung sana dengan nada sinis.
“Katakan siapa dirimu,” pinta Simon cepat. Sementara Angelo dan Teresa hanya diam nyimak disamping.
“Dominic Barzini!”
“Wow! Aku merasa tersanjung sekali, karena bukan sembarangan orang yang menelponku saat ini. Ternyata ketua Fontana Alliance. Ada apa tuan menelpon saya?” tanya Simon juga dengan nada sinis.
“Sampaikan pesanku pada Adrian, jangan mengganggu calon istriku jika dia tidak mau aku merampas satu lagi wilayahnya kekuasaannya.”
Klik!
Belum sempat Simon membalas ucapan Dominic barusan, pria arogan itu sudah mematikan sambungan teleponnya.
“Tidak diragukan lagi, tewasnya Vincenzo ada hubungan dengan clan Fontana,” gumam Simon dengan rahang yang mengeras sempurna.
“Kita harus lapor pada Don Salvatore,” desis Angelo dengan kilat amarah yang jelas terpampang pada wajahnya.
…
“Hey, baby. Kenapa wajahmu ditekuk begitu, hmm?”
“Aku benci mendengarnya. Saat kau mengatakan Elise adalah calon istrimu, apakah kau hanya menganggap aku sekedar pelayan untuk menghangatkan ranjangmu, Dom?”