Club Malam

1034 Words
Dari sore Ghina sudah bersiap dan tampil cantik, selain menutupi bekas lukanya dengan foundation tebal, wanita memakai poni hingga menutupi keningnya menyamarkan. Baru kali ini dia menggunting rambut dan membuatnya poni, terlihat tambah manis dan imut tanpa mengurangi seksi dari tatapan mata dan bibirnya. Dengan pakaian sedikit formil namun masih seksi, Ghina menunggu mobil yang katanya akan tiba dalam waktu 5 menit untuk menjemputnya di lobby apartement. Tin! Klakson semua mobil mewah berbunyi mengisyaratkan kalau mobil itu datang menjemput Ghina. Dengan kaca hitam yang terbuka sedikit Ghina dapat melihat siapa yang duduk di dalam. Mr.Jansen jauh lebih tampan aslinya dibandingkan pada foto yang mami berikan. "Selamat malam," salam Ghina setelah dia masuk ke dalam mobil itu. "Selamat malam juga, Ghina. Kamu ternyata sangat cantik," puji Jansen. "Terima kasih, Anda juga terlihat tampan," balas Ghina dengan senyum terbaiknya. Sepanjang jalan Ghina hanya terdiam karena Jansen sibuk dengan laptopnya dan dia tidak akan mengganggu pria itu jika seperti itu. Tapi sampai saat ini wanita itu masih memiliki tanda tanya besar. Untuk apa dia di bayar jika hanya untuk menemaninya rapat saja? Apa pria itu tidak memiliki sekretaris pribadi yang bisa menemaninya? "Aku bayar kamu mahal bukan tanpa sebab, Ghina." Deg! Ghina merasa Jansen bisa membaca apa yang ada dipikirkannya saat ini. Menyeramkan. "Itu yang kamu pikirkan, benar?" tambahnya. Ghina tersenyum tipis, "Bagaimana Anda bisa tahu, Mr.Jansen?" Bukannya menjawab pertanyaan Ghina, pria itu malah terkekeh sambil menutup laptopnya dan memutar posisi duduknya hingga menghadap Ghina, satu tangannya merangkul pundak wanita itu dan mengusapnya lembut. "Begini, hari ini saya ada rapat dengan pengusaha besar membicarakan proyek besar dan saya ingin kamu merayu CEO perusahaan itu agar menerima pengajuan dari saya dan jika perusahaan saya mendapat proyek itu maka saya akan membayar kamu dua kali lipat dari yang sudah saya transfer ke Lira," ungkap Jansen. 'Licik, ternyata niat Jansen seperti itu.' Bathin Ghina. Tapi mau bagaimana lagi, mau tidak mau Ghina harus melakukan tugasnya karena bayarannya sudah masuk ke rekening Rere dan tadi sebelum berangkat sang mami sudah mentransfer bayaran Ghina tersebut. *** Di sebuah Club ruang VIP yang Jansen sewa sudah siap, pria itu pun sudah duduk rapih bersama Ghina disebelahnya. Dia memang sengaja datang lebih awal karena tidak ingin perusahaannya di nilai jelek karena terlambat saat rapat. "Apa rapatnya masih lama?" tanya Ghina ragu. "Kenapa?" "Boleh saya ke toilet dulu?" Jansen mengangguk. Ghina langsung berdiri membawa tas-nya dan pergi dari sana. Toilet ada di luar ruangan itu. Ghina merapihkan riasannya dan memastikan kalau lukanya masih sempurna tertutup. "Ouch!" pekik Ghina saat dia keluar dari toilet dan menabrak seorang pria. "Ghina?" Deg! Jantung Ghina berdetak tidak karuan saat mendengar suara itu. Kedua mata Ghina membulat sempurna saat melihat siapa pria yang baru saja bertabrakan dengannya. "M-mas Zalman?" Rahang Zalman mengeras dan dia langsung menarik lengan Ghina ke sebuah tempat yang lebih sepi. "Mas, lepas! Tangan saya sakit!" keluh Ghina. Zalman melepas lengan Ghina dan meminta maaf. "Kenapa kamu keluar dari rumah sakit?" Bukan itu yang sebenarnya ingin Zalman tanyakan tapi mengapa bibirnya bertanya hal itu. "Karena saya merasa sudah sembuh, untuk apa lama-lama di rumah sakit?" Ghina bertanya balik. "Lalu ngapain kamu disini?" "Kerja, apa lagi?" "Kenapa kamu gak hubungi saya? Saya bisa kasih kamu kerjaan yang lebih baik dari ini." Ghina menggeleng. Kening Zalman menyernyit dalam melihat penolakan Ghina. Kenapa wanita itu malah memilih melanjutkan pekerjaannya menjadi wanita malam dari pada menjadi wanita kantoran. "Saya tidak punya pilihan lain, Mas. Mami Lira tidak akan mengijinkan saya keluar dari pekerjaan ini," tutur Ghina, mengadu pada pria tampan yang selalu menjadi malaikat pelindungnya. "Bukan itu alasannya, tapi diri kamu sendiri yang tidak mau keluar dari dunia malam ini, kamu menikmati jadi wanita malam, iya 'kan?" tuduh Zalman geram, rahangnya mengeras dan tangannya mengepal. Sontak mata Ghina memanas mendengar ucapan Zalman. Ghina mengusapnya cepat sebelum air matanya jatuh di pipi. "Maaf, saya harus pergi. Klien saya sudah menunggu." Ghina pergi meninggalkan Zalman yang terpaku di tempatnya. Terdiam menatap punggung Ghina dari belakang hingga wanita itu menghilang masuk ke dalam sebuah ruang VIP. "Pak Zalman," tegur salah satu karyawannya yang baru saja keluar dari toilet pria. "Sudah?" tanyanya. Dan pria itu mengangguk. "Katanya mereka menunggu di ruang VIP, Pak." "Ruang VIP?" ulang Zalman. "Iya, Pak. Ruangannya ada di sebelah sana." Tunjuk pria itu. Ruang yang sama dengan ruang yang baru saja Ghina masuki. Kenapa wanita itu masuk ke dalam sana? Pikir Zalman. "Selamat malam." Ghina terkejut saat Zalman masuk bersama beberapa orang yang Ghina tebak adalah karyawan pria itu. "Selamat malam, Pak Zalman." Jansen dan Zalman saling berjabattangan. Begitu juga Dengan Ghina, wanita itu ikut berdiri dan berjabattangan dengan Zalman. Tahu posisinya, Ghina tidak banyak bicara dia hanya diam sesekali mendukung apa yang Jansen ucapkan. "Pak Zalman bisa mempelajari lebih lanjut berkas pengajuan dari perusahaan kami," ucap salah satu karyawan Jansen. "Jika Anda perlu teman untuk membantu memeriksa berkas itu, maka Ghina siap membantu, bukan begitu?" timpal Jansen sambil melirik Ghina. Ghina kesulitan menelan saliva-nya. "Iya, Pak. Saya akan temani Anda kapanpun Anda butuhkan," sahut Ghina akhirnya wanita itu bisa berbicara dengan lancar. "Baiklah kalau begitu, saya sendiri yang akan memeriksa berkas ini berdua saja dengan Ghina di apartementnya, bagaimana?" tanya Zalman. "Ya, ya, tentu saja bisa. Saya paham kalau Anda membutuhkan ketenangan dan apartement Ghina saya rasa cukup tenang." Jansen tersenyum licik sambil melirik Ghina. Bagaimana bisa dia bilang apartement Ghina tenang secara dia sendiri belum pernah masuk kedalamnya. *** Sepanjang jalan tidak ada yang memulai peecakapan di dalam mobil milik pengusaha sukses itu, Akbar pun ikut diam membisu. "Ehem!" dehaman Zalman memecah keheningan. "Jadi Mr.Jansen sering ke apartement kamu?" selidik duda beranak empat itu. Kepala Ghina menggeleng cepat. "Saya bahkan baru mengenalnya malam ini, dia meminta saya menemaninya katanya dia ada proyek besar dan agar bisa gol saya harus merayu CEO perusahaan itu, apa selalu seperti itu cara kerja kalian?" sindir Ghina di akhir kalimatnya. Entah mengapa dia merasa kecewa saat tahu kalau CEO itu adalah Zalman. Ghina pikir Zalman pria yang berbeda, tapi nyatanya sama saja. Dia melakukan rapat di tempat yang tidak wajar, sebuah Club dimana mayoritas orang malam yang haus akan hiburan berada. Dan semalam ini apa anak-anaknya tidak mencarinya? Atau dia tidak perduli sama sekali dengan anak-anaknya? Itu yang saat ini Ghina pikirkan tentang Zalman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD