CHAPTER 5

1636 Words
PUKUL enam pagi. Aleta terbangun dari tidur nyenyaknya ketika ia merasakan perutnya yang lapar akibat aktivitas yang sudah ia lakukan dengan Fabian semalam. Ia turun dari ranjang dan mengenakan kemeja milik Fabian lagi. Ia tidak tahu mengapa, tapi kemeja Fabian sangat nyaman ia gunakan. Setelah mencuci wajahnya dengan facial foam, ia keluar dari kamar dan berjalan ke dapur untuk membuat makanan yang kiranya bisa mengisi ulang tenaganya. Ia mengambil beberapa sayuran yang akan ia gunakan untuk membuat nasi goreng. Setelah bahan yang diperlukan tersedia, ia mulai memasukkannya ke frypan.Tidak butuh waktu lama untuk membuat nasi goreng yang lezat. Ia pun menyajikannya dan membawa nasi goreng itu ke ruang tengah. Ia menyalakan televisi dan memakannya dengan perlahan. “Kamu membangunkanku.” Aleta menoleh ke belakang dan menemukan Fabian yang hanya menggunakan boxer-nya. “Aku tidak membangunkanmu,” ujar Aleta kemudian mengalihkan perhatiannya lagi ke televisi. Sedangkan Fabian, ia berjalan ke arah Aleta dan duduk di sampingnya. “Kamu nggak mau nemuin mereka? Kakak khawatir.” Aleta terdiam. Untuk sekarang ia tidak memiliki niatan untuk bertemu dengan orangtuanya. Faktanya, rasa sakit di dadanya masih terasa. Lagipula mungkin bagi mereka, masalah ini tidak terlalu dibuat sulit. Aleta juga begitu. Aleta menggeleng, kemudian ia meletakkan piringnya di meja dan merebahkan kepalanya di paha Fabian. “Aku boleh nggak kerja?” Fabian menggelengkan kepalanya.“Kamu harus kerja, karena bisa saja aku membutuhkanmu,” ujarnya. Aleta berusaha mengalihkan pembicaraan, jadi ia juga harus ikuti itu. Aleta tahu maksud dari perkataan Fabian. “Aku mau pergi ke suatu tempat nanti, bisakah aku terlambat sekitar satu jam?” Fabian diam. Ia ingin bertanya kemanakah Aleta akan pergi. Tapi itu sama saja ia akan merusak masalah pribadi Aleta. Jadi ia hanya mengangguk, tanda ia setuju akan keterlambatan Aleta. ♥♥♥ Aleta memarkirkan mobil Audy-nya di parkiran kafe yang sering ia datangi bersama Alena. Ia turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam kafe. Ia melirik-lirik setiap pengunjung untuk menemukan orang yang akan ia temui. Dan ia menemukannya. Lelaki itu sedang duduk di pojokan dan sedang menyesap kopi hangatnya.Aleta pun berjalan ke arahnya dan langsung duduk di hadapannya. “Maaf membuatmu menuggu.” “Tidak apa, lagipula aku baru tiba,” jawab pria yang tak lain dan tak bukan adalah William, seseorang yang akan dijodohkan dengannya. “Kita langsung ke intinya saja, kamu tahu sendiri aku malas basa-basi.” William mengangguk mengerti. “Aku sudah bilang ke Mama untuk membatalkan perjodohan kita.” Aleta mengerti. “Dan kurasa, kamu hanya perlu membujuk orangtuamu.” “Haruskah?” tanya Aleta. Ia tidak yakin Verina bisa dibujuk. William mengangguk. “Masalah tidak akan selesai kalau cuma satu pihak yang menyelesaikannya.” Aleta mem-pout-kan bibirnya. “Kamu bijak juga. Baiklah, aku akan membicarakannya dengan mereka.” William tersenyum. Sebenarnya ia menyetujui perjodohan itu, tapi melihat kesedihan di mata Aleta saat itu, membuat pikiran William berubah. Ia tidak mungkin bahagia diatas penderitaan orang lain. “Maaf, Willi.” “Tidak apa-apa, aku tahu kamu dan Fabian punya hubungan sekarang.” Aleta mendongakkan kepalanya terkejut .“Kamu mengetahuinya?” William mengangguk. “Aku memaksa Steven memberitahuku saat aku mengupingnya berbicara dengan Alena.” Keheningan kemudian menyelimuti mereka. Aleta tidak tahu harus mengatakan apa dan melakukan apa lagi. “Ingin ke pantai?” tawar William tiba-tiba. Aleta ingin menolak, tapi mungkin dengan mengikuti William, maka hati pria itu akan lebih baik. Akhirnya Aleta mengangguk dan mereka pun pergi ke pantai untuk menenangkan pikiran mereka. Setidaknya itu membuat mereka merasa bahagia walaupun hanya sebentar. ♥♥♥ Tidak ada yang lebih menyebalkan bagi Fabian selain menunggu kedatangan Aleta. Gadisnya itu terlambat selama dua jam. Dua jam? Rasanya Fabian ingin mencari tahu di mana gadisnya itu berada. “Kenapa kamu ada di sini?” Fabian yang sedang duduk di kursi kerja Aleta, menoleh dan menemukan Aleta yang sedang menggantung cardigan-nya di tempat gantungan. “Kamu dari mana?” Aleta hanya mengedikkan bahu, tanda bahwa ia enggan menjawab pertanyaan Fabian. Ia berjalan ke arah Fabian dan duduk di pangkuan pria itu. “Aleta, aku menanyakanmu!” “Diamlah, Bi,”ujar Aleta, kemudian ia menatap mata indah milik Fabian. “Turun!” Aleta melebarkan matanya tidak percaya, apakah sekarang Fabian marah kepadanya? Astaga, kekanakan sekali. “Kamu marah?” “Nggak, aku harus rapat,” jawab Fabian kemudian menurunkan Aleta dari pangkuannya. Ia kemudian mengambil jas yang disampirkannya di kursi Aleta dan keluar dari ruangan Aleta. Aleta yang melihat hal itu hanya bisa menatap kepergian Fabian dengan kebingungan. Bagaimana bisa Fabian marah hanya karena ia terlambat dan tidak memberitahu kemana ia pergi. Ia tidak mengerti pria itu. Aleta mendecak kesal, kemudian berjalan mengambil cardigan-nya dan keluar dari ruangan, dengan maksud mengikuti Fabian ke ruang rapat. Ia tidak peduli apakah dirinya diterima di ruangan atau tidak, yang jelas ia perlu bicara dengan pria itu secepat mungkin. Aleta mengembuskan napasnya sebelum membuka pintu, dan kedua matanya langsung menangkap delapan orang termasuk Fabian sedang rapat. Aleta tersenyum, menunduk dan pergi ke kursi kosong yang berada dekat di samping Fabian. “Kamu benar-benar marah padaku?” bisik Aleta di samping Fabian. Beruntung semua orang sedang fokus ke layar presentasi, jadi tidak ada yang mengetahui komunikasi mereka berdua. “Diamlah, Leta.” Oh tidak. Fabian meniru nada yang sama dengan apa yang Aleta lakukan tadi. Dan Aleta benci itu. Akhirnya karena tidak digubris sama sekali oleh Fabian, Aleta memilih untuk mengikuti jalan rapat sampai tiga puluh menit. Dan karena merasa bosan, Aleta memikirkan sebuah cara untuk membuat perhatian Fabian teralihkan pada dirinya. Ia pun semakin mendekatkan mejanya pada Fabian dan menyampirkan rambutnya ke belakang, agar leher jenjangnya yang indah terlihat oleh Fabian. Ia berharap Fabian tergoda, tapi pria itu tidak tergoda sama sekali. Sepertinya ia benar-benar marah. “Sial!” umpat Aleta dengan suaranya yang sangat kecil. Sepertinya ia perlu menggunakan rencana berikutnya. “Bi, ada yang ingin kuberitahu.” Fabian terdiam. Ia sama sekali tidak berniat menggubris semua yang Aleta lakukan. “Aku hamil.” “APA?!” Fabian berdiri, dan ia mengernyitkan keningnya ke arah Aleta yang sedang senyum-senyum tidak jelas. Kemudian, ia menyesali kebodohannya yang berteriak sembarangan. Seharusnya ia tahu bahwa itu adalah akal gila Aleta. Tidak mungkin gadis itu hamil secepat itu, dan selama ini Fabian selalu menggunakan pengaman. Semua mata langsung menoleh ke arah Fabian yang berteriak. Fabian pun merasa malu dan ia izin untuk pergi ke ruangannya bersama Aleta. Ia menarik tangan Aleta dan menyeret tubuh gadis itu ke ruangannya yang super mewah. Ia mengunci pintunya dan menghentakkan tangan Aleta kasar. Aleta meringis karena cekalan Fabian yang sangat kuat. “Jangan bermain dengan kehamilan, Leta!” ujar Fabian geram. “Itu salahmu sendiri karena sudah mengabaikanku,”balas Aleta. Fabian mengembuskan napasnya berat dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lain kali cari alasan yang logis. Kamu tahu, aku sampai jantungan karena mendengarmu mengatakan itu. Sekarang, diam di sini dan tunggu sampai rapat selesai.” Fabian pun membalikkan tubuhnya. “Bagaimana jika aku benar hamil?” Langkah Fabian terhenti, dan ia menoleh ke arah Aleta yang masih menunggu jawaban Fabian. Benar, bagaimana jika gadis itu hamil? Tidak, Fabian tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Aleta tidak boleh hamil. Ia tidak akan membiarkan gadisnya hamil. “Jangan pernah hamil. Itu yang harus kamu lakukan, Leta!” Kemudian Fabian berbalik dan pergi meninggalkan Aleta yang masih membeku di tempatnya. Ia melebarkan mata dan mulutnya karena ucapan Fabian. Apa maksud Fabian? Apa Fabian tidak suka jika ia hamil? Kenapa? Apa alasannya. Apakah ini hanya permainan Fabian? Apakah Fabian berniat membuatnya sakit hati. Tapi mengapa? Bukankah Fabian bilang jika ia mencintai Aleta? Tunggu! Fabian mengatakan menyukai bukan mencintai. Jadi, apakah ini semua palsu? Sekelebat pertanyaan langsung muncul dan menghantui Aleta. Ia takut jika apa yang ia pikirkan menjadi kenyataan. Ia takut jika Fabian berniat mempermainkannya. ♥♥♥ Mungkin Fabian terlihat kasar di depan Aleta saat mengatakan hal itu. Tapi, memang itu yang harus ia lakukan pada Aleta. Ia tidak akan membuat Aleta hamil. Tidak akan pernah. Aleta-nya tidak akan hamil, bagaimanapun caranya. Sebenarnya, Fabian memiliki trauma. Dulu, ia memiliki sahabat di Jerman. Tapi sahabatnya itu meninggal karena hamil. Sahabatnya meninggal karena kekurangan darah saat melahirkan, dan saat itu Fabian melihatnya dengan mata kepala sendiri. Mungkin ini masalah sepele bagi kaum adam, tapi tidak bagi Fabian. Ia mengalami ketakutan yang sangat akan hal itu. Terlebih lagi saat Selena mengatakan bahwa ia sudah mengalami keguguran untuk kedua kalinya. Sejak saat itu, Fabian tidak terlalu menyukai kehamilan. Dan sekarang apa? Aleta malah mengatakan apa yang tidak seharusnya ia katakan. Anggap Fabian kejam, tapi ia tidak ingin Aleta hamil. Ia takut Aleta-nya pergi seperti sahabat yang sudah bersama dengannya selama tujuh tahun. Cukup sahabatnya yang pergi, jangan Aleta. Demi apapun, Fabian akan melakukan segala cara untuk menghilangkan pikiran Aleta mengenai kehamilan. Walaupun itu harus menyakitinya dengan beribu baja. ♥♥♥ Aleta memilih untuk pulang. Bukan untuk menghindari Fabian, tapi ia harus menyelesaikan masalahnya dengan orangtuanya. Tadi, Aleta pergi ke suatu tempat untuk bertemu dengan William. Mereka mengobrol dan mengatakan untuk tidak melanjutkan perjodohan ini. Aleta tahu bahwa William merasa sakit hati, tapi hati tidak bisa dipaksa. Kenapa pula ia harus dijodohkan disaat ia mencintai Fabian, dan Fabian mencintainya. “Ma...” Verina yang sedang memasak langsung keluar dari dapur begitu mendengar suara Aleta. Verina terlihat terkejut dan ia langsung berlari memeluk Aleta. “Kamu nggak apa-apa, kan?” “Aku nggak apa-apa, Ma,” jawab Aleta. “Sukurlah, maafkan Mama,” ujar Verina sedih. Aleta tersenyum sembari mengusap lembut pipi Verina. “Nggak apa-apa, Ma. Seharusnya Aleta yang minta maaf karena udah bentak Mama. Maafkan Aleta, Ma.” Verina merasa terharu, kemudian ia memeluk lagi tubuh putri tersayangnya itu. “Mama janji, tidak akan mengambil keputusan di belakangmu lagi. Mama janji.” Aleta yang mendengar hal itu, merasa dunianya kembali lagi. Ia rindu dengan wanita yang sudah membesarkannya itu. Ia rindu dengan aroma bunga yang dimiliki wanita terbaiknya itu. Ia rindu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD