Pria itu terkapar di aspal yang dingin, tak seorang pun yang melihatnya karena malam sudah larut. Hanya satu pasang mata yang tengah memperhatikannya, dengan senyum miring penuh kepuasan.
" Hanya aku yang boleh mengganggunya." Pria itu kemudian menginjak pedal gasnya dan pergi dari sana.
***
" Je!" Melisa tergopoh-gopoh dan nyaris jatuh saat mengejar Jean dengan sepatu hak setinggi lima senti yang digunakannya. Beruntung ia tak benar-benar jatuh, bukan hanya sakit fisik yang akan ia rasakan, tapi juga rasa malu yang luar biasa. " Pantes nggak nengok!" Ia memutar bola matanya saat berhasil berjalan bersisian dengan Jean yang sedang menggunakan earphone.
" Kenapa sih?" Jean melepas earphonenya dan memasukkannya ke dalam tas.
" Aku semalem ketemu Tama," bisik Melisa yang langsung membuat langkah Jean terhenti.
" Terus?" Jean mengerutkan keningnya.
" Katanya dia ketemu kamu, terus katanya kamu sama cowok yang sama pas malam prom itu. Pak Galen maksudnya, kan?" Melisa memperhatikan sekitarnya, takut ada yang mendengar pembicaraan mereka. Bagaimanapun juga skandal mahasiswa dan dosen masih sangat tabu di sini.
Jean terdiam sejenak, menatap Melisa yang masih menunggu jawaban darinya. Ia pun mengangguk.
Melisa tanpa sadar menggenggam lengan Jean, menahan untuk tidak berteriak histeris. " Kok bisa? Kamu serius?"
" Pak Galen cuma bantuin aku kok. Tama itu gila kurasa," ucap Jean seraya melangkahkan kakinya kembali.
" Dia kelihatan seneng ketemu kamu loh, terus kayak marah gitu soal pak Galen. Kalian.... "
" Berhenti mikir aneh-aneh deh. Tama tuh b******k. Dia maksa aku dan kebetulan pak Galen lewat, jadi dia bantuin aku."
Melisa mengangguk-angguk mengerti. " Kebetulan banget ya, terus gimana?"
" Ya nggak gimana-gimana."
Melisa berdecak. " Eh, Pak Galen tuh." Ia mengedikkan dagunya, tepat di depan mereka berdua Galen sedang berjalan berlawana arah dengan mereka. Itu berarti Galen akan melewati mereka.
Seketika langkah Jean terasa berat. Teringat akan kebersamaan Galen dan wanita cantik yang kemarin, juga ingatan saat Galen mengantarnya tempo hari. Kedua ingatan itu cukup membuatnya sakit kepala.
Galen melewati Melisa dan Jean tanpa melirik sedikitpun, seolah mereka berdua tak terlihat.
Jean menghela nafas lega. " Nyawaku kayak di ujung deh."
" Jangan mati dulu, Je. Kita aja belum mulai proposal." Melisa menepuk bahu Jean kemudian berjalan lebih dulu.
" Sialan."
Melisa sibuk dengan ponselnya ketika sudah memasuki kelas. Dosen pun belum masuk jadi beberapa mahasiswa lain memiliki kesibukan masing-masing, termasuk Jean yang asik scroll i********: miliknya. " What?!" jeritanya berhasil membuat mahasiswa lain terfokus padanya.
" Kenapa sih?" Jean merasa tidak enak jadi pusat perhatian.
Dengan tangan sedikit bergetar, Melisa memperlihatkan layar ponselnya ke Jean. Di sana ada foto Tama yang terbaring di ruang ICU dengan beberapa luka lebam di tubuhnya. Tampaknya pria itu tak sadarkan diri.
" Ini serius?" Jean nyaris tak percaya.
" Padahal baru semalam aku ketemu dia loh. Tiba-tiba banget." Melisa agak shock. Bagaimanapun juga semua ini benar-benar mendadak. Padahal semalam Tama pulang masih dalam keadaan baik-baik saja setelah tak sengaja bertemu dengannya di sebuah kafe.
Jean terdiam, masih tak menyangka dengan keadaan Tama saat ini.
" Katanya dia ditemuin di jalan, kayak habis digebukin orang gitu. Ya emang sih dia b******k, tapi kasihan juga lihat anak orang bonyok gini. Iya kan, Je?" Melisa menatap Jean yang masih saja terdiam.
Jean menatap ke luar jendela, ketika Galen melewati kelasnya dan pria itu sempat meliriknya sekilas. Entah kenapa, tatapan itu seolah memiliki banyak arti. Entah salah penglihatan atau tidak tapi Jean melihat Galen menaikkan sebelah alisnya saat menatapnya. Hanya sepersekian detik sampai Jean tak tahu itu nyata atau khayalannya saja.
Mungkinkah semua ini dia yang melakukannya? Tapi untuk apa? Jean membatin.
Ketika jam makan siang, Jean dan teman-teman satu tim skripsinya makan di kantin sembari membicarakan proposal yang tengah mereka susun.
" Oh iya ada yang mau aku omongin soal dosen pembimbing kita," ucap Mario membuka pembicaraan.
" Kenapa? Jangan bilang pak Galen diganti?" tanya Melisa dengan cepat, takut menerima berita buruk yang kedua kalinya hari ini.
" Bukan. Kita ada tambahan dosen pembimbing baru khusus uji aktifitas," jawab Mario langsung sebelum ada dugaan-dugaan aneh lain.
" Siapa? Bukannya pak Galen aja?"
" Pak Galen cuma mau ngurus uji toksisitas. Jadi untuk uji aktifitasnya kita sama pak Kevin."
" Hah? Kok gitu sih?" Melisa tampak tak terima. " Ya, pak Kevin ganteng juga sih tapi suami orang."
" Kamu lagi nyari dosen pembimbing apa calon suami sih, Mel?" Damar jadi gregetan sendiri dengan temannya itu.
Melisa malah tertawa.
" Jadi aku doang yang pembimbingnya pak Galen?" Jean menunjuk dirinya sendiri, berharap pernyataannya ini tidaklah benar.
Sayangnya Mario malah mengangguk. " Cuma kamu yang kita percaya bisa dapat nilai bagus sama pak Galen yang perfeksionis itu."
Damar mengangguk setuju.
" Kok aku merasa ditumbalkan ya?" Jean mengerutkan keningnya.
" Bukan gitu." Mario merangkul Jean. " Tapi masa kamu tega kalau pak Galen jadi dosen pembimbing aku ataupun Damar yang udah tahun ke lima di sini. Bisa-bisa kami nggak lulus. Kalau kamu, kami percaya deh pasti bakal lulus. Atau Melisa mau?" Ia langsung menatap Melisa yang terlihat ingin sekali dibimbing oleh dosen tampan nan belum ada yang memiliki itu.
Melisa langsung menggeleng cepat. " Nggak deh. Aku ikhlas pak Galen buat Jean aja." Ia mengangguk-angguk pasrah.
Jean berdecak.
" Kamu pasti bisa, Je. Otak kamu kan encer," ucap Damar menyemangati.
Jean tampak pasrah memikirkan hanya dirinya yang akan bimbingan dengan Galen. Entah kenapa ia merasa bimbingan nanti tak akan seperti bimbingan normal mahasiswa lain, di tengah masa lalu aneh di antara ia dan Galen.
Seharian Jean jadi tidak fokus bekerja karena kepikiran soal Galen maupun Tama yang tiba-tiba babak belur dihajar orang sampai masuk ICU. Mungkinkah itu perbuatan Galen? Tapi kenapa? Apa tujuan Galen jika memang dia membantunya membalas perbuatan Tama? Namun Jean tak bisa langsung menduga Galenlah pelakunya apalagi pria itu sudah menolongnya dari kelakuan b******k Tama.
" Je. Kamu dipanggil Bu Siska," ucap Vini yang baru saja kembali dari jam istirahatnya.
" Oh iya." Jean langsung beranjak. " Ini semua udah disiapin ya tinggal etiketnya aja," ucapnya pada Vini karena sekarang jam istirahatnya. Ia pun menemui Bu Siska yang adalah SPV di klinik ini. Wanita yang berusia tiga puluh tahunan itu biasanya hanya datang tiga kali dalam satu minggu.
Siska adalah wanita yang ramah dan dikenal sebagai atasan yang netral, tak pernah berpihak pada siapapun agar pekerjaan tetap berjalan secara profesional. Hal itu yang membuat Jean bersyukur memiliki atasan seperti Siska.
" Duduk sini, Je," ucap Siska yang saat itu tengah sibuk dengan laptopnya.
" Iya, bu." Jean menurut saja. " Ada apa ya, Bu?"
Siska pun menutup laptopnya dan menatap Jean. " Ini soal permintaan kamu untuk pindah cabang."
" Oh iya." Jean jadi sedikit gugup. Sebenarnya ia tidak enak saat meminta pindah cabang tapi karena agak tidak nyaman di sini dan juga sangat jauh dari lokasi kampusnya, ia memantapkan diri untuk mengatakannya pada Siska dua bulan lalu. " Kalau memang tidak bisa, nggak apa-apa kok, bu."
" Bisa kok. Pengajuannya sudah disetujui oleh bu Elle."
" Oh ya?" Jean terlihat begitu senang. Setelah beberapa waktu menunggu, akhirnya diACC juga.
Siska mengangguk. " Berat sebenarnya saya kirim kamu ke Kelapa Gading, padahal kinerja kamu bagus banget di sini. Tapi tetap saya mau semua karyawan saya merasa nyaman juga saat bekerja."
Jean benar-benar terharu mendengar ucapan atasannya yang begitu memperhatikannya. " Maaf ya bu kalau saya suka merepotkan."
" Nggak masalah. Semoga di tempat baru nanti kamu bisa lebih nyaman dan lebih baik lagi kerjanya ya. Minggu depan kamu sudah bisa pindah ke sana. Nanti saya kasih suratnya."
Hari ini benar-benar luar biasa bagi Jean. Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum, membayangkan tempat kerja barunya nanti. Ya meskipun bisa saja masih banyak orang-orang seperti Rita. Tapi setidaknya menghidari satu 'Rita' itu sudah jauh lebih baik.
Saat akan pulang, Jean masih menunggu lampu penyebrangan jalan berubah menjadi hijau. Hingga tiba-tiba sebuah mobil menepi di depannya dan kaca mobil yang diturunkan.
Pantas saja mobil itu terlihat tak asing.
Sosok Galen si pengemudi mobil itu menatap Jean yang terkejut melihatnya. " Ayo masuk. Aku butuh bantuanmu."
" Hah?" Entah perintah dari alam bawah sadar mana, Jean langsung menurut saja masuk ke mobil dosennya itu.
" Ingat ya ini hanya bantuan pertama. Aku masih bisa meminta satu bantuan lagi." Galen langsung melajukan mobilnya.
Jean benar-benar pasrah. Padahal ia sendiri tidak tahu bantuan jenis apa yang Galen pinta. Bagaimana kalau Galen memanfaatkan situasi lalu meminta hal yang aneh-aneh?
" Pakai sabuk pengamanmu, saya tidak mau sampai kena tilang," ucap Galen melihat sabuk pengaman Jean yang belum terpasang.
" Eh?"
Tiba-tiba saja Galen mendekat pada Jean, begitu dekat hingga Jean bisa merasakan nafas pria itu di dekatnya. Jean takut jika Galen mendengar degup jantungnya yang seolah akan meledak ini. Galen memasangkan sabuk pengaman Jean, begitu singkat tapi rasanya lama sekali.
Diam-diam Galen tersenyum ketika menghirup aroma apel manis dari tubuh Jean. Parfum favorit wanita itu, mungkin?
Sekitar sepuluh menit kemudian mobil Galen masuk ke parkiran sebuah butik. Pria itu lalu turun dan membuka pintu mobil untuk Jean. " Ayo."
Mau tak mau Jean turun dari mobil Galen. Meski bingung, gadis itu mengikuti Galen masuk ke dalam butik.
" Tolong berikan baju yang cocok untuknya. Pakaian yang sopan tapi elegan," ucap Galen pada salah satu karyawan dengan seragam serba hitam di sana.
" Baik. Silahkan, nona," ucap karyawan itu pada Jean.
" Eh?" Jean semakin bingung. Terutama saat ia harus mencocokkan beberapa baju hingga Galen berkata 'Ya'. Benar-benar melelahkan. Ia tak mengerti apa yang sedang pria ini lakukan padanya.
" Tolong tata rambutnya juga," ucap Galen yang kebetulan butik itu memang memiliki area khusus salon.
Jean hanya bisa menurut saja hingga satu jam kemudian ia telah selesai. Galen menatapnya dari atas ke bawah.
" Lumayan." Pria itu melengos ke arah kasir dan membayar dengan kartunya. " Ayo."
" Kemana?"
Galen tak menjawab tapi Jean tetap mengikutinya. Tak mungkinkan bantuannya diganti dengan baju yang tak murah ini?
Sekitar setengah jam kemudian, mobil Galen berhenti di sebuah restoran makanan Italia di daerah Kuningan. Jean memperhatikan mobil-mobil yang berjejer di area parkiran. Sepertinya restoran ini sedang ramai atau ada acara tertentu.
Benar saja. Saat itu sedang ada acara reuni kecil-kecilan kampus Bina Persada-- kampus Jean juga. Gadis itu merasa aneh datang ke acara reuni seperti ini padahal ia masih kuliah di sana, terlebih yang datang sepertinya orang-orang penting semua. Terlihat dari penampilan mereka dengan baju-baju yang tidak kelihatan murah. Pantas saja Galen mengajaknya ke butik.
" Galen. Akhirnya datang juga." Seorang pria bertubuh lebih pendek dari Galen itu menghampirinya dan menyalaminya. Ia lalu melirik ke arah gadis di samping Galen. " Wah! Akhirnya tangan kamu ada yang gandeng ya," candanya yang berhasil membuat nyawa Jean seperti benar-benar melayang.
Galen hanya tersenyum tipis.
" Masih muda banget. Ternyata kamu sukanya yang masih fresh ya," ledek pria itu lagi.
" Ya, bisa dibilang begitu."
Memang tidak ada yang aneh di acara itu. Galen terus menemani Jean, tak membiarkan gadis itu sendiri. Mereka makan bersama dan Galen membicarakan banyak hal dengan teman-temannya. Hingga pertanyaan dari satu orang wanita bertubuh mungil dan berkacamata itu memecah pembicaraan Galen dan temannya.
" Galen! Kamu bukannya lagi pedekate sama Yasmin... junior kita?"