Bab 06 [ Iharasi Sousuke POV ]

2005 Words
[ R 21+ ]                                                                 “Maachan.” Teriakan Yuuki memecah lamunanku. Kulihat tepi mulut Yuuki ada sedikit sisa es krim dan remah roti, entah apa yang sudah dimakan anak itu sampai sangat kotor seperti ini. Anak gadisku terus menarik-narik ujung celanaku seperti ingin agar aku ikut dengannya, tapi aku malah berjongkok kemudian membersihkan sisa makanan di sela mulut anakku itu dengan selembar tisu yang berada di atas meja. “Ada apa?” tanyaku penasaran. “Kakek sudah pulang, Maachan.” “Biarkan saja kakek kalau pulang, aku mau membereskan pakaian kalian dulu.” “Kakek nyuluh Maachan tuylun!” “Iya, nanti aku turun.” Ujarku sambil mendorong tubuh Yuuki agar dia mau keluar lebih cepat sementara aku kembali berdiri dan menyuruh dia keluar dari kamar ini. Yuuki hanya mengiakan apa yang kuperintahkan padanya, dia keluar dari kamar itu dan berlari turun ke bawah tapi sesaat kemudian aku mendengar ibuku berteriak dari bawah mengingatkan anak itu untuk tidak lari-larian, dan aku hanya bisa menggeleng mendengarnya. Setelah Yuuki turun dan bersama ayah juga ibu, aku benar-benar membuka tas yang kami bawa, mengeluarkan pakaiannya, memisahkan antara milik Kuroda-san, Yuuki juga milikku, kemudian memasukkannya ke dalam satu lemari yang ada di kamar itu. Selesai dengan apa yang kukerjakan, aku segera turun ke bawah dan melihat ibu sedang sibuk memotong bahan masakan, sementara Kuroda-san, sudah duduk di lantai tatami, bersama ayah dan papan shogi di hadapan mereka. Melihat mereka, aku hanya bisa menggeleng dengan sedikit mendesah. “Bu,” panggilku pada ibu yang sedang memotong sayur dibantu oleh Yuuki, “sebaiknya papan itu kusembunyikan di mana ya?” “Papan apa?” “Papan shogi itu.” Ibu berbalik dan melihat ke arah ayah dan Kuroda-san, dan terkekeh ringan. “Biarkan saja, tidak setiap hari ayahmu bermain papan itu.” “Tapi tidak langsung mengajak Kuroda-san bermain itu juga, kan setiap kali kami datang?” gerutuku. “Bilang pada ayahmu sana.” Aku berdecak sebal mendengar itu dari ibu. Tentu saja aku bukan tidak ingin mengingatkan ayah untuk tidak langsung mengajak Kuroda-san bermain shogi tiap kali kami datang, sudah sering kukatakan, tapi hasilnya? Ayah tetap saja melakukan hobinya dan mengajak Alpha –ku itu untuk langsung ikut bermain setiap kali kami datang. Sudahlah, aku tidak ingin berdebat, lagi pula permainan mereka sepertinya sudah masuk ke inti, bisa kulihat saat wajah ayah berubah sangat serius dan aku juga yakin kalau telinganya sekarang sudah tidak mendengar apa pun lagi. Jadi, aku memutuskan untuk membantu ibu memotong bahan makanan, sementara ibu memasak semua yang sudah dia potong. Sementara ibu memasak, aku dan Yuuki tidak berhenti bertengkar mulut tentang penataan piring di meja makan. Meski setelahnya ibu akan langsung memarahi kami, tapi kami tetap saja bertengkar. Bahkan saat makanan sudah selesai dimasak pun, ayah dan Kuroda-san masih tetap bermain shogi. “Yuuchan, panggil Papa dan kakek –mu untuk makan.” Perintah ibu, sementara aku sudah bersiap dengan mangkuk nasiku sendiri dan mulai menyuap sementara anak gadisku sedang berusaha menyeret ayahnya agar berhenti bermain shogi bersama sang kakek. “Papa ayo makan!” jerit Yuuki sambil terus menarik tangan Kuroda-san. Tapi seperti yang sudah kuduga, dia tidak akan berdiri sampai ayah berdiri lebih dulu. Tapi setelah ibu berteriak, dua orang yang masih fokus pada papan shogi mereka langsung berdiri dan berjalan ke meja makan, juga Yuuki yang sekarang dalam gendongan Kuroda-san. “Papa nenek malah, ya?” “Bertanya pada Papa –mu itu juga dia tidak akan menjawab. Duduk dan makan.” Ujarku langsung mengambil Yuuki dari gendongan Kuroda-san kemudian menaruhnya pada bangku tepat di sebelahku dan ibu agar salah satu dari kami bisa bergantian menyuapinya atau hanya sekedar membenarkan makanan yang diberantakan oleh Yuuki. “Bu, kalian dari ladang?” tanyaku di sela makan kami. “Hm, banyak babi liar turun gunung karena musim panas di atas gunung, mereka kekurangan makanan.” “Babi? Maachan, Yuu mau lihat babi, boyleh?” tanya Yuuki dengan mulut penuh. “Asal ikut sama kakek dan nenek dan berjanji tidak nakal, aku izinkan.” Anak itu mengangguk penuh semangat. “Apa aku boleh membantu?” tanya Kuroda-san setelahnya, tapi ayah melarang. “Kalian di rumah saja, aku tahu perjalanan dari Kansai kemari tidak sebentar, kau pasti sangat lelah. Biar Yuuchan bersama kami saja.” Ujar ayah dan tentu saja itu tidak bisa membuat Kuroda-san menolak perintah yang kedengarannya mutlak itu. Setelah makan siang, aku memilih membereskan meja makan dan mencuci semua piring bekas makan kami, sementara ayah dan Yuuki sudah berlari lebih dulu ke ladang setelah memakaikan topi khusus dengan layer tipis anti serangga untuk muka cucu perempuannya sebelum mereka pergi ke ladang yang siapa pun tahu di sana ada banyak sekali nyamuk. Sementara ibu, menyusul kemudian setelah membawa satu botol besar air dan cemilan kesukaan Yuuki. “Bu, tidak perlu membawa semua itu.” “Kenapa? Cucuku pasti suka.” Ujar ibu dan aku tidak bisa menjawab kalimat itu lagi. Setelah ibu ke luar dan memintaku menjaga rumah, aku kembali mencuci piring dan mangkuk bekas makan kami, sementara Kuroda-san, membereskan papan shogi bekas main dia dan ayah yang tidak selesai. “Masih banyak?” tanyanya sambil berjalan mendekat ke arahku yang masih sibuk mencuci mangkuk setelah menaruh papan shogi itu ke tempat di mana ayah biasa menaruhnya. “Tidak perlu, ini sudah hampir selesai.” Jawabku, tapi Kuroda-san sama sekali tidak mendengar dan menarik tanganku agar berhenti mencuci agar dia bisa menggantikanku. “Hei, tidak perlu ... ini sudah hampir selesai.” “Duduklah, kau pasti lelah.” “Tidak, aku sama sekali tidak lelah. Biar kubantu juga.” Ujarku lantas mengambil piring yang sudah selesai dicuci untuk kemudian membilasnya dengan air, setelah selesai pun Kuroda-san tidak langsung duduk, dia malah membuka lemari es dan mengeluarkan dua kaleng soft drink dari dalam sana kemudian memberikan satunya padaku. “Kau kenapa?” pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut Kuroda-san sesaat setelah aku menerima kaleng soft drink itu. “Kenapa?” “Wajahmu pucat.” “Eh? Benarkah?” aku menyentuh wajahku tapi sialnya, aku tidak bisa melihat seperti apa warnanya sekarang. Aku tersenyum karena sadar kalau tingkahku sekarang mungkin terlihat sangat konyol di depan Kuroda-san, tapi sialnya dia sama sekali tidak merespon apa pun. Dia hanya diam, menenggak isi kaleng minumannya sambil tak mengalihkan pandangannya dariku. “Kurasa, aku mau istirahat sebentar.” Ujarku sambil berdiri, menaruh kaleng yang belum kubuka dan bersiap untuk naik ke lantai dua di mana kamar kami berada. Kurasa, Yuuki dan orang tuaku tidak akan pulang cepat setelah mereka makan siang dan membawa cukup banyak cemilan, bisa jadi mereka akan pulang sore nanti. Jadi, aku bisa tidur lebih lama setelah ini. Kurasa begitu. Tapi ternyata tidak. Saat aku berdiri, Kuroda-san menahan tanganku, dia menarikku kemudian membawaku ke dalam gendongan. “A—ada apa?” tanyaku panik setelah dia berhasil menggendongku. Tapi Kuroda-san, sama sekali tidak mengatakan apa pun. Dia terus menggendongku naik ke kamar atas, tiba di sana, Kuroda-san langsung membaringkanku di atas ranjang dan menindihku. “He—hei, ini masih si—“ Mulutku dibungkam olehnya, Kuroda-san menciumku tanpa ampun, dia bahkan menggigit bibir bawahku sementara tangannya mulai bergerak cepat membuka pakaianku, mulai dari baju hingga celana yang kupakai. Dia bahkan tidak membiarkanku menarik napas lebih panjang dan membuat wajahku sangat merah karena kehabisan oksigen. Belum puas dengan ciumannya, Kuroda-san bahkan membuka kedua kakiku, dan mulai memasukkan satu jari tengahnya dan membuatku menjerit dalam bungkaman. Tidak puas dengan satu jarinya, Kuroda-san kembali menambah jari lain hingga mungkin jumlahnya sekitar tiga jari yang sudah masuk dan itu terus keluar dan masuk dengan irama yang jelas. Kontras sekali dengan aku yang seperti cacing yang baru saja dikeluarkan dari dalam tanah. Puas dengan memainkan jarinya di bagian belakangku, dia lantas membuka kancing kemeja yang dia pakai sebelum kemudian membuka celananya dan mengeluarkan p***s besar yang dia miliki dan sontak membuatku meneguk ludah susah payah. “Kuroda-san...,” panggilku dengan napas tersengal, hingga tanpa sadar tanganku langsung terangkat dan berharap bisa menyentuh rahangnya yang tegas. Seperti sadar dengan apa yang kuinginkan, dia semakin membuka kakiku, kemudian tubuhnya merangsek naik hingga aku bisa memeluk tengkuknya dengan sempurna. Lalu, seperti tidak ingin menunggu apa pun, Kuroda-san langsung menuntun penisnya agar bisa masuk ke dalam anusku. Rasanya ... cukup sakit saat kepala p***s itu mulai melesak masuk dan terus melesak masuk. Perpanjangannya yang sedikit melengkung benar-benar membuatku kewalahan saat semua bagian perpanjangan p***s itu sudah masuk sepenuhnya ke dalam tubuhku. “Kalau kau merasa tidak nyaman, katakan saja.” Ujarnya setelah selesai mengambil napas. Ah, aku yakin bukan hanya aku yang kewalahan dengan p***s besarnya yang melengkung itu, tapi kurasa dia juga merasakan hal yang sama dengan apa yang dia lakukan sekarang. Maksudku, lihat dia ... napasnya terlihat tersendat dan aku bisa melihat semburat rona merah muncul di ujung matanya, kurasa dia juga gugup untuk hal ini. Untuk menjawab pertanyaannya, aku hanya menggeleng. Kutarik kembali tengkuknya yang masih kupeluk dan kembali menciumnya rakus, sementara itu Kuroda-san sudah mulai memaju—mundurkan penisnya hingga aku bisa merasakan kalau penisnya terasa semakin keras dan semakin kuat menghujamkan penisnya di dalam tubuhku. “Ah, a—ah, haaa—ah, ah ....” Desahan demi desahan yang kukeluarkan mungkin sudah memenuhi seluruh rumah, dan mengganggu telinga siapa pun yang mendengarnya, tapi kurasa tidak dengan rumah ini. Kuroda-san benar-benar memanfaatkan keadaan ini untuk kami bisa melakukan ini, karena Yuuki dan orang tuaku pergi ke ladang. Kuroda-san menyentuh pinggang bawahku, kemudian dia membalik tubuhku ke samping dan mengangkat sebelah kakiku dan menekannya hingga aku bisa merasakan perut Kuroda-san berada di pahaku kemudian kembali menggenjotku sangat kuat dan sangat cepat. Hingga rasanya aku bisa merasakan bagaimana ujung kepalan penisnya menekan perut bawahaku dan rasanya sangat ... sangat nikmat. “Ah, ngah...ah, a—ah, ah, ha—ah—“ Suara desahanku dan decritan ranjang benar-benar memenuhi kamar ini, bahkan peluh kami berdua sudah menjadi satu, tercampur dan terasa sangat lengket. Air mataku juga tidak berhenti meleleh. Aku bahkan bisa mendengar bagaimana napas Kuroda-san mulai terdengar berat. Hentakkan demi hentakannya pun terasa semakin menekanku dari dalam. Aku kembali menggeram saat Kuroda-san lagi-lagi membalik tubuhku dan membuatku menungging ke arahnya. Ini benar-benar posisi paling memalukan yang tidak pernah kusuka setiap kali berhubungan dengan siapa pun. Karena dari posisi ini, mereka bisa dengan jelas melihatku, melihat semua bagian tubuhku terutama melihat dari bagian mana kami terhubung. “K—Kuroda-san, ti—akh!” Aku menjerit saat Kuroda-san membuat kedua bongkah bokongku menjepit penisnya. Rasanya benar-benar membuat lubang anusku terasa sangat penuh, sangat panas dan sangat ... memalukan. Setelah dia memainkan sebentar bokongku, Kuroda-san kembali menggenjotku penuh tenaga, selain itu, tangannya yang bebas mulai merayap bermain di antara kulit punggungku, menggelitiknya bahkan memainkan p****g susuku dari belakang. Aku berani bersumpah, ini rasanya sangat sakit. Sementara sebelah tangannya memainkan p****g susuku, tangan yang lain juga sudah mulai sibuk mengocok penisku. Kuroda-san benar-benar memperlakukan aku sangat baik, dia tahu kapan aku harus menahan dan kapan aku harus melakukan pelepasan. Desahanku kembali terdengar sangat kuat bersama suara decak basah dari bagian di mana kami terhubung. “Ah, ha—ngh—ah, ah, ah, Kuroda—sa—ngh....” “Sebentar lagi.” Suara Kuroda-san terdengar semakin berat, aku yakin dia sudah berada di puncak sekarang dan tak lagi dia akan keluar. Jadi, kueratkan dinding-dinding rektumku, menjepitnya semakin kuat hingga aku mendegar desah tertahan darinya sebelum dia benar-benar keluar setelah menggenjotku semakin kuat. Tubuhnya kejang, tangannya yang masih menggenggam penisku pun terasa semakin kuat meremas saat kurasakan cairan panas milik Kuroda-san mulai menjalar masuk perlahan ke dalam tubuhku, di susul olehku yang benar-benar tidak kuat setelah tangan Kuroda-san terasa sedikit longgar di sana. Napas kami memburu, peluh kami pun menetes, membasahi seprei. Hanya saja, Kuroda-san tidak langsung menarik keluar penisnya dari sana, dia masih menanamkan penisnya dan berbaring dengan posisi menyamping sambil memelukku cukup erat. “Tahan sebentar.” Ujarnya setengah berbisik di teligaku. Aku yang sudah terlalu lelah hanya bisa mengangguk lemah sambil berusaha memperbaiki irama jantungku yang kacau, sepasang mataku terpejam saat napas milik Kuroda-san terasa sangat hangat di tengkukku. Selain itu, aku juga bisa merasakan p***s Kuroda-san masih berkedut di dalam anusku. Entah dia sudah puas atau belum, tapi sekarang rasanya aku ingin tidur sebentar. _  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD