CHAPTER 4

2344 Words
Aleta keluar dari ruangan dengan senyum yang mengembang. Ia tidak percaya bahwa Fabian ternyata mencintainya. Awalnya ia pikir ini adalah mimpi, tapi ternyata tidak. Ini semua sangat nyata. Hatinya terasa sangat berbunga-bunga. Sekarang, yang harus mereka lalui adalah status yang membelenggu mereka. Aleta yakin hubungannya dengan Fabian ke depannya tidak akan berjalan lancar. Aleta janji, ia akan melakukan segala cara untuk hidup di sisi Fabian. “Jangan melamun!” Aleta tersentak dan menoleh ke arah Alena yang ternyata belum pulang. “Kak Aleta mau ke mana?” tanya Alena saat melihat Aleta berjalan ke luar dari ruangannya. “Ke apartemen teman,” jawab Aleta bohong. Karena tidak mungkin ia mengatakan akan ke apartemen Fabian. Ia tidak ingin dibuat sebagai bahan bullian Alena. Alena manggut-manggut sambil tersenyum geli. Sepertinya gadis itu tahu kebenarannya. “Nggak mau diantar?” Aleta senyum-senyum sendiri dan menggeleng, kemudian ia keluar dari ruangan. “Kak, jangan lupa nanti ke rumah,” teriak Alena. “Oke,” balas Aleta sambil mengacungkan jempolnya. ♥♥♥ Setelah membayar ongkos taksi, Aleta berjalan ke apartemen Fabian dan ia masuk ke dalam setelah menekan password apartemennya. Setibanya di dalam, ia melepaskan heels-nya dan merebahkan dirinya di sofa Fabian. Ia sangat merindukan apartemen ini. Dulu, di sinilah ia berada saat kesedihan dan kesakitan hatinya melanda. Dan selalu ada Fabian yang menenangkannya. Ia jadi rindu saat-saat itu. Rasanya ia ingin mengulang waktu dan memulainya sejak dulu. Drt... Dengan malas Aleta merogoh ponselnya dan meletakkannya di telinga tanpa melihat siapa yang menelepon. “Halo...” “Sayang...” Setelah mengtahui siapa pemilik suara itu, tubuh Aleta langsung tegang dan tegak. “Kenapa kamu menghubungiku?” Terdengar tawa dari seberang sana. “Tentu saja karena aku merindukanmu.” “Jangan pernah menghub―” “Aku akan ke Indonesia.” Tit... Aleta langsung memutuskan sambungannya dan napasnya ia hembuskan dengan berat. Ia tidak tahu harus menyebut apa lelaki gila itu. Ia terus menghantui Aleta sejak dirinya berada di Jerman. Laki-laki itu semacam penguntit. Dan sekarang apa? Lelaki itu berencana ke Indonesia untuk mengikutinya? Astaga, Aleta harus secepatnya menyewa bodyguard. Jujur ia agak takut dengan lelaki itu―melihat ia pernah berusaha menculik Aleta. Terlebih apa yang pernah dilakukan lelaki itu terhadapnya, membuat ia semakin takut. “Kamu sudah di sini.” Lamunan Aleta buyar, dan ia melihat Fabian yang baru saja memasuki apartemen. Fabian kemudian berjalan ke arah Aleta dan memberikan kecupan ringan di bibir Aleta. “Terjadi sesuatu? Kenapa wajahmu seperti itu?” Aleta tidak menjawab. Tidak mungkin ia memberitahu Fabian mengenai lelaki gila itu. Apalagi hubungannya baru saja dimulai. Biarkan saja sudah. “Aku cuma lelah.” Kemudian ia bangkit dan memindahkan posisi duduknya di pangkuan Fabian. “Istirahatlah, aku tidak ingin kesehatanmu terganggu.” Fabian menyentuh pundak Aleta. Aleta menggelengkan kepalanya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Fabian. “Aku menginginkanmu,” bisiknya seksi, kemudian ia mendaratkan bibirnya di bibir Fabian. Disaat ciuman mereka berpagutan, tangan Fabian dengan lincah membuka pakaian Aleta, walaupun sulit, tapi ia berhasil. Tidak ingin terburu-buru, Fabian memilih untuk bermain-main dengan Aleta. Ia membuka bra Aleta dan memperlihatkan p******a Aleta yang sangat pas di genggamannya. “Sialan...” erang Aleta ketika tangan Fabian sudah meremas payudaranya. “Bi... cukup!” Pagutan mereka terlepas, dan Fabian tersenyum jahil kepada Aleta. Kemudian ia membenamkan dirinya di d**a Aleta dan memberikan kecupan-kecupan di p******a Aleta. Aleta mendesah, iabersusah payah melepaskan kepala Fabian dari dadanya. “Aku ingin kamu memasukiku sekarang,” pinta Aleta, ia terlihat murahan. Masa bodoh dengan itu semua. Ia sangat ingin menjadi milik Fabian saat ini. Fabian tersenyum, kemudian menggendong Aleta ke kamarnya. Ia merebahkan tubuh Aleta dan melepaskan semua pakaian Aleta hingga berhasil menampilkan tubuh polosnya yang indah.Setelah melepaskan pakaian Aleta, Fabian juga melepaskan pakaiannya dan mulai menindih Aleta. “Kamu siap?” Tanya Fabian. Ia tidak ingin tergesa-gesa. Aleta mengangguk dan langsung mencium bibir Fabian dengan rakus. “Agh...” Pekikan Aleta terdengar nyaring di telinga Fabian. Fabian yang mencium Aleta sedang berusaha semaksimal mungkin untuk menembus penghalangnya. Dan, Fabian pun berhasil. Sekarang, Aleta adalah miliknya. ♥♥♥ Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore dan sinar matahari yang masih bersinar sedikit membuat Aleta bangun dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata dan merasakan sebuah tangan yang melingkar di perutnya. Aleta membuka matanya lebar dan ia langsung bertemu dengan wajah tampan Fabian yang tidur dengan damai. Aleta tersenyum serta merasa bahagia dengan apa yang sudah mereka lakukan. Benar-benar sangat luar biasa nikmat. Aleta berniat bangun, tapi junior Fabian masih berada di dalamnya. Tanpa mengeluarkan sebuah erangan, Aleta berusaha melepaskannya. Dan ia berhasil. Gila memang. Aleta pun berjalan ke kamar mandi tanpa sehelai benang yang ada di tubuhnya. Setengah menit kemudian ia keluar dengan handuk yang meliliti tubuhnya. Sekarang yang perlu ia lakukan adalah menggunakan pakaiannya. Karena pakaiannya kotor, Aleta pun menggunakan kemeja putih kebesaran milik Fabian dan sebuah boxer hitam. “Mandilah,” pinta Aleta pada Fabian yang baru saja bangun. Fabian tidak menggubrisnya dan memilih untuk melanjutkan tidurnya. Aleta kesal. Ia pun berjalan ke ranjang dan duduk di samping Fabian. “Mandilah dan antarkan aku ke rumah.” “Ehm...” “Bi―” Panggilan Aleta terhenti karena Fabian sudah memindahkan posisi tidurnya di paha Aleta. “Biarkan aku tidur sejam lagi.” Ia memang sangat lelah dan membutuhkan waktu yang banyak untuk istirahat. Dan paha Aleta adalah tempat ternyamannya. Aleta pun menyerah dan membiarkan Fabian tidur lagi. ♥♥♥ “Mama bilang, kamu juga harus turun. Kita akan makan bersama, dan temani aku di sana. Aku tidak mau bosan karena mereka pasti akan membahas pernikahan Alena. Itu tebakanku." Fabian hanya mengangguk pelan dan kembali fokus ke kemudinya. Saat ini, mereka sedang berada di jalan menuju rumah Aleta. Mereka agak terlambat karena tadi Fabian masih enggan membiarkan Aleta turun dari ranjangnya. Seharusnya mereka hanya memainkan ronde satu kali―mengingat Aleta baru saja kehilangan keperawanannya. Tapi bukan salah Fabian jika melakukannya lagi, salahkan Aleta yang terus-menerus menggodanya dengan tubuh seksinya. Bukan hanya itu alasan mengapa mereka terlambat, alasan lainnya adalah Fabian harus keluar untuk membelikan pakaian yang akan digunakan Aleta. Dan ia merasa beruntung pakaian itu pas di tubuh indah Aleta, meskipun ia harus menahan malu ketika membeli sepasang dalaman untuk Aleta. Beberapa menit kemudian mereka tiba di perkarangan rumah Aleta. Mereka lalu turun dari masing-masing pintu dan berjalan ke dalam rumah dengan langkah yang ringan. Saat mereka memasuki ruang tengah, mereka melihat keluarga Steven termasuk William ada di sana. “Halo, tante...” Emily yang tadi sibuk dengan undangannya, menoleh dan tersenyum senang ketika melihat kedatangan Aleta. “Aleta...” serunya sambil berdiri dan memeluk tubuh Aleta dengan erat. “Kenapa nggak main ke rumah setelah kembali?” Aleta hanya tersenyum.“Maaf, Te. Pekerjaan Aleta banyak di hotel," jawabnya. Emily manggut mengerti dan mengusap puncak kepala Aleta lembut. “I’ts okay, oh iya, Tante akan memberitahukanmu sesuatu.” Aleta mengernyitkan keningnya. “Apa Tante?” “Sebentar...,” ujar Emily, lalu berbalik dan mengambil contoh undangan berwarna hitam dan biru yang menurut Aleta sangatlah elegant. Aleta penasaran dengan apa yang akan Emily lakukan, ia kemudian melihat raut wajah Alena dan Steven. Kedua orang itu memasang wajah yang datar dan sendu ke arah Aleta. Lalu William? Raut wajahnya tidak sama berbeda dengan kedua sejoli itu. “Menurutmu mana yang bagus?” Pertanyaan Emily membuat Aleta tersentak. “Ehm, ini, Te. Putih dan elegant, tapi terserah Tante sih.” “Benarkah? Tante juga berpikir begitu. Kalau begitu ini akan menjadi undangan pernikahanmu dan yang biru akan menjadi undangan pertunanganmu.” Aleta sontak mengernyitkan keningnya bingung, pernikahan? Pertunangan? Tunggu dulu. Apa maksud semuanya? “Maksud Tante apa? Memangnya aku akan menikah dengan siapa?” Emily tersenyum bangga dan mengusap lembut pipi Aleta. “Dengan William. Kalian sudah kami jodohkan.” What the hell?! Apa? Tunggu dulu. Ini mimpi, kan? Jadi mereka meminta Aleta ke rumah ini hanya untuk perjodohan? Dengan William? Astaga, Aleta ingin tahu ide gila siapa ini. Disaat Aleta masih terkejut dengan apa yang ia dengar, ia melirik ke arah Fabian yang duduk di samping Alvaro. Dan pria itu tampak ... terkejut? “Tu-tunggu dulu, Aleta nggak paham. Jadi maksudnya, kalian berencana menjodohkan Aleta dengan William? Ide siapa ini?” Oh astaga, ini zaman modern. Kenapa masih ada saja cara gila seperti ini?! “Ini ide Mama dan Tante Emily. Kami sudah lama membahasnya saat kamu ada di Jerman, sayang.” Ini benar-benar gila. Bagaimana bisa orangtuanya melakukan ini kepadanya? Ia dijodohkan? Astaga, sekarang bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Ini sudah zaman modern―dimana sudah seharusnya perjodohan itu dihapuskan dari dunia ini. Ini benar-benar ada di luar prediksi Aleta. Sudah pasti ia akan menolaknya, secara ia sudah memiliki Fabian. Ia sudah menjadi milik Fabian seutuhnya. Aleta meremas pakaiannya keras, dan Fabian menyadari hal itu. Ia hanya menatap datar wajah terkejut Aleta. Aleta mundur selangkah. Kenapa selalu ia yang sial dalam urusan percintaan? Kenapa orangtuanya selalu mengambil keputusan yang tidak pernah mereka tanyakan terlebih dulu ke Aleta? Mengapa? Dulu juga mereka melakukannya saat mereka memutuskan untuk mendukung cinta Steven dan Alena. Kenapa seperti ini? Kenapa selalu Aleta yang selalu diduakan? Kenapa? Aleta tidak habis pikir. “Kenapa? Kenapa kalian selalu mengambil keputusan di belakangku?” Semua mata kini tertuju ke arah Aleta yang entah bagaimana sudah menjauh dari mereka. “Sayang, ini sudah waktunya bagimu untuk meni―” “Menikah? Ma, Aleta mau nikah sama orang yang Aleta suka, bukan nikah dengan orang yang cuma Aleta anggap sahabat.” Semuanya terdiam. Wajah William terlihat sedih. Aleta segera menyesali perkataannya, tapi ia memang harus mengatakan itu. “Aku nggak paham dengan keluarga ini.” Verina dan Arsen mengerutkan keningnya tidak mengert. “Apa maksudmu, Leta?” tanya Verina tidak mengerti dengan perkataan yang Aleta ucap. “Maksud aku, kalian selalu mengambil keputusan yang tidak pernah aku suka. Kenapa hanya aku? Kenapa kalian tidak melakukannya kepada Alena? Kenapa? Apa hanya karena Alena lemah? Apa hanya karena dia yang selalu kalian pentingkan? Seharusnya kalian memikirkan perasaanku! Aku benci dengan keluarga ini, aku benci dengan statusku sebagai keluarga Lachowski!” Prank Aleta langsung membuang vas bunga yang ada di meja kecil, yang tepat berada di sampingnya itu. Semua orang terkejut bukan main, bahkan Arsen sudah berdiri untuk menenangkan putrinya itu. Namun, langkahnya terhenti karena Aleta sudah berlari keluar dari rumah dan masuk ke mobil Audy-nya. Ia membuka kunci mobil dengan kunci cadangan yang selalu ia bawa, kemudian ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang tinggi. “Aleta....” Terlambat, Aleta sudah pergi. Dan Arsen menarik rambutnya frustrasi. Jika saja semua ini akan terjadi, seharusnya ia melarang Verina dan Emily yang berniat menjodohkan Aleta dengan William. Arsen tampak frustrasi dan kembali ke ruang tengah. Ia melihat kilas ke arah Verina yang tampak menegang di samping Alena. “Puas? Kamu sudah membuat Aleta hancur.” Lalu, ia berlari ke kamarnya. Sedangkan Reno dan Emily, mereka hanya terdiam dan merasa bersalah. Lalu Fabian, pria itu mengembuskan napasnya, dan dering ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Ia merogoh ponselnya dan melihat pesan yang masuk. Ia terkejut saat melihat nama Aleta di layarnya. Ia pun membuka pesan itu. From : Aleta Aku akan ke apartemenmu. Fabian menghela napas lega, ia kemudian berdiri. “Kak, jangan khawatir. Aleta ada di apartemenku.” Verina menoleh ke arah Fabian. “Sukurlah, aku mohon jaga dia, Bi.” Fabian mengangguk mengerti. “Alena, bisakah kamu menyiapkan pakaian dan alat yang dibutuhkan Aleta?” Alena mengangguk dan berjalan ke kamar Aleta yang berada di lantai dua. Setelah beberapa menit, Alena turun dan memberikan sebuah tas sedang yang berisi peralatan kebutuhan Aleta kepada Fabian. “Aku akan mengabari Kakak ketika aku sudah ada di sana,” ujar Fabian. Verina mengangguk lemah dan membiarkan Fabian keluar dari rumah itu. Disaat semua orang tampak bersalah, William menghela napasnya seraya melihat punggung Fabian yang menghilang. ♥♥♥ Mobil Aleta sudah terparkir dengan sempurna di parkiran. Ia turun dan masuk kedalam apartemen Fabian yang berada di lantai sepuluh. Ia keluar dari lift dan langsung menekan tombol password apartemen Fabian. Setelah menutup pintu, ia melepaskan pakaiannya dan membiarkannya berserakan di ruang tengah. Ia kemudian berjalan ke kamar Fabian dengan hanya menggunakan dalaman dan mengambil kemeja hitam kebesaran milik Fabian. Ia menggunakannya dan kembali ke ruang tengah. Kemudian, ia berjalan ke arah sofa dan meringkuk sendirian di sana. Tidak membutuhkan waktu sampai lama untuk Fabian tiba di sana. Ia memasuki apartemennya dan terkejut melihat pakaian yang tadi digunakan Aleta berserakan. Ia menghembuskan napas dan berjalan memunguti pakain itu dan meletakkannya di tempat pakaian kotor. Lalu, ia berjalan ke arah Aleta dan berjongkok di hadapan gadisnya itu. “Mau makan? Kamu belum makan tadi.” Aleta mengangguk lemah. Kemudian Fabian berdiri dan berjalan ke dapur untuk membuatkan makanan kesukaan Aleta. Ia membuatnya secepat mungkin, tetapi masih terbilang enak karena ia memang memiliki bakat sebagai seorang chef profesional. Setelah menyajikannya, ia berjalan ke arah Aleta dan duduk di samping gadis itu. Sekarang, keduanya saling berhadapan. “Ingin kusuapi?” tanya Fabian lembut. Aleta mengangguk. Kemudian Fabian memutar spageti dengan garpu dan menyuapnya kedalam mulut Aleta. Mereka terus melakukan hal itu sampai tidak ada yang tersisa di piring itu. Fabian pun meletakkan piring itu ke meja dan memberikan Aleta segelas minuman. Aleta menenggaknya dan memberikannya kembali ke Fabian. Lalu Fabian meletakkannya di meja. “Aku benci mereka...,” seru Aleta setelah sekian lama mereka diam di dalam keheningan. “Aku tahu,” jawab Fabian. Aleta mendongak dan kedua matanya berhadapan dengan kedua mata indah milik Fabian. “Kamu berbeda.” “Apa maksdumu?” Fabian bertanya. “Semuanya, kamu seperti bukan seorang Lachowski.” Fabian mengembuskan napasnya, jemarinya bergerak ke pipi Aleta dan mengusapnya dengan lembut. “Kamu harus istirahat. Aku nggak mau semua masalah ini buat kamu terganggu. Anggap semuanya angin lalu, em?” Aleta menggelengkan kepalanya, kemudian ia mendekatkan tubuhnya ke arah Fabian hingga posisi mereka berubah. Sekarang Aleta berada di atas Fabian. Lalu, wajahnya ia dekatkan ke arah Fabian dan mengecupnya kilas. Jemari Aleta bergerak membuka kemeja Fabian, dan bibirnya mulai bermain dengan bibir Fabian. Aleta terlihat seperti gadis nakal saat ini. Tapi ia tidak peduli. Ia menginginkan Fabian malam ini. Ia menginginkan milik Fabian berada di dalamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD