Iblis Tampan Berdarah Dingin

1363 Words
Renisha tak menyangka jika Aksa adalah dosen yang menggantikan Pak Surya mengajar. Sepanjang jam pelajaran tadi, Aksa sama sekali tidak mau menatapnya. Dia hanya menjelaskan materi sebentar dan langsung memberi tugas essay. Raut wajahnya tampak begitu kusut dan tertekan. Aksa bahkan meninggalkan ruangan setelah memberikan tugas, baru kembali ketika waktu tinggal tersisa dua puluh menit. Banyak keluhan yang Renisha dengar dari mahasiswa lain tentang bagaimana cara Aksa mengajar hari ini; Aksa seperti iblis tampan berdarah dingin. Jika sikap dingin Aksa hari ini karenanya, Renisha tentu saja tidak bisa menerima. Aksa mungkin membencinya dan tidak mau melihat muka Renisha, tapi seharusnya cowok itu bisa bersikap lebih profesional. Mendadak Renisha teringat jika cowok itu tidak menyentuh kue balok yang ia antarkan tadi. Dasar Ramas sialan, membenci Renisha sampai seperti itu. Kekanakan! Karenanya, ketika Aksa berjalan meninggalkan kelas, Renisha buru-buru mengikuti cowok itu dari belakang. Kali ini Renisha harus mendapat penjelasan kenapa Aksa membencinya. Renisha harus melakukan ini supaya Aksa berhenti bersikap kekanakan saat mengajar di kelas. Sebab yang terkena getahnya tak hanya Renisha, tetapi satu kelas. "Ramas!" Renisha memanggil, tapi kemudian menyadari sesuatu dan mengubah panggilannya. "Pak Aksa, tunggu. Saya mau bicara." Aksa seperti sengaja pura-pura tidak mendengar dan mempercepat langkah. Tak mau ketinggalan, Renisha buru-buru berlari mengejar. "Pak Aksa, tunggu sebentar! Tolong jangan bersikap kekanakan di kampus." Renisha nyaris menabrak punggung Aksa saat cowok itu tiba-tiba berhenti. Ia beralih ke samping Aksa sambil mengatur napasnya yang bekerjaran. "Saya nggak bisa ngomong sama kamu di koridor. Nanti saja," Aksa tidak menatap Renisha sama sekali saat bicara. "Bukannya kamu masih ada kelas setelah ini?" Renisha bahkan belum sempat membuka mulut saat Aksa kembali berjalan meninggalkannya, berbelok menuju ruang dosen. Sambil berkacak pinggang, Renisha menatap marah punggung Aksa. Cowok itu benar-benar menyebalkan. Renisha rasanya ingin menghindari Aksa saja seperti dulu. Bersikap seolah tak mengenal cowok itu dan pergi sejauh mungkin saat melihatnya. Namun, bukankah Renisha akan tampak seperti pecundang jika melakukannya lagi? Setidaknya Renisha harus tahu alasan Aksa membencinya. Baru ia akan sepenuhnya melepas Aksa. *** Mood Aksa berantakan hari ini. Sekuat tenaga ia menghindari Renisha, tapi kenapa cewek itu malah muncul di kelasnya? Mungkin hari ini Aksa bisa menghindar dengan baik. Tapi bagaimana dengan besok pagi? Atau minggu depan? Aksa benar-benar berharap Pak Surya segera sembuh, supaya Aksa tak perlu repot-repot menyiksa dirinya dengan bertemu Renisha. Wanita itu, astaga. Kenapa bisa ada di mana-mana? Awalnya Aksa mengira jika Renisha sengaja masuk ke kelasnya untuk membuat Aksa tidak senang. Ia sempat akan mengusir cewek itu pergi. Untungnya Aksa tidak gegabah, ia bisa menemukan nama Renisha di daftar absen. Sungguh, Aksa tak menyangka jika ia akan sesial ini. Ponsel Aksa berdering saat ia hendak pergi ke parkiran dosen. Panggilan dari Sri. Aksa sedang tidak dalam mood basa-basi dan bersikap baik, maka Aksa mengabaikannya. Hari Sabtu, Aksa hanya mengajar satu kali. Sementara besok, ada tiga kelas sekaligus, dari pagi sampai sore. Katakan selamat tinggal pada liburan dan jalan-jalan. Aksa mengendarai mobilnya meninggalkan lapangan parkir. Ia ingin segera sampai di rumah dan beristirahat. Hingga kemudian, ponselnya berdering. Panggilan dari Narendra, suami Sashi. Tumben sekali cowok itu menghubunginya. Aksa menggeser tombol hijau untuk menjawab. "Haloo, ada apa Ren?" tanya Aksa. "Halo, Mas. Sashi lahiran hari ini. Sekarang lagi di rumah sakit." "Loh, bukannya usia kandungan Sashi baru delapan bulan?" tanya Aksa panik. Ia menepikan mobilnya supaya lebih fokus. "Kata dokternya ada komplikasi. Jadi terpaksa lahiran sekarang. Tapi bayinya selamat kok Mas. Sashi juga baik-baik aja," balas Naren dari seberang sana. Aksa langsung menghela napas lega. "Oke, aku langsung ke sana sekarang," balas Aksa, mematikan sambungan telepon. Cepat, Aksa kembali melajukan mobilnya ke rumah sakit. **** Badan Renisha terasa remuk saat sampai di rumah. Ia merebahkan badannya ke atas kasur, malas ke kamar mandi. Ternyata, kuliah itu capek juga. Apalagi Renisha juga masih memikirkan bisnisnya yang akan buka cabang baru seminggu lagi. Tiba-tiba pintu kamar Renisha terbuka lebar. Kepala adik lelakinya muncul dari balik pintu. "Disuruh Bunda ke dapur. Makan malam," katanya, kemudian kembali menutup pintu. Dasar Nathan sialan! Padahal Renisha belum menjawab tapi cowok itu malah sudah menutup pintu. Meski enggan, Renisha akhirnya bangkit. Bunda bisa marah-marah seharian kalau Renisha melewatkan makan malam seperti kemarin. Renisha hanya mencuci muka dan pergi ke dapur. Di meja makan, terlihat Nathan yang sudah menghabiskan setengah nasi di piringnya, sementara Bunda tersenyum saat matanya menemukan Renisha. Piringnya masih bersih, sepertinya sengaja menunggu anaknya yang paling cantik ini datang. Ah, Bunda, membuat Renisha terharu saja. "Makan yang banyak," kata Bunda sambil menaruh nasi ke atas piring Renisha. Renisha duduk dan mengambil sendok, bersiap untuk makan, tapi langsung terhenti saat Nathan tiba-tiba berujar, "Manja banget, makan aja pake diambilin." Nathan masih sempat mengoceh dengan mulut penuh nasi. Tatapannya sinis ke arah Renisha. "Kayak anak TK aja." "Hus! Kalau ngomong itu dijaga. Kebiasaan." Bunda mencubit lengan kurus Nathan dan membuat cowok meringis ngilu. Nathan merengek sambil mengusap lengannya. "Bunda kalau nyubit kenapa beneran, sih? Nanti kalau gosong gimana?" "Hilih, kalaupun gosong juga nggak bakal ketahuan. Orang kulit lo item dekil gitu." Renisha memeletkan lidah mengejek. Nathan mendengus dan mengalihkan wajah. Dari kecil, Nathan memang suka main layangan ke sawah, mulai dari pulang sekolah sampai sore hari. Ia bahkan sering melewatkan makan siang karena terlalu asyik bermain. Alhasil, kulitnya jadi hitam terbakar matahari. Renisha sudah memperingatkan Nathan untuk memakai tabir surya ketika bepergian, tetapi ia menolak dengan alasan, sunblok cuma untuk anak cewek. Ia tidak mau dikatai banci. Kalau sudah begitu, Renisha hanya bisa geleng-geleng kepala, balas mengatai cowok itu udik, dekil, dan panuan. "Sssh. Jangan ngobrol sambil makan. Pamali." Bunda melerai, tetapi Renisha dan Nathan masih sempat melempar tatapan saling membunuh. Kenapa, sih, kakak cewek susah sekali akrab dengan adik cowoknya? Bawaannya pengin berantem terus kayak Tom and Jerry. Pada akhirnya, Renisha berhasil menuntaskan makan malam dalam damai. Ia baru akan bangkit dan menaruh piring ke bak cuci saat Bunda tiba-tiba berujar, "Jadi, kapan kamu bawa calon kamu ke rumah?" Renisha seperti tersambar petir di malam hari. Diam tak berkutik. Wah, ternyata ini alasan Bunda baik sekali pada Renisha. Kenapa ia tidak bisa mendeteksi kelicikan Bunda sejak awal? Sementara Renisha kesulitan mencari jawaban, Nathan justru cekikikan memandang Renisha, merasa menang melihat kakaknya terpojok. Dasar adik durhaka. Ia menghela napas panjang. "Baru juga setengah tahun enggak pacaran, Bun. Masa udah ditanya-tanya calon lagi? Dikira nyari calon suami itu segampang nyari celana dalam, apa?" "Bunda cuma khawatir kalau kamu terlalu fokus sama bisnis dan lupa nyari calon." "Sambil menyelam minum air, Bun. Renisha memperluas bisnis juga sekalian cari jodoh, kok. Siapa tahu ketemu CEO tampan, muda nan kaya raya seperti di n****+-n****+, kan?" "Ngayal aja yang tinggi," Nathan tertawa mengejek. "Paling juga nemunya anak DPR nan manja, muka pas-pasan pula." Renisha langsung melemparkan kotak tisu ke muka Nathan. "Diem ya, bocah ingusan! Gue sumpahin lo jatuh cinta sama cewek manja yang hobinya cuma belanja dan ngabisin duit doang!" Sialan memang bocah satu ini. Suka sekali mengejek Renisha dengan mantan terakhirnya yang super songong bin menyebalkan itu. Heran juga kenapa ia bisa-bisanya jatuh cinta pada anak manja tengik bermuka pas-pasan. Kesombongannya membuat Renisha ingin menyumpal mulut cowok itu pakai balon udara, biar makin menggelembung perutnya. "Mendingan cewek manja ketimbang cowok manja," Nathan memeletkan lidah mengejek. Kalau saja tidak ada Bunda, pasti Renisha sudah melemparkan kursi ke muka Nathan, biar kapok sekalian. Mulut bocah itu harus dibuat dower supaya tidak bicara sembarangan. "Udah-udah, kenapa malah pada berantem sih." Bunda berdiri sambil membawa piring-piring kotor ke bak cucian. Renisha melemparkan tatapan sinis pada Nathan sebelum ikut berdiri dan membantu Bunda membereskan meja makan. Ketika kembali ke kamar, Renisha hendak merebahkan diri dan bertemu alam mimpi, tetapi tidak jadi saat ponselnya tiba-tiba berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Rendra. Narendra. Bini gue lahiran. Lo mau nengok nggak? Besok dateng bawa kado yang banyak. Renisha mendengus membaca pesan itu. Dia bertanya apakah Renisha mau datang menjenguk atau tidak, tapi malah disuruh bawa kado yang banyak. Besok pagi. "Itu mah bukan nanya, tapi maksa datang! Dodol emang." Renisha melempar ponselnya ke atas ranjang, menyusul tubuhnya kemudian. Ia lelah sekali hari ini, jadi, lupakan semua permasalahan hari ini sejenak. Renisha perlu mendinginkan otaknya supaya tidak meledak. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD