Jodoh

1439 Words
Hari Sabtu akhirnya tiba. Renisha mampir ke outlet pertamanya yang merupakan sebuah blok kantin di Universitas Bestari. Dulu pekerjaan Renisha hanya berjualan di sini dari pagi hingga sore bersama satu orang pegawainya yang juga merupakan teman Renisha ketika SMA. Namanya Sinta. Dia sekarang sudah punya dua orang anak, yang satu sudah kelas satu SD dan satunya lagi masih TK. Sinta memang memutuskan menikah muda karena hamil diluar nikah dan terpaksa putus sekolah. Kehidupan ekonomi Sinta tak terlalu baik. Maka sampai sekarang, Sinta masih bekerja di sini meski Renisha hanya mampir sesekali. Sinta mejaga outlet ini dengan dua pegawai lain. Blok kantin milik Renisha sedikit berbeda dengan yang lain. Jika blok-blok lain menjual aneka makanan dan minuman, maka Renisha hanya fokus pada makanan ringan, kue-kue kecil dan jus buah. Ia juga menjual es krim dengan harga yang terjangkau. Juga minuman-minuman kekinian seperti dalgona coffe, boba tea, hingga lemon squash. Kebanyakan yang belanja di sini adalah mahasiswa lintas jurusan. Mereka bilang, mereka menyukai satu kue yang hanya ada di sini, yaitu kue balok yang sudah dimodifikasi. Isi cokelat di dalamnya langsung meleleh begitu digigit, terasa manis dan pahit khas dark chocolate. Renisha jadi ingat jika dahulu, ia hanya bisa tersenyum pedih melihat anak-anak seusianya kuliah, sementara Renisha harus menyambung hidup dengan berjualan di kantin kampus dan membiayai sekolah adiknya. Di kantin inilah Renisha kemudian bertemu dengan si b******k anak DPR yang namanya saja Renisha tak sudi menyebutnya. Well, sudahlah. Itu cuma masa lalu. Kini Renisha sudah dalam tahap membangun kerajaan bisnisnya sendiri meski belum terlalu besar. Maka dari itu, Renisha memutuskan untuk kuliah jurusan manajemen agar di masa depan, ia tak salah langkah. Eila suka ketika mendiskusikan permaslahan di lapangan dengan teori yang diajarkan di kelas. Kebanyakan anak kelas karyawan memang bekerja jadi, pembahasan mereka bisa jauh lebih luas. "Loh, Renisha. Tumben Sabtu pagi udah ada di sini. Biasanya dateng agak siangan," sapa Sinta ramah begitu melihat kedatangan Renisha. Renisha mengangguk. "Iya Sin. Lagi liat-liat kampus aja. Tiba-tiba kangen jualan dan ngelayanin langsung." Renisha masuk ke dalam blok kantinnya, melihat dagangan-dagangan yang sudah tertata rapi. Sinta memang bisa diandalkan untuk urusan begini. "Kebetulan ada pesanan kue balok sama matcha. Di meja nomor 21. Yang paling pojok sana." Sinta datang membawa sebuah nampan. "Kamu mau nganterin? Atau aku aja?" tiba-tiba Sinta mengerling jail. "Mas-masnya ganteng loh Ren. Matanya sipit gitu. Putih. Tinggi besar." Renisha tertawa dan mengambil alih nampan dari tangan Sinta. "Definisi ganteng khasmu selalu itu ya Sin. Tinggi putih dan matanya sipit. Kayak nggak ada standar yang lain aja." "Ya gimana dong? Soalnya suamiku buncit dan kulitnya gosong kebakar matahari." Sinta terkekeh, kemudian agak mendorong pundak Renisha. "Udah sana buruan." Renisha cuma geleng-geleng kepala, kemudian mulai berjalan ke arah pelanggan yang ditunjuk Sinta. Meja nomor satu. Seorang cowok yang sedang fokus mengetik di depan laptop. Cuma terlihat punggungnya saja karena posisinya membelakangi Renisha. Renisha berjalan mendekat, kemudian merasa familiar dengan potongan rambut dan bentuk hidung yang terlihat dari samping. Ternyata cowok ganteng yang dibilang Sinta itu, Ramas. Raden Mas Aksara. Menahan senyum setengah tawanya, Renisha menaruh nampan itu di atas meja dan meletakkan pesanaan Aksa. "Pesanananya Mas. Seporsi kue balok dan matcha hangat ya?" "Iy--" perkataan Aksa terhenti begitu matanya menemukan Renisha. Ia bahkan nyaris terlonjak ke belakang. Mata sipit itu kembali melebar sempurna. Tampak lucu seperti biasanya. "Kenapa lo bisa ada di sini?" Renisha tersenyum, lebar hingga menampakkan gigi-gigi rapinya. Ia memiringkan kepala, mengedipkan sebelah matanya jail. "Gue nggak nyangka pertemuan ketiga kita bakal secepat ini. Jangan-jangan... kita emang... jodoh?" Aksa hendak berdiri dan membawa serta laptopnya, tapi Renisha sudah lebih dulu mencegahnya. "Nggak. Jangan pergi. Gue yang bakalan pergi." Renisha tersenyum lagi, membungkukkan badan. "Selamat menikmati makannanya. Nggak gue taruh racun, kok. Tenang aja." Renisha menahan tawanya yang hendak meledak. Kemudian pergi dari hadapan Aksa sebelum cowok itu kabur entah ke mana. Jika dilihat dari dekat, kenapa Renisha merasa jika alis Aksa mirip sekali dengan Sinchan? Melengkung lucu dan tebal. Terangkat ke atas ketika marah. Kali ini Renisha sudah tidak bisa menahan tawanya lagi. Jujur saja, ia tak menyangka akan bertemu Aksa di sini, dari sekian banyak kemungkinan. Kenapa sih Renisha tidak bisa berhenti menjaili Aksa meski mereka sudah sama-sama dewasa? Magnet apa yang ada di diri Aksa hingga mampu menarik Renisha mendekat? **** Aksa tak menyangka bisa menemukan Renisha di kantin fakultas. Tadinya Aksa ke sini untuk membuat bahan presentasi untuk mengajar nanti siang. Ia dapat rekomendasi dari Pak Yanto, bahwa kue balok di kantin ini sangat enak, lembut dengan rasa manis yang khas, membuat Aksa penasaran ingin mencobanya. Tak ia sangka jika ia justru akan melihat Renisha, mengantarkan pesanannya pula. Lama-lama cewek itu mirip Jalangkung. Datang tak diundang pulang tak diantar. Atau malah mirip psikopat yang sering menguntit? Aksa menghela napas dan menyandar ke punggung kursi. Ditatapnya seipiring kecil kue balok dan segelas matcha yang masih hangat itu. Tiba-tiba Aksa kehilangan selera makan. Keberadaan Renisha selalu membuat perut Aksa bergejolak ingin muntah. Pada akhirnya, Aksa memilih meninggalkan kantin dan mengerjakan bahan presentasinya di ruang dosen. Tidak menyentuh makanan itu sama sekali. Beruntung Aksa sudah membayar pesanannya tadi sehingga ia tidak harus berhubungan dengan Renisha lagi. Sebenernya, Aksa agak terpaksa menerima penawaran dari Pak Surya untuk menjadi dosen pengganti. Aksa sendiri sudah terlalu sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Namun, mengingat kebaikan Pak Surya pada Aksa selama ini, Aksa tidak sanggup untuk menolak. Ia merasa berhutang budi. Namun, Aksa akan mencoba bertahan, setidaknya sampai Pak Surya sembuh dan bisa mengajar lagi. Bukannya Bestari kekurangan dosen, tetapi Pak Surya hanya bisa mempercayakan kelasnya pada Aksa. Dosen yang mengajar di kelas karyawan rata-rata sudah berumur dengan segudang pengalaman. Mereka juga ramah dan tidak bersikap semena-mena meski Aksa lebih muda. Mereka menghormati Aksa sebagai bagian dari Bestari. Aksa melirik jam tangannya. Pukul satu siang kurang sepuluh menit. Ia bergegas mengambil tas dan membawa laptopnya di pelukan lengan. Bersiap turun. Gara-gara kejadian di kantin tadi, perut Aksa hanya terisi teh hangat dan beberapa makanan ringan yang disediakan di mejanya. Aksa sudah memutuskan untuk tidak datang lagi ke kantin fakultas. Menarik napas dalam, Aksa kemudian mengetuk pintu kelas dan melangkah masuk. Para mahasiswa sudah duduk tenang di kursinya masing-masing. Aksa tersenyum ramah dan meletakkan tas serta laptopnya di atas meja dosen. Tanpa membuang waktu, Aksa langsung menyalakan lcd proyektor dan menampilkan ppt yang sudah ia buat tadi. Setelah selesai, berdiri dengan penuh percaya diri dan menyapa para mahasiswanya. "Selamat siang semuanya." Aksa mengedarkan pandangan. Usia mahasiswa di kelas ini rata-rata masih muda, mungkin sekitar usia dua puluh tiga sampai empat puluhan. "Siang Pak," balas mereka serempak. "Barangkali sebagian besar dari kalian masih belum mengenal saya." Aksa memencet remot khusus untuk presentasi dan mengarahkannya pada papan presentasi yang menampikan biodata singkatnya. "Saya di sini hanya sementara, menggantikan Pak Surya yang sedang sakit. Nama saya Aksara. Kalian bisa panggil Aksa saja tanpa embel-embel Pak." Aksa memang sengaja tidak mencantumkan nama lengkapnya di slide presentasi. Ia juga menanggalkan gelar magister yang ia dapatkan lima tahun lalu. Bukannya apa-apa. Aksa hanya sudah terlalu malas untuk menjelaskan jika ada yang bertanya perihal namanya, yang pasti tidak jauh-jauh dari; Bapak keturunan keraton ya? Dari keraton mana? Jogja? Solo atau Cirebon? Tapi kok wajahnya mirip orang Jepang. Aksa sudah muak. Dulu bahkan pernah ada yang bilang kalau menyematkan gelar Raden Mas itu sudah terlalu kuno. Aksa dikira kuno dan masih memegang nilai-nila zaman purba. Ada pula yang mengejek jika Aksa adalah blasteran putri keraton jawa dengan penjajah Jepang di era sebelum Indonesia merdeka. Yang benar saja! Aksa juga tidak minta dianugerahi wajah seperti ini. Selain karena Aksa tidak mau menungkit perihal namanya, Aksa juga ingin menyampaikan kesan akrab pada mahasiswanya. Ia tidak mau dianggap sebagai dosen, melainkan sebagai partner untuk berdiskusi soal mata kuliah. Aksa baru akan melanjutkan ucapannya, tetapi terhenti oleh ketukan pintu. Dua detik setelah, muncul sosok cewek yang tidak Aksa inginkan kehadirannya; Renisha. Mata Aksa seketika membulat. Nyaris saja ia kehilangan keseimbangan untuk berdiri tegak. Kenapa cewek itu bisa ada di mana-mana? Aksa jadi curiga sebenarnya Renisha ini manusia atau hantu penasaran. Renisha juga tampak terkejut tapi ia berhasil mengendalikan diri. Cewek itu agak membungkukkan punggung dan berujar, "Maaf saya terlambat, Pak. Apa saya boleh masuk?" Aksa terdiam beberapa saat. Tangannya mendadak bergetar. Hatinya menyuruh untuk mengusir Renisha saat itu juga, tapi logikanya menolak. Tentu saja Aksa tidak mau menimbulkan kesan dosen diktaktor dan perfeksionis di hari pertamanya mengajar. Aksa berdeham sebelum berujar, "Silakan masuk." Tepat ketika Renisha tersenyum lebar dan berjalan menuju tempat duduknya, Aksa tahu bahwa hari Sabtu dan Minggunya akan terasa seperti di neraka. Bunuh saja Aksa kalau begini ceritanya! ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD