2- Dosen Favorit Para Mahasiswi

1373 Words
Apa saja sih penyemangat mahasiswa untuk kuliah? Gelar? Pekerjaan di masa depan? Lapangan kerja? Uang saku? Atau gebetan? Bisa salah satunya, bisa semuanya atau bahkan bukan sama sekali. Di dunia yang telah modern ini, ada satu hal lagi yang membuat mahasiswi maupun mahasiswa lebih semangat untuk kuliah. Ya! Dosen yang cantik atau dosen yang tampan, selain itu usia yang masih muda semakin menambah khayalan para mahasiswa yang membayangkan bisa saja dosen-dosen itu adalah jodoh mereka yang tertunda. Entah tertunda berapa tahun, yang jelas siapa tahu bisa dilirik dosen atau sedikit ‘menggoda’ agar bisa terlihat oleh mereka. Ya syukur-syukur bisa naikin IPK. Walaupun sebenarnya jelas tidak boleh. Karena itulah hubungan dosen dan mahasiswa sangat rentan akan gosip-gosip. Sebisa mungkin mereka menghindari hubungan seperti itu. Daripada jadi bahan gosip satu kampus. Ya syukur-syukur kalau dilamarnya pas sudah wisuda, bisa diaturlah. Salah satu dosen favorit mahasiswi di kampus Bina Persada adalah Pak Galen. Dosen berperawakan tinggi dengan bahu yang lebar dan pelukable itu memiliki wajah mirip oppa-oppa Korea yang diminati para gadis. Matanya agak sipit, hidung mancung dan bibirnya yang tampak merah muda. Tak hanya itu. Garis rahangnya benar-benar menggambarkan betapa jantannya dia. Oh iya, jangan lupakan lengan kekarnya yang sepertinya akan membuat siapapun hangat di dalam genggamannya. Apalagi saat mengenakan kacamata, kharisma Pak Galen seolah bertambah berkali-kali lipat. Saat dia sedang mengajar, tak satupun mahasiswi yang bisa mengalihkan pandangan darinya. Ah, ada satu yang selalu menghindari Pak Galen, atau setidaknya jangan sampai pria itu menatapnya. Jean. “ Kamu nggak bilang kalau dosennya Pak Galen” Jean berbisik pada Melisa yang duduk tepat di sampingnya, mulai bersiap menatap ketampanan salah satu manusia ciptaan Tuhan itu. “ Iya kenapa sih? Kan kamu tahu dia satu-satunya dosen Farmakoterapi. Bu Sisi lagi cuti melahirkan soalnya,” bisik Melisa yang matanya tak terlepas dari sosok Pak Galen yang duduk di kursinya. Sialnya lagi Jean duduk di baris kedua, dengan kursi yang berhadapan dengan meja dosen. Ia pun hanya bisa tertunduk, menggigit bibir bawahnya, berusaha agar terlihat tenang. “ Dia nggak bakal mengenali kamu kok,” ucap Melisa yang jelas tahu kekhawatiran yang Jean rasakan. “ ‘Wong’ cowok seganteng pak Galen, apa iya ingat sama remahan rengginang kayak kamu.” Jean mencebikkan bibirnya. “ Sialan.” Meski menganggap ucapan Melisa masuk akal, sayangnya tak bisa membuat hati Jean tenang. Selain tidak mau pak Galen mengenalinya, ia juga sulit mengendalikan degup jantungnya saat pria itu berada di sekitarnya. Degup jantung yang masih sama seperti saat bertemu pria itu empat tahun yang lalu. Kejadian memalukan yang mungkin hanya ia dan Melisa yang mengingatnya, mungkin juga beberapa temannya yang lain... yang memang menikmati kesengsaraannya saat itu. Pak Galen mengajar seperti biasa, setelah menjelaskan beberapa materi, ia kembali sibuk dengan laptopnya sementara mahasiswanya disuruh menyelesaikan kasus yang ia berikan. Seperti kata Melisa, Pak Galen sama sekali tidak memperdulikan keberadaan Jean. Jelas pria itu sudah lupa akan kejadian memalukan yang gadis itu terima. Pasti. Jam mata kuliah yang berlangsung selama sembilan puluh menit itu terasa begitu lama bagi Jean yang mungkin saja jantungnya bisa meledak kapan saja. Jadi saat Pak Galen beranjak untuk berpamitan, ia langsung menghela nafas. “ Gugup banget kamu kalo sama Pak Galen.” Melisa jelas tak menyadari perasaan yang menghantui sahabatnya. “ Dia memang rada pelit sama nilai sih. Perfeksionis begitu katanya. Tapi aku yakin kita nggak akan ngulang lagi kok. Daripada sama Bu Sisi yang ngasih nilai sesuai moodnya.” Ia mengedikkan bahunya. “ Iya sih.” “ Mau ke perpus dulu nggak? Anak-anak lain pada ngumpul. Katanya ada beberapa proyek dosen.” “ Oh ya? Boleh deh.” Jean melirik jam tangannya. “ Jam kerjaku masih lama.” “ Yuk!” Melisa langsung menggandeng Jean menuju gedung perpustakaan yang bersebelahan dengan gedung laboratorium. Benar saja. Di ruang khusus diskusi, sudah ada beberapa mahasiswa lain yang sedang mengobrol di sana sembari membuka laptop mereka. “ Nah ini datang orangnya.” Mario langsung menyambut Melisa dan Jean. Bahkan dengan gaya berlebihannya, ia menarik dua kursi untuk kedua gadis itu. “ Buaya darat mulai deh,” celetuk Melisa sembari menahan senyumnya. “ Iya dong. Kan aku gentle, harus memperlakukan para wanita dengan baik.” Melisa berdecih. “ Jadi bagaimana? Proyeknya ada dua katanya ya?” Ia langsung to the point, tahu jika Jean tak punya banyak waktu sepertinya. “ Santai saja, bos. Jadwal semprop masih dua bulan lagi.” Damar mengibas-ngibaskan tangannya. “ Iya kamu saja yang santai. Aku sih mau cepat selesai.” Melisa mencebik. Damar tertawa. “ Aku sih betah, banyak dosen sama maba yang cantik soalnya.” “ Gatel banget sih. Aku garuk lama-lama ini pakai spuit!” “ Sudah deh jangan bercanda terus.” Mario mengibaskan tangannya kemudian menyodorkan ponselnya ke Melisa dan Jean. “ Satu Farmakologi soal uji toksisitas sama uji aktifitas ini. Kalau mau yang uji Farmakognosinya bisa ke identifikasinya. Nanti uji aktifitasnya bisa jadi banyak judul sih.” Jean mengangguk-angguk. “ Boleh juga itu.” “ Kamu mau yang mana?” tanya Mario kemudian. “ Uji toksisitas boleh. Subakut, kan? Dua puluh delapan hari lumayan cepet sih.” “ Iya. Tinggal kita kembangin judulnya saja. Nanti tinggal coba kalian susun sampai bab metode penelitian. Pak Gelin sama Bu Naura sudah fiks kok sama nama-nama kita.” Mendengar nama yang tak asing membuat Jean menatap Melisa, Melisa mengedikkan bahunya dengan tatapan merasa bersalah seolah memang dia tidak tahu nama itu akan disebut. “ Maksud kamu... dosen pembimbing kita Pak Galen?” tanya Jean memastikan. Mario mengangguk. “ Sama Bu Naura sebagai dosen pembimbing bagian Farmakognosinya.” Ingin sekali Jean mengubur dirinya di bagian bumi paling dalam. Jika ia tidak ikut proyek ini, belum tentu ada proyek yang sesuai peminatannya nanti. Apalagi proyek ini semua murni dibiayai dosen dan lembaga penelitian jadi ia hanya perlu keluar tenaga serta otak untuk menyelesaikan penelitiannya. Namun membayangkan akan sering bertatap muka dengan Pak Galen, nafasnya jadi terasa berat. “ Kenapa? Ini semua kita free kok. Paling hanya beli makanan tikusnya saja nanti dan sekamnya saja. Pokoknya biaya besarnya sudah aman deh. Kayak yang kalian mau.” Melisa menatap Jean penuh harap. Pada akhirnya Jean mengangguk pasrah. Rejeki jangan ditolak, yang ada nanti rejeki lainnya menjauh. Begitu prinsipnya. Prinsip yang pada akhirnya membuat Jean sedikit menyesali pilihannya. *** “ Len. Ini data mahasiswa yang ikut proyek kita,” ucap Naura pada Galen yang usianya hanya terpaut dua tahun lebih muda darinya. Kebetulan mereka satu kampus saat mengambil S2 beberapa tahun lalu. Galen mengangguk menerima daftar nama mahasiswa di tangannya, kemudian membaca satu persatu nama di sana hingga pada satu nama yang tak asing baginya. “ Sudah fix semua ini, Ra?” Ia memang terkesan santai karena Naura juga maunya lebih santai. Apalagi keduanya pernah menempuh pendidikan bersama dan lulus bersama. Naura mengangguk. “ Iya sudah fix. Lumayan ada Damar sama Jean. Dua duanya pinter banget dan IPKnya di atas tiga koma lima. Semoga saja berjalan lancar proyek kita.” “ Oh. Keren juga mereka.” “ Tapi lebih keren kamu lah. Siapa lagi yang bisa dapat IPK empat di kampus kita dulu selain kamu.” “ Bisa saja kamu, Ra. Lagi hoki saja.” “ Hoki seumur hidup maksud kamu?” Galen hanya tersenyum kecil. “ Oh iya, Yasmin nanyain kamu mulu. Katanya kapan kamu libur? Dia mau ngajak makan malam.” Terang Naura yang seketika meruntuhkan senyuman Galen. “ Makanya jangan ganteng-ganteng. Sepupu aku jadi naksir kan.” “ Ah, itu... “ “ Dicoba saja dulu. Kalian sama-sama jomblo kan. Memang risih ya kalau terlalu dikejar cewek. Tapi Yasmin kayaknya suka beneran sama kamu. Kalian juga seumuran kan. Dia juga apoteker loh. Karirnya bagus, cantik pula. Orang tuanya apalagi, baikkkk banget.” Naura terang-terangan mempromosikan sepupu terdekatnya itu. Kebetulan Galen pernah bertemu Yasmin dua kali saat wanita itu menjemput Naura di kampus dan satu kali saat reunian bersama karena kebetulan mereka lulusan kampus yang sama. Yasmin bahkan menyayangkan baru tahu soal Galen dari Naura, padahal jika bertemu dari awal wanita itu yakin mereka bisa jadi sangat dekat. Yasmin sendiri heran tak menyadari pria setampan Galen di kampusnya. Atau mungkin karena wanita itu dulupun masih memiliki kekasih jadi tak sempat melirik pria lain. Galen hanya tersenyum tipis. “ Aku cari waktunya dulu ya.” “ Duh! Jual mahal banget deh kamu, Len. Tapi nggak apa-apa, Yasmin pantang menyerah tahu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD