Bab 07 [ Iharasi Sousuke POV ]

1525 Words
Aku tidak tahu apa yang Kuroda-san lakukan setelah kegiatan kami, tapi aku kembali tertidur, dan saat aku tidur, aku bermimpi tentang hal yang sedikit aneh. Aku bermimpi tentang Yuuki yang menangis, tentang Kuroda-san yang memelukku sangat erat hingga rasanya sangat sesak. Aku mencoba untuk bangun, tapi rasanya apa pun yang kulakukan sama sekali tidak bisa membuatku bangun, aku seperti terjebak. Aku mencoba berontak, tidak bisa, aku mencoba menendang-nendang udara tetap semuanya percuma. Saat itu aku mulai menangis, tapi aku tidak tahu kenapa aku menangis, aku mencoba meraih seseorang yang ada di depanku, tapi orang itu hanya menggeleng kemudian meninggalkanku begitu saja. Aku berteriak, aku menjerit, tapi tak ada yang menolongku, aku hanya bisa berusaha melepaskan diriku sendiri dengan kekuatan yang tak seberapa hingga akhirnya, sesuatu yang sangat berat menindihku, membuatku bangun seketika. “Maachaaaa~” Teriak anak gadis kesayanganku begitu saja seperti dia sangat khawatir denganku. Wajah anak gadisku itu terlihat merona sangat merah dengan rambut yang masih basah, bahkan pakaiannya pun sudah berganti dari yang terakhir kupakaikan padanya. “Maachan kenapa?” tanya Yuuki khawatir sambil menepuk-nepuk pipiku. Aku mengerjap, aku berusaha melihat anak gadisku itu dengan seksama, hingga kurasakan tangan mungilnya kembali menyentuh wajahku untuk menyeka air mata di sana. Eh? Air mata? Aku menangis? Kenapa? “Maachan dhangan nangnis,” ujarnya terdengar khawatir. Buru-buru aku mengusap sisa air mata yang menggenang di pipiku dan bangun hanya untuk memeluk anak gadisku. “Yuuchan kenapa?” tanyaku setelah menaruh anak itu dalam pelukanku. “Maachan nangnis, kenapa?” “Umn, mungkin bermimpi.” “Maachan mimpi apah?” Aku memutar bola mataku, aku tidak mungkin bilang padanya kalau aku baru saja bermimpi buruk. Aku tidak ingin membuat anak gadisku ini khawatir, jadi aku mencium pucuk kepalanya gemas dan mulai menjembel pipinya sedikit kuat sampai dia menjerit-jerit seperti yang biasa kami lakukan setiap hari. “Maachan hengtikan! Belenti! Aaaaa~” “Haha ... mandi sama siapa? Nenek?” “Thama Papa~” “Papa? Di mana Papa sekarang?” “Papa di bawah, lagdhi thama kakek.” “Hmn...,” aku mengangguk, “mau turun?” “Gendhong, ya~” “Heee~ kenapa harus digendong, nggak! Yuu berat.” “Aaaa~ Yuu mau gendong Maachan~” rengek Yuuki sambil meregangkan tangannya saat aku mencoba bangun. Aku cukup beruntung menikah dengan Kuroda-san, karena setiap kami selesai bersenggama, dia pasti akan memakaikanku baju, entah aku akan membersihkan diriku setelahnya atau tidak, tapi dia akan tetap memakaikanku baju seperti sekarang. Dia selalu melakukan hal ini karena dia tidak ingin saat Yuuki berlari masuk ke kamar kami, dia akan bertanya yang tidak-tidak karena melihatku telanjang bulat di atas ranjang. “Ugh!” Aku tersentak saat aku merasakan cairan kental keluar dari bagian belakangku. Nyaris saja aku berhenti bangun untuk mengangkat Yuuki ke dalam pelukanku, bahkan saat ekspresi wajah anak gadisku sedikit berubah saat aku tersentak barusan, aku langsung mengubah kelakuanku dan mengangkat anak gadisku itu ke dalam pelukanku untuk segera membawanya turun ke bawah. Tentu saja dengan mengabaikan cairan yang masih mengalir keluar dari bagian belakangku. Tiba di bawah, aku melihat ibu sedang menonton televisi sementara Kuroda-san dan ayah sedang duduk di teras sambil menikmat udara malam ditemani sebotol arak dan rokok. Ah, kupikir ini sebabnya dia sengaja membeli rokok tadi siang sebelum tiba di rumah orang tuaku, ternyata dia memang punya teman merokok—ayahku. “Hei, kau sudah bangun?” tanya ibu. Dan saat suara melengking ibu keluar, Kuroda-san menolah dan mata kami bertemu. Spontan aku mengalihkan pandanganku darinya dan berjalan ke dapur masih dengan Yuuki dalam gendonganku. “Hm, Yuuki sudah makan, bu?” “Yuuchan sudah makan dari tadi, kau lapar?” “Hm, masih ada makanan?” tanyaku lantas menaruh Yuuki di salah satu bangku meja makan. Ibu beranjak dari depan televisi dan menghampiriku di dapur, membuka lemari es dan mengeluarkan makanan dari dalam sana ke atas meja. “Pukul berapa sekarang, bu?” tanyaku setelah ibu mengeluarkan makanan dari dalam lemari es. “Hampir pukul sebelas malam. Karena itu aku memasukkan makanan ke dalam lemari es, kupikir kau tidak akan bangun sampai besok pagi.” “Ah, Bu. Aku buat mie instan saja. Kau punya?” “Lalu makanan ini?” “Tidak, menghangatkan itu terlalu lama, aku mau buat mie instan saja, Yuuchan mau mie?” tanyaku pada anak gadisku dan dia mengangguk dengan sepasang mata berbinar. “Yuu, kau tidak boleh makan lagi.” Ujar Kuroda-san dari teras. “Haaaa~ Papa, Yuu mau makan mie~” “Hei, ini sudah terlalu malam. Seharusnya kau sudah tidur.” “Biarkan saja, lagi pula tidak setiap hari, kan dia makan di jam seperti ini?” bela ayahku dan aku hanya bisa menggeleng mendengarnya. Begitulah anakku kalau di rumah ini. Peraturan kami di rumah kami sendiri seperti tidak berlaku sama sekali, Jadi, aku hanya mendengarkan bagaimana ayah dan kakek anak itu berdebat soal jam malam mereka, dan aku kembali menyalakan kompor untuk memasak mie instan. Ternyata bukan aku saja yang sedikit risih dengan ayahku dan ayah anakku, ibuku juga merasakan apa yang kurasakan dan dia hanya bisa menggeleng sambil menepuk punggungku seperti mencoba menguatkan aku untuk tidak peduli dengan apa yang dibicarakan oleh dua orang di sana dan melanjutkan apa yang sedang kukerjakan. “Mau pakai kornet atau telur?” “Boleh.” Jawabku antusias. Setelah mengambil beberapa butir telur, dan memasaknya bersama mie instan dalam panci, ibu terus memerhatikan wajahku. Hanya saja, aku mengabaikan pandangan-pandangan ibu dan terus memasak mie instan itu. Setelah mie –nya matang, aku segera menaruh panci berisi empat bungkus mie instan itu di meja makan. Dengan cepat, Yuuki langsung mencomot mie instan yang baru saja matang dan mengepulkan uap panas itu. “Ayah, mau mie?” teriak ibu setelah mengambil beberapa mangkuk dan sumpit. Tanpa menjawab, ayah langsung bangun sambil mengajak Kuroda-san untuk ikut bergabung. Kulihat Kuroda-san langsung bangun saat diajak ayahku dan berjalan ke arah meja makan dan langsung duduk tepat di sebelah ayah, sementara Yuuki diapit oleh ayah dan ibu di tengah mereka. Melihat itu hanya bisa maklum, karena ayah dan ibu benar-benar sangat sayang dengan anak itu, jadi mereka berusaha bagaimana pun untuk bisa memenangkan hati anak gadis kami. “Kau tidak apa-apa?” tanya Kuroda-san tiba-tiba. “Ha? Aku kenapa?” “Wajahmu pucat?” Ucapan Kuroda-san langsung menarik perhatian ayah dan ibuku. Ibu yang baru saja mau memasukkan mie ke dalam mangkuk milik ayah spontan memerhatikaku, begitu juga dengan ayah yang mulai menelisik. “Kau sakit, Sousuke?” tanya ayah menyambung pertanyaan Kuroda-san. Karena aku tidak bisa melihat wajahku sendiri, aku hanya menyentuhnya dan menggeleng. “Aku tidak apa-apa.” “Kepalamu pusing?” tanya ayah lagi. Dan aku menggeleng. “Yasudah, kalau begitu sekarang kau makan baru besok pagi kita ke dokter untuk periksa.” Ujar ibu menengahi acara makan tengah malam kami. Setelah itu, ayah sama sekali tidak meneruskan ucapannya dan mulai makan mie yang aku dan ibu buat, begitu juga Yuuki yang sudah mulai lahap makan dibantu oleh ibu, sementara Kuroda-san, terus melihatku meski dia juga ikut makan, tapi perhatiannya sama sekali tidak beralih dariku. Bertanya, kenapa? Tentu saja tidak berani aku lakukan karena aku tahu, kalau sampai aku bertanya pasti pembicaraan kami akan panjang dan tidak akan berakhir dengan baik mengingat Kuroda-san sangat over protektif padaku semenjak aku masuk ke rumah sakit setelah insiden bersama Mihara Kuji dulu sekali, dan sejak hari itu dia selalu terlihat sangat khawatir setiap kali melihat aku pucat seperti sekarang. Setelah makan malam dan mengobrol beberapa lama, Yuuki terlihat sangat mengantuk. Ibu langsung membawa anak itu langsung ke kamar mereka untuk tidur. “Bu, biar Yuuki tidur denganku saja.” “Sebaiknya kau istirahat saja, malam ini Yuuki tidur dengan kami.” “Iya, naiklah ke atas dan tidur lagi,” sambung ayah, “Kuro, bawa dia naik. Suruh dia tidur dengan benar.” Lanjut ayah sambil mengikuti ibu masuk ke dalam kamar. Kuroda-san hanya mengangguk untuk menjawab perintah itu. “Kuroda-san, kalau kau sudah mengantuk pergilah tidur, aku masih mau di sini.” Ujarku tapi Kuroda-san malah menatapku tanpa ekspresi. “Ke—kenapa?” “Apa aku keterlaluan tadi?” “Ha?!” Panik. Tentu saja! Tiba-tiba saja Kuroda-san bicara seperti itu rasanya benar-benar memalukan. Meski permainan dia di atas ranjang tidak bisa kukatakan lembut, tapi menanyakan hal seperti itu di tempat seperti ini kurasa itu memalukan. Ya, bagaimana tidak! Bagaimana kalau tiba-tiba ayah atau ibu keluar lagi dari kamar dan mendengar ini, mau ditaruh di mana mukaku?! “T—tidak, ak—“ Tubuhku limbung. Kepalaku tiba-tiba terasa sangat pusing dan tubuhku terasa melayang. Beruntung aku berada dekat dengan meja hingga aku bisa langsung berpegang padanya dan berterima kasih karena tidak jatuh ke lantai. Melihatku seperti itu, Kuroda-san langsung menghampiriku dengan ekspresi panik, dia memelukku dan menyentuh dahiku. “Aku tidak sakit...,” ujarku lemah. “Kubantu ke kamar.” Lagi, Kuroda-san mengangkat tubuhku dan menggendongku naik. Hanya saja, kali itu berbeda dengan tadi siang. Tadi siang aku berontak karena malu, tapi sekarang aku malah memeluk dan meremas kaos yang dipakai Kuroda-san sangat erat seperti aku takut dia jatuhkan. Tentu saja Kuroda-san tidak akan melakukan hal itu, bukan? Dan aku hanya terkekeh memikirkan hal itu. “Kenapa?” Aku menggeleng saat pertanyaan itu keluar dari mulut Kuroda-san. “Aku hanya sedang berpikir, kalau aku ini manja sekali sampai harus digendong seperti ini oleh Kuroda-san.” “Kalau kau sedang tidak enak badan, kenapa tidak bilang pada Yuuki tadi dan jangan turun ke bawah.” “Kalau aku melakukan itu, ayah dan ibu pasti sangat heboh.” “Mereka orang tuamu.” “Kita datang kemari saja sudah merepotkan mereka, aku tidak mau membuat mereka repot juga karena aku sakit begini.” “Besok aku akan membawamu ke dokter.” Ujar Kuroda-san sambil membuka pintu kamar menggunakan sikunya, dan kembali membaringkanku di atas ranjang, menyelimutiku dan kembali menyentuh dahiku. “Kau demam. Tidurlah, aku akan ambil kompres.” Kuroda-san nyaris berdiri, tapi aku menahannya untuk tidak pergi. “Jangan pergi ke mana-mana,” ujarku, “aku ... bermimpi buruk tadi dan aku tidak ingin mimpi itu jadi kenyataan.” “Itu hanya mimpi.” “Mimpinya seperti nyata.” “Bermimpi aku bersama Omega lain?” “Hehe ... aku pernah cemburu melihatmu bersama Hiro sebelum aku tahu kalau Hiro adik perempuanmu, tapi Kuroda-san, bukan hanya itu yang kutakutkan sekarang...,” “Lalu?” “Aku...,” Aku tidak meneruskan kalimatku. Aku merangsek bangun dan mulai memeluk Kuroda-san. Beruntungnya aku, karena Kuroda-san membalas pelukanku sambil sesekali menepuk punggungku sangat lembut. “Seburuk apa pun mimpimu, aku tidak akan membiarkan itu jadi kenyataan.” _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD