Keluarga Maheer

1029 Words
"Waalaikumsalam, Vin. Kamu di mana sekarang?" balas Zalman sekaligus menanyakan keberadaan sang putra. "Aku di kantin kampus, Pa. Baru selesai makan siang dan mau kembali ke kelas." Di sana Calvin menunjukan suasana keramain kantin kampus dengan kamera ponselnya sambil merapihkan topi dan jaket tebalnya. "Makan siang sama siapa?" "Sama teman-teman, kenapa?" "Belajar yang benar, Calvin! Jangan pacaran terus," nasehat Zalman. "Wahhh si kembar cerita apa, Pa?" Calvin langsung paham kemana arah pembicaraan papanya. Pasti adik sepupunya yang kembar lah yang mengadu kalau dia memiliki pacar baru. Pasalnya tadi pagi keduanya melakukan panggilan dengan video saat Calvin baru tiba di kampus untuk kuliah bersama seorang gadis dan gadis itu berbeda dari gadis yang biasanya. "Si kembar tidak cerita apa-apa, kami sedang makan malam, sudah ya, take care, Assalamualaikum," pamit Zalman. "Awas ya kalian kalau mengadu yang tidak-tidak sama papa, aku pulang ke Indonesia nanti ku jitak!" teriak Calvin sebelum mengakhiri panggilan dari Zalman. Dia tau kalau adik sepupu kembarnya juga ada di sana. Zalman geleng kepala dan terkekeh melihat kelakuan putranya. Walaupun jauh mereka masih bisa berinteraksi, hebatnya teknologi. Pria itu bersyukur dunia semakin maju hingga jarak segitu jauhnya bisa di lewati dengan panggilan video seperti yang baru saja dia lakukan bersama sang putra. "Habiskan makan malam kalian, setelah ini kembali ke kamar dan selesaikan tugas sekolah," titah Zalman tegas. "Iya, Pa." "Siap, Om." Ketiga anaknya kompak menjawab. Zalman menghela napas panjang. Menjadi orang tua tunggal ternyata tidak semudah yang dia kira, terlebih anaknya ada dua. Di tambah anak kakaknya yang kembar. Pria itu tersenyum getir saat mengingat di mana dulu ketika mendiang Katrin masih hidup, bagaimana repotnya wanita itu mengurus ke dua anak yang masih kecil-kecil sedangkan Zalman sendiri sibuk di kantor tanpa mau ikut campur urusan rumah, saat Ketrin meninggal semuanya berbeda. Lima tahun Zalman lalui sebagai orang tua tunggal, bekerja mencari nafkah dan menjadi sosok ibu sekaligus menggantikan Katrin mengurus anak-anaknya di rumah. Jangan tanya lelahnya Zalman selama lima tahun ini seperti apa. Sampai dia tidak ada pikiran untuk mencari istri baru, ibu sambung untuk ke empat anaknya. Dia juga tidak mau mencari istri hanya untuk mengurus anak-anak kalau untuk itu dia bisa menyewa pengasuh pikirnya. Tapi dua tahun terakhir ini Zalman mulai mencari istri yang dia cintai dan mencintai dirinya bersama ke dua anaknya, istri soleha dan ibu sambung yang baik. Tapi nyatanya sulit. Banyak wanita yang mendekati Zalman hanya mencintai dirinya tapi tidak mau menerima ke dua anak-anaknya. *** "Alhamdulillah." Zalman mengucap syukur saat dia berbaring di atas kasur empuknya. Tidak lama setelah itu, wajah manis Ghina terbesit di benaknya. Apa kabar wanita itu? Sedang apa dia saat ini? Mengapa seketika Zalman merindukannya? Rindu senyumnya, tawanya dan cerita-ceritanya. "Astagfirullah." Pria itu mengusap wajahnya kasar. Mengingat wanita lain yang bukan istrinya itu tidak baik. Tapi Zalman tidak bisa pungkiri dia memang sedang memikirkan Ghina saat ini, ingin menghubunginya tapi dia lupa minta nomer ponselnya. Wanita itu juga tidak menghubunginya, walau hanya sekedar mengirimnya pesan. Zalman memandangi ponsel yang baru saja dia ambil di atas nakas dekat kasurnya. Berharap masuk salah satu di antara daftar pesan yang baru masuk ada nomer asing dari Ghina. Tapi nihil, semua pesan yang baru masuk ke ponselnya malam ini tidak ada nomer asing, semua nomer atas nama karyawannya. Zalman menghela napasnya kasar, kecewa. *** Di rumah sakit, setelah makan malam dan ada seorang dokter yang datang untuk memeriksanya, Ghina mengambil ponsel. Di tatapnya ponsel pintarnya itu, perlahan jemarinya mencari di daftar kontak nama Zalman tapi tidak ada di daftar urut huruf 'Z', wanita itu akhirnya mencari dari atas daftar huruf 'A' mungkin saja pria itu menyimpannya dengan nama 'Alman', tapi lagi-lagi nihil. Hingga akhirnya Ghina terkekeh saat melihat nama yang tertera di sana 'Tuan Z'. Ternyata pria itu menyimpannya dengan nama tersebut, lucu sekali. Ternyata Zalman memiliki sisi humor juga, pikir Ghina. Jemari lentik Ghina mengetik beberapa kalimat pendek, tapi jemari itu seketika terdiam saat ingin menekan kata kirim, akhirnya Ghina menghapus ketikannya itu. "Sudah malam, dia pasti sedang bersama keluarganya, apa kata istrinya jika ada wanita lain yang mengirim pesan ke ponsel suaminya." Ghina bermonolog sambil memutar ponsel dengan kedua tangannya. Berpikir keras dan memposisikan diri jika dia seorang istri, dia tidak ingin ada wanita lain mengusik mereka terlebih di malam hari saatnya bersama keluarga setelah seharian di luar. Ghina mengigit bibir bawahnya, kemudian dia meletakan kembali ponselnya ke atas nakas dan tidak lama dia tertidur. *** Pagi-pagi sekali Zalman susah rapih dengan pakaian kerjanya, kemeja, celana panjang, jas dan sepatu hitam yang selalu mengkilat. Senyum Zalman mengembang sambil memasang jam tangannya. Entah mengapa pagi ini hatinya senang, apa karena akan bertemu dengan seorang wanita? Ghina? Setelah berkaca Zalman keluar kamarnya dan menemui putri dan dua keponakannya yang sudah duduk di tempatnya menikmati sarapan tanpa menunggu Zalman. Karena bus sekolah mereka akan tiba lebih pagi jadi mereka harus lebih dulu berangkat. "Selamat pagi," salam Zalman, pria itu langsung duduk di kursinya. "Pagi, Pa." "Pagi, Om." Ketiganya kompak membalas salam dari Zalman. Tapi tidak lama suara klakson bus sekolah berbunyi, memanggil penumpangnya. Kila, Gana dan Gani langsung berpamitan pada Zalman. Mencium punggung tangan sang ayah serta pipi sudah menjadi kebiasaan keluarga Maneer. "Belajar ya," ucap Zalman dengan sedikit berteriak sebelum ketiga anaknya benar-benar keluar dari rumah. Semua mengangguk. Kila yang sedang duduk di bangku SMA satu tempat sekolah dengan SD si kembar. Gedung sekolah terkenal sangat lengkap di mulai dari KB, TK, SD, SMP, SMA. Calvin pun sejak KB sudah bersekolah di sana hingga lulus dan kuliah di Jerman. Zalman mempercayakan pendidikan anak-anaknya pada sekolahan tersebut. Dimana dulu mendiang Katrin juga alumni sekolah tersebut. Rumah kembali hening saat semua sudah berangkat sekolah, tinggal Zalman yang tengah meningkat sarapannya, secangkir kopi s**u dan roti bakar sambil memainkan ponselnya memeriksa pesan dan email sudah menjadi rutinitas Zalman. Ditemani Mbok Surti dan Mbok Kayum yang membereskan meja makan dari piring bekas anak-anak majikannya. "Saya berangkat dulu," pamit Zalman pada asistent rumah tangganya setelah sarapannya selesai. "Iya, Tuan. Hati-hati di jalan," sahut Mbok Kayum kemudian dia menyusul sambil berlari kecil mendahukui Zalman untuk membukakan pintu depan rumah. "Makasih, Mbok." Zalman menepuk pundak Mbok Kayum kemudian masuk ke dalam mobil yang baru saja di bersihkan oleh Akbar. "Jalan, Bar. Kita ke rumah sakit dulu," titah Zalman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD