Ghina Tidak Ada Di Rumah Sakit.

1026 Words
"Kamu tunggu di mobil aja, Bar. Saya tidak lama," titah Zalman pada sang supir pribadi. "Siap, Tuan." Sudah biasa baginya menurunkan sang majikan di pintu utama sebuah gedung kemudian dia memarkir mobil di area parkir dan menunggu hingga Zalman menghubunginya kembali untuk minta jemput. Zalman masuk ke dalam rumah sakit dengan membawa bingkisan buah yang dia beli saat perjalanan tadi. *** Betapa terkejutnya Zalman saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap Ghina, tapi ternyata ruangan itu kosong hanya ada ranjang yang sudah rapih. Pria itu kembali keluar kamar dan menghampiri meja jaga khusus suster dan dokter berada. "Sus, pasien di kamar VIP atas nama Ghina kemana ya?" tanya Zalman pada salah satu suster jaga di sana. "Mba Ghina sudah pulang, Pak. Setengah jam yang lalu setelah kunjungan dokter, beliau memaksa pulang," jawab suster bernama May di nametag-nya. Zalman mengeraskan rahang. 'Kenapa dia tidak memberi kabar padaku.' Bathinnya. "Apa dia meninggalkan nomer telpon yang bisa di hubungi?" lanjut Zalman bertanya, sungguh dia berharap bisa mendapatkan nomer telpon Ghina. Entah untuk apa tapi hatinya berkata demikian. "Sayangnya tidak, Pak. Mba Ghina malah memberikan nomer ponsel Pak Zalman." Zalman menghela napas panjang, kecewa karena Ghina tidak pamit dan tidak meninggalkan jejak sedikitpun. Pasalnya, pria itu sudah meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan lebih detail untuk kepala Ghina yang terbentur saat kecelakaan tempo hari tapi kenapa wanita itu malah memaksa pulang. "Baiklah, Suster. Terima kasih infonya," pamit Zalman. "Sama-sama, Pak Zalman." *** Setelah menerima telpon dari Zalman, Akbar langsung siap siaga menjemput sang majikan di pintu utama rumah sakit. Keningnya menyernyit saat melihat Zalman masuk ke dalam mobil dengan bingkisan buah masih ditangannya. Akbar melajukan mobilnya pelan keluar area rumah sakit. "Gak jadi besuk Mba Ghina, Tuan?" tanya pria itu menghilangkan rasa pemasarannya kenapa Zalman membawa kembali bingkisan buah itu. "Dia sudah pulang, Bar," jawab Zalman dengan terkekeh miris. "Loh?! Emang udah sembuh?" "Dia maksa pulang, dan gak meninggalkan info apapun," tutur Zalman, kecewa. Sepanjang jalan Zalman hanya terdiam, termenung menatap keluar jendela mobil. Memikirkan keadaan wanita yang dia selamatkan beberapa hari yang lalu dan kini wanita itu menghilang tanpa meninggalkan kabar. Belum pernah pria setampan dan sekaya Zalman di buat galau oleh seorang wanita kecuali mendiang Katrin. Selama ini semua wanita berlomba-lomba mendekatinya tapi Ghina malah menghilang. "Sudah sampai, Tuan." Suara Akbar mengejutkan Zalman dari lamunannya. Pria itu pun keluar mobil tanpa mengucapkan terima kasih pada supirnya seperti biasa. 'Heum, gara-gara Mbak Ghina ini, badluck deh hari ini, Tuan Zalman bisa seharian marah-marah pasti.' Bathin Akbar yang sudah mengenal majikannya bertahun-tahun. Apa yang Akbar perkirakan benar terjadi, seharian Zalman emosi. Ada saja kerjaan dari para karyawannya yang salah dimatanya dan hal kecil saja bisa jadi besar. Zalman membanting berkas yang baru saja di serahkan oleh divisi keuangan. "Begini saja kalian tidak becus!" Zalman berdiri sambil berkacak pinggang. Emosinya sudah sampai keubun-ubun melihat nominal di berkas itu beda koma saja. Biasanya Zalman menegur dengan halus tapi tidak kali ini. Dia mengusir karyawannya, meminta semua dirapihkan dengan deadline yang cepat. "Boss lagi kenapa sih? Tumben banget hari ini horor!" tanya seorang karyawan pada rekan kerjanya saat sedang menunggu lift. "Udah lama kali gak celap celup," canda pria itu yang tahu status Zalman sudah lama menduda. "Lah, dia mah bisa celup di mana aja, tinggal tunjuk." Keduanya terkekeh sampai masuk ke dalam lift dan membuat heran karyawan lain yang setu lift dengan mereka. *** Di dalam ruangannya, Zalman mengusap kasar wajahnya beberapa kali. "Astaghfirullahaladzim," gumamnya beristigfar. "Ada apa denganku?" monolog Zalman kemudian. Pria itu melihat jam tangannya, sudah waktunya Zuhur. Zalman meminta sekretarisnya untuk tidak menerima tamu siapapun yang ingin bertemu dengannya. Tantri sangat paham, sebagai sekretaris dia tahu kalau atasannya itu tidak akan pernah melupakan ibadahnya. Zalman mengunci pintu ruang kerjanya, lalu dia pergi ke toilet dan mengambil wudhu, setelah itu menyiapkan alat untuk dia sholat. Ada tempat khusus di pojok ruangannya yang dia buat memang khusus untuknya menunaikan kewajiban sebagai muslim yang taat. "Allahu Akbar ...." *** Setelah sholat, Zalman kembali membuka kunci pintu ruangannya sekalian dia pergi mencari makan siang di luar niatnya agar mendapat suasana baru. Tidak jauh dari kantor, Zalman di antar oleh Akbar ke sebuah restaurant khas dengan masakan serba santan itu. Bersama Akbar mereka makan berdua sambil bercerita tentang wanita yang bernama Ghina. Zalman sangat penasaran dengan wanita itu. "Kenapa gak tanya mas Bara aja, Tuan?" tanya Akbar sambil menyuap nasinya. "Kalau saja Bara tidak cuti menikah, saya akan minta dia mencari Ghina," jawab Zalman. Bara-asistent pribadi Zalman baru saja mengambil cuti nya, pria itu menikah dan berbulan madu. Karena itu Zalman lembur dan akhirnya bertemu Ghina yang sedang kecelakaan malam itu. Seperti sudah ada yang mengatur semuanya. Kalau Bara ada mungkin Zalman tidak perlu lembur dan dia tidak akan bertemu Ghina. Keahlian Bara lainnya dia bisa menemukan orang yang Zalman ingin ketahui keberadaannya. Orang yang Zalman bisa andalan tenaga dan pikirannya. Sayangnya baru lusa pria itu kembali dari bulan madu dan masuk kerja. "Saya tidak sabar nunggu lusa, Bar," ungkap Zalman. Akbar yang di ajak bicara hanya manggut-manggut sambil menikmati rendang daging dan nasi yang sudah bercampur kuah santan dan sambal hijau. *** Sementara itu di sebuah rumah mewah milik Lira. "Aku akan membereskan masalah kamu asal kamu bisa bekerja malam ini, temani Mr.Jansen rapat bersama kliennya," ucap Lira pada Ghina. "Tapi, Mami. Aku-" "Hanya menemani saja, Ghina! Apa susahnya? Mr.Jansen tidak ingin seorang diri. Tapi kalau kliennya menginginkan kamu, sikat aja! Jangan bodoh! Paham?!" potong Lira cepat. "Oh, iya. Kamu lepas itu perban dan tutupi dengan foundation yang tebal, saya tau kamu pintar akan hal itu, bukan? Jangan sampai terlihat," tambahnya. Ghina menghela napas panjang. Lira memaksa Ghina pulang dari rumah sakit karena ada pekerjaan untuk wanita itu. Apa boleh buat, Ghina menerima tawaran itu karena Lira berjanji akan menyelesaikan masalahnya dengan nyonya Yudha. Bagai buah simalakama. Dari pada dia mengganti rugi semuanya mending dia menerima pekerjaan yang baru saja diberikan Lira. "Baiklah, Mami. Aku siap, tapi ingat dengan janji Mami sendiri, Ya. Urusan saya dan nyonya Yudha clear!" "Yes, Darling! Kamu tenang saja." Lira tersenyum lebar dan puas karena Ghina akhirnya menerima pekerjaan yang dia berikan. Karena bayaran dari Mr.Jansen bisa dua kali lipat dari Mr.Yudha kemarin padahal hanya menemani rapat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD