Sepertinya tidak ada hal yang lebih buruk dibanding ditinggalkan seseorang yang begitu kamu andalkan. Duniamu terasa hancur, tak berguna dan ingin berhenti saja. Sayangnya waktu akan terus berputar, sampai kamu sadar seseorang itu memang tak akan pernah kembali.
***
Mimpi buruk itu datang lagi. Galen terbangun dengan peluh di keningnya serta deru nafasnya yang memburu. Pria itu memegangi dadanya, rasa sakit itu masih saja ia rasakan meski luka itu telah terjadi belasan tahun yang lalu. Rasa sakitnya masih sama, rasa sepinya masih sama. Rasa sepi ketika sang ayah memilih untuk pergi meninggalkan keluarganya.
Galen melirik ke nakas di samping ranjangnya, melihat foto wisudanya yang hanya ditemani oleh sang ibu. Tak ada sosok ayahnya saat itu meskipun ia tahu pria itu masih menghirup udara yang sama sepertinya. Hari penting baginya jelas sudah tak penting lagi bagi ayahnya, karena pria itu telah memiliki keluarga cemara yang baru.
Lalu wajah seorang anak perempuan itu kembali terekam jelas di kepala Galen. Pertama kali melihat anak perempuan itu juga senyum hangat ayahnya, membuat Galen iri. Harusnya senyum hangat itu hanya untuknya, hanya untuk anak kandungnya. Tapi pria itu lebih memilih memberikannya pada anak tirinya, lalu mengabaikan anak kandungnya sendiri.
Wajah anak perempuan yang begitu jelas Galen ingat hingga saat ini, serta pertumbuhan anak perempuan itu yang sangat ia ketahui. Karena memang Galen sengaja mencari tahunya. Sampai akhirnya takdir mendukungnya, mempertemukan anak perempuan yang telah tumbuh menjadi seorang gadis... yang sangat ia kenali.
“ Kasihan sekali, karena sepertinya kamu harus menerima karma dari kelakuan ayah tiri yang selalu kamu banggakan itu.”
Di tempat lain...
Jean memegang bucket bunga matahari yang dibawanya, langkah kakinya membawa gadis itu menyusuri area pemakaman yang tampak rapih dan sunyi. Ia berhenti di salah satu makam dengan nama Irwan Aryansyah. Gadis itu kemudian bersimpuh di sana, meletakkan bucket bunga di nisan milik ayah tirinya itu. Seorang pria yang pernah begitu mencintainya seperti anak kandungnya sendiri, bisa dibilang Jean telat merasakan kasih sayang seorang ayah. Namun kehadiran Irwan saat usianya masih enam tahun membuatnya tetap bersyukur. Sayangnya semua kebahagiaannya berlangsung sebentar. Empat tahun yang lalu, saat dirinya baru lulus SMA, Irwan akhirnya menghembuskan nafas terakhir setelah berjuang dengan penyakit jantungnya. Salah satu luka terbesar yang ia rasakan saat ini.
“ Pah. Dunia ini ternyata nggak seindah yang sering papah bacakan dongengnya. Kalaupun memang iya, apakah kelak hidupku akan berakhir bahagia?”
***
Dalam perjalanan menuju kampus, tak sengaja Galen melihat salah satu mahasiswanya-- Jean sedang berjalan di trotoar. Namun matanya teralih pada pria yang sepertinya mengikuti gadis itu menggunakan motor. Merasa mengenali wajah pria itu, Galen sengaja mencari jalan untuk berputar balik. Mengingat wajah pria yang sempat ia temui empat tahun yang lalu itu, rasanya bukan hal baik jika dia memang sengaja mengikuti Jean.
Merasa seperti diikuti, Jean mempercepat langkahnya tapi kemudian sebuah motor tiba-tiba berhenti tepat di depannya. Si pria pengendara motor itu melepaskan helmnya, memperlihatkan wajah yang sangat tidak ingin Jean lihat lagi. Bahkan seumur hidupnya.
“ Tama.” Jean menggumam.
“ Masih ingat sama aku ternyata,” balas Tama yang ternyata mendengar gumaman Jean. “ Ya memang sih. Aku nggak semudah itu dilupakan.”
Jean memutar bola matanya dengan malas. “ Siapapun nggak akan mudah melupakan cowok b******k kayak kamu.”
“ Oh ya? Kamu merasa aku b******k karena aku membuat kamu sakit hati, kan? Tapi...” Tama menatap Jean dari atas ke bawah dengan begitu intens. “ Kamu cantik banget sekarang. Jauh lebih cantik dari Tania.”
Tania—gadis yang akhirnya Tama pilih di acara prom sekolah mereka. Yang membuat Tama akhirnya mencampakkan Jean begitu saja.
“ Tania cantiknya ngebosenin. Kalau kamu enggak, apalagi apple cheeks kamu ini.” Tama berusaha menyentuh wajah Jean tapi gadis itu dengan sigap memundurkan langkahnya. “ Loh, kenapa?”
“ Aku harus pergi, lagipula aku nggak ada waktu untuk meladeni kamu.” Jean mengambil langkah untuk meninggalkan Tama tapi pria itu mencengkeram lengannya. “ Lepas!”
“ Nggak. Setelah bertemu hari ini, sepertinya takdir memang berpihak pada kita, Je. Kamu nggak menyadarinya ya?”
Jean berdecih. “ Sepertinya takdirku buruk banget sampai harus berurusan denganmu lagi.”
“ Tidak terlalu buruk kok asal kamu mau menemaniku di apartemen hari ini. Kamu terlalu cantik untuk dilewatkan,” goda Tama yang semakin membuat Jean muak.
“ Kamu jauh lebih b******k, Tam!” Jean berusaha melepaskan tangan Tama darinya. Tapi sulit sekali karena tenaga Tama sangat besar.
“ Jangan munafik, Je. Bahkan jika acara prom kita berjalan lancar, kita pasti sudah tinggal bersama.”
“ Jangan mimpi!”
Tiba-tiba saja sebuah mobil menabrak motor Tama hingga pria itu yang memang masih duduk di motornya tersungkur ke trotoar. Tama merintih kesakitan karena tubuhnya berhasil menubruk jalan trotoar yang keras. “ Sialan.”
Jean terkejut melihat kejadian yang sangat tiba-tiba itu. Sampai ia melihat pak Galen keluar dari mobilnya dan menghampiri Tama. Pria itu mengulurkan tangannya tapi Tama menepisnya dengan keras.
“ Kamu... “ Tama mengingat jelas wajah Galen—pria yang baru saja membuatnya jatuh dengan memalukan seperti saat ini. Ia kemudian menatap Jean lagi. “ Jadi kalian... “
Jean membulatkan matanya saat mengetahui apa yang akan Tama katakan.
“ Sepertinya kamu belum kapok juga,” ucap Galen yang menarik tangannya kembali.
“ Ini tidak ada urusannya denganmu! Awas saja! Aku akan melaporkan kejadian hari ini ke polisi!”
Galen mengusap kepalanya, menatap Tama dengan tajam. “ Sepertinya laporan yang kamu buat hanya akan merugikan kamu. Apalagi kamera dashboard mobil saya merekam bagaimana kamu mengikuti gadis ini dan memaksanya. Juga kamu tidak pakai helm dan sengaja berhenti di tempat yang tidak seharusnya. Jadi menurutmu, siapa yang akan dirugikan?”
Rahang Tama mengeras. Kesal dengan kedatangan pria yang pernah menolong Jean dulu ini. Dan sekarang pria itu malah datang lagi. Kenapa waktunya begitu tidak tepat?
Tama segera menuju motornya kembali, menatap Jean sejenak sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka berdua.
Jean menghela nafas lega, karena Tama telah pergi.
“ Kamu tidak apa-apa?” tanya Galen.
Jean hanya menatap wajah dosennya itu. Ia tampak bingung. Dengan semua percakapan Galen dan Tama tadi, mungkinkah...
“ Kamu mau kemana? Biar saya antar.”
Jean terhenyak. Ia menggelengkan kepalanya. “ Tidak usah, Pak. Saya juga mau pergi sekarang.”
Galen mengerutkan keningnya. “ Kalau dia masih mengikutimu bagaimana? Saya nggak bisa menolong lagi loh.”
Tidak dipungkiri, Jean memang mengkhawatirkan hal itu. Bodoh sekali ia dulu pernah berurusan dengan pria b******k seperti Tama. “ Itu, tapi... “
“ Kamu nggak nyaman pergi sama saya? Karena saya dosen kamu atau karena kamu nggak menyangka saya masih mengingat kamu dan cowok tadi?”
Jean jelas terkejut. “ Ah, itu... “
Galen menaikkan sebelah alisnya. “ Jadi?”
Tak mau disangka sebagai mahasiswa yang tidak tahu terima kasih, akhirnya Jean pun mengiyakan tawaran dari dosennya. “ Baiklah, Pak.”
“ Ayo.” Galen pun membukakan pintu mobilnya dan membiarkan Jean masuk. Baru setelah itu ia masuk juga ke dalam mobilnya. Tak lama kemudian mereka sudah melaju menuju tujuan Jean. “ Kamu mau ke tempat kerja kan?”
Entah sudah terkejut berapa kali hari ini dan sepertinya belum akan berakhir.
“ Saya tahu karena kamu akan menjadi mahasiswa bimbingan saya. Jelas semua data kamu, saya ketahui. Jadi nggak usah heran.”
“ Oh. Iya, Pak. Saya kerja di daerah Senayan. Jauh banget dari sini, jadi bapak bisa turunin saya di halte busway saja,” ucap Jean yang merasa tidak enak.
“ Nggak masalah. Kebetulan saya ada urusan di daerah Permata Hijau. Jadi sekalian saja.”
“ Oh.” Jean tidak tahu harus membicarakan apa lagi. Mereka berdua lebih banyak diam. Ia terus memikirkan tentang pak Galen yang ternyata masih mengingatnya, padahal ia selama ini begitu ketakutan akan hal itu. Semua ketakutannya pun menjadi kenyataan. Tapi kenapa pak Galen bersikap biasa saja? Ya, mungkin memang karena tak ada yang spesial di antara mereka. Sekilas Jean melirik pria di sampingnya dan entah kenapa langsung tertuju pada bibir pria itu yang kemerahan alami. Sial! Ini semua karena pria ini telah merebut ciuman pertamanya di malam prom itu.
“ Lagipula bantuan saya nggak cuma-cuma loh,” ucap Galen yang membuat Jean menoleh padanya. “ Total dengan bantuan saat malam prom itu, saya sudah membantu kamu sebanyak dua kali.”
“ Lalu?”
“ Lain kali saya pasti butuh bantuan kamu juga, biar kita impas.”
“ Oh, soal itu... “
Galen melihat pesan masuk di ponselnya, pria itu tersenyum tipis tanpa membalas pesan itu. “ Sepertinya dalam waktu dekat kamu akan membantu saya.”
“ Hah?”
Masih dengan pikirannya soal bantuan yang akan Galen minta, tanpa sadar akhirnya Jean dan Galen sampai di tempat tujuan. Jean turun di salah satu lobby mall elit di kawasan itu.
“ Makasih ya, Pak. Maaf merepotkan.” Jean segera turun dari mobil dosennya itu. Ia menepuk-nepuk keningnya yang telah dengan kurang ajarnya mengingat hal-hal tak senonoh.
Dalam mobilnya, Galen tersenyum sinis, mengetahui apa yang mungkin sedang Jean pikirkan. Pasti soal first kiss mereka. Ia memang sengaja meninggalkan kesan dalam pertemuan pertama mereka saat itu, tujuannya jelas... agar Jean tak bisa melupakannya. Sepertinya memang berhasil, kan?
***
Brak!
Melisa setengah membanting nampan berisi makanan yang dibawanya. Untung saja soto mie kesukaan Jean masih aman terkendali meskipun sedikit kuah yang tumpah akibat kecerobohan sahabatnya itu. “ Kamu tahu nggak?”
“ Ya nggak tahu, aku tahunya kamu hampir saja menumpahkan satu mangkuk soto kesayangan aku itu.” Ia segera mengambil semangkuk soto miliknya dan satu gelas jus sirsak favoritnya sebelum sahabatnya ini benar-benar mengacaukan semuanya.
Melisa berdecak sebal dan duduk di depan Jean. “ Masa ada gosip terpanas di kampus kita soal pak Galen.”
Mendengar nama Galen disebut, mau tak mau perhatian Jean teralih dari soto kesayangannya. “ Kenapa memangnya?”
“ Katanya pak Galen lagi dijodohin sama apoteker lulusan kampus kita, sepupunya bu Naura.” Melisa menjelaskan, tangannya mengambil satu sendok sambal dan menuangnya ke mangkuk miliknya, tak lupa perasan jeruk nipis sebagai pelengkap. “ Hari ini saja pak Galen keliatan lebih cakep dari biasanya. Padahal dia sudah ganteng ya, tapi jadi tambah ganteng. Katanya sih hari ini cewek itu mau ke kampus kita.”
“ Baguslah. Lagian pak Galen usianya sudah pas untuk menikah,” ucap Jean yang tak mau ambil pusing walaupun sebenarnya hatinya jadi gusar.
“ Astaga! Jangan dong! Nanti dosen ganteng nan jomblo di kampus kita berkurang!” Melisa seakan tak terima. “ Tapi aku penasaran sama cewek yang dijodohin sama pak Galen. Nggak mungkin B saja kan?”
Jean mengedikkan bahunya. Entah kenapa memikirkan Galen yang akan dijodohkan itu malah membuatnya tak nafsu makan. Aneh sekali perasaannya ini, yang ternyata cukup tidak tahu diri. Bisa-bisanya jatuh cinta pada pria sesempurna Galen yang telah membantunya sebanyak dua kali.
“ Itu sih cantik banget!” pekik Melisa yang membuat Jean terkejut. “ Itu pak Galen sama ceweknya, kan?”
Mata Jean tertuju pada Galen dan seorang wanita yang sedang berjalan menuju kantin kampus. Wanita di samping Galen terlihat begitu sempurna dengan tubuh tinggi semampai dan rambut bergelombang yang indah. Tak lupa kulitnya putih mulus dengan wajah bak dewi Yunani.
“ Jangan-jangan mereka memang sudah jadian?” Melisa menoleh pada Jean.
Jean berusaha biasa saja, menyuap kembali makanannya yang rasanya tak ingin tertelan itu.
“ Menurut kamu bagaimana, Je? Mereka cocok ya?”
“ Mungkin.”
Diam-diam Galen menatap ke tempat Jean yang sedang makan bersama temannya itu. Pria itu mengulum senyum menyadari gadis itu yang memang memperhatikannya.
Permainan akan segera dimulai, Je.