FABIAN tidak mengerti dengan jalan pikiran Aleta. Gadis itu benar-benar sudah terbutakan dengan cintanya pada Fabian. Ia benar-benar menginginkan Fabian menjadi miliknya. Dan Fabain tidak akan membuat perasaannya goyah, meskipun ia... ah sudahlah.
“Aleta, jangan gila!”
Aleta tersenyum kecil, kemudian berdiri dan menyilangkan kedua tangannya di depan d**a, ia menatap Fabian dengan intens. “Lalu, kamu ingin aku yang memulainya?”
Fabian mengernyitkan keningnya, kemudian matanya semakin melebar ketika melihat gerakan tangan Aleta yang mulai melepaskan kancing kemejanya. Fabian pun dengan sigap berdiri dan menghentikan tangan Aleta. “Kesabaranku sudah habis, Leta. Aku setuju dengan taruhanmu, kalau kamu menang, maka akan kujadikan kamu sebagai kekasihku. Lakukan segala cara dan buat aku berubah pikiran, jika bisa," ucap Fabian tegas, kemudian keluar dari kamar itu.
♥♥♥
Keesokan harinya Aleta bangun dan sudah menemukan pakaian serta alat make up-nya di ranjang. Sepertinya Fabian yang mengambilnya dari rumah, karena ia merasa pagi-pagi buta Fabian sudah pergi dari hotel. Ia ingin bangun, tapi ia terlalu lelah untuk melakukannya. Aleta turun dari ranjangnya dan bergegas untuk mandi. Setelah semuanya selesai, Aleta keluar dari kamar dan berjalan ke ruangannya. Di ruangannya, Aleta merebahkan dirinya di kursi panas dan memeijit pelipisnya yang sakit. Ia tidah tahu mengapa, tapi tiba-tiba saja kepalanya berdenyut dan merasakan sakit yang luar biasa.
Drt...
Aleta mengambil ponselnya dan langsung meletakkannya di telinga sebelah kiri, tanpa melihat siapa yang menghubunginya.
“Halo.”
“Sudah sarapan, sayang?”
Aleta mengenal suara itu. “Sudah, Ma.” Bohong. Ia bahkan tidak berminat untuk sarapan.
“Baiklah, pulanglah malam ini. Keluarga Steven akan hadir.”
“Baik, Ma.” Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan keluarga Steven di rumahnya, tapi sepertinya sangat penting.
Setelah itu sambungan terputus dan Aleta meletakkan ponselnya di tempat semula.
Tok...Tok...
Aleta mendongak dan melihat Fabian yang sudah berdiri di pintu ruangannya.“Ada apa?”
“Ada rapat pagi ini, ayok.”
Aleta mengembuskan napasnya dan berdiri, ia berjalan ke arah Fabian dan tubuhnya hampir saja jatuh jika Fabian tidak menahannya.
“Kamu kenapa?” tanya Fabian khawatir.
“Aku tid---” Ucapan Aleta terhenti karena ia sudah kehilangan kesadarannya. Fabian yang melihat hal itu sangat cemas, ia pun menggendong tubuh Aleta dan membaringkannya di ranjang yang memang sudah disiapkan di ruangan itu. Setelah membaringkannya, ia memandang wajah Aleta dengan lembut. Aleta dan Alena memang kembar. Tapi mereka jelas berbeda. Jika Alena memiliki wajah cantik yang ramah, maka Aleta memiliki wajah cantik yang dingin. Mereka berdua cantik dalam artian yang berbeda, dan entah mengapa Fabian lebih menyukai kecantikan Aleta. Menyukai? Sebenarnya, Fabian menyukai Aleta. Ia menyukai gadis itu sejak ia menangis di pelukannya karena kepergian Steven. Tapi Fabian menyangkal fakta itu karena ia tidak ingin menjalin hubungan terlarang dengan Aleta. Dan selama satu tahun ini ia hampir berhasil melupakan cintanya, jika saja Aleta tidak menyatakan cintanya kemarin.
“Eung...”
Fabian menegakkan tubuhnya ketika ia mendengar rengkuhan Aleta. Aleta terlihat mengerjapkan matanya dan bangkit dan duduk dengan santai.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Fabian langsung.
Aleta hanya mengangguk. “Bisakah kamu membelikanku makanan?”
Fabian mengernyitkan keningnya. “Kamu belum sarapan?” setahunya Fabian sudah menyiapkan makanan di kamar.
Aleta mengangguk .“Cepat, aku sangat lapar.”
“Astaga, Leta. Aku sudah menyiapkan sarapan di meja, kamu nggak lihat?”
Aleta menggeleng.“Sudahlah, cepat belikan aku makanan atau aku akan bilang ke Papa kalau kamu udah nyium aku.”
Fabian membuka mulutnya tidak percaya. Hei, kenapa gadis itu mulai memutarbalikkan fakta? “Aleta, kamu lupa kalau kamu yang men―”
“Apa Papa akan percaya? Jangan lupa, Papa mengenalmu sebagai playboy.” Meski itu bohong.
Fabian tidak bisa berpikir lagi. Ia menyesal sudah menolong gadis di hadapannya ini. Ingin rasanya ia meninggalkan Aleta dan membiarkan gadis tengik ini kelaparan. “Aku akan menghubungi asistenku untuk membelikanmu makanan,” ucap Fabian kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi asistennya.
Tidak butuh waktu yang lama untuk makanan pesanan Fabian datang. Setelah mengambilnya, Fabian memberikannya pada Aleta dan gadis itu memakannya dengan lahap.Setelah menghabiskannya dengan cepat, Aleta berdiri dan berjalan kursi panasnya. Ia membuka cardigannya dan memperlihatkan tank top-nya yang berwarna hitam. Fabian yang melihat hal itu menggeleng-gelengkan kepalanya, ia berjalan mengambil cardigan Aleta dan meminta Aleta menggunakannya kembali.
“Aku tidak mau!” tolak Aleta dan berusaha menjauh dari Fabian.
“Ck...” Fabian mendecak kesal dan menarik tangan Aleta kemudian menghimpit gadis itu di dinding. “Gunakan!”
Aleta menolaknya, ia kemudian memalingkan wajahnya ke sisi lain.
“Aleta Lachowski.”
Aleta tidak menggubrisnya. Gadis itu sangatlah keras kepala. Kemudian, air mata Aleta keluar. Fabian yang melihat hal itu merasa bingung setengah mati, apakah sikapnya membuat Aleta sedih? Tapi Aleta gadis yang kuat, ia berbeda dengan Alena yang akan menangis jika terluka sedikit pun.
“Aleta...”
Akhirnya Aleta menatap kedua mata Fabian dengan air mata yang terus mengalir. “Kenapa harus aku yang selalu berjuang? Pertama Steven, lalu kamu? Kamu pasti merasa jijik kepadaku. Aku memang gadis murahan yang tidak tahu diri. Hampir semua orang membenciku karena mengira aku merebut Steven, dan sekarang semuanya akan mengira aku gadis tidak tahu diri yang berani-beraninya mencintai pamannya sen...hmmpptt...."
Aleta membulatkan matanya ketika bibirnya sudah dibungkam Fabian. Tangan Fabian yang tadi berada di pergelangannya, mulai dipindahkan ke pinggang Aleta. Disaat Aleta masih belum sadar akan apa yang dilakukan Fabian, Fabian mulai menggigit bibir bawah Aleta dan membuat gadis itu membuka bibirnya dengan lebar. Otomatis Fabian menggunakan itu untuk masuk dan mulai menjelajahi mulut yang sama sekali ia inginkan dengan cepat.
Ciuman mereka begitu lama, sampai mereka tidak sadar akan kedatangan Alena dan Steven.
“Bagaimana ini?” bisik Alena agar suaranya tidak mengganggu kedua sejoli itu.
“Kita tunggu saja di sofa.”
“Tap―” Belum sempat Alena mengucapkan penolakannya, Steven sudah lebih dulu menarik tangan Alena dan membawa gadis itu ke sofa. Mereka duduk dengan tenang di sana, dan memperhatikan kegiatan yang dilakukan sejoli itu. Mereka ingin lihat sampai mana permainan mereka berlangsung.
Fabian melepaskan pagutannya karena ia merasakan Aleta yang sulit bernapas.
“Kenapa kamu?” tanya Aleta.
Fabian tersenyum.“ Aku sudah menyukaimu lebih dulu, sekarang bisa kita lanjutkan?”
Aleta tidak memercayai apa yang ia dengar. “Ini mimpi, kan?”
Fabian tergelak. “Astaga, Aleta. Ini nyata, jadi bagaimana?”
Aleta tampak memikirkannya. “Bagimana dengan rapatnya? Aku masih ingat.”
Benar, Fabian hampir melupakan rapatnya. Jika ia berhenti, maka ia tidak akan fokus untuk rapat nanti. “Biar wakil yang mengurusnya, jadi?”
Fabian benar-benar frustrasi menanyakan hal itu kepada Aleta.
“Aku tidak suka melakukannya di sini, bagaimana kalau apartemenmu? Kamu masih menggunakannya, kan?”
Fabian tersenyum senang. “Tentu saja, aku hanya tinggal di rumahmu kemarin. Ingin ke sana?”
Aleta tersenyum, kemudian ia mengambil cardigan yang tadi terlepas dari tangan Fabian dan ia menoleh ke sofa―tempat dimana Alena dan Steven berada. Sontak, Fabian dan Aleta terkejut bukan main.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Aleta sedikit berteriak, sedangkan Fabian hanya merapikan kemejanya yang kusut dan memalingkan wajahnya seolah-olah tidak ada yang terjadi antara dirinya dengan Aleta.
“Mengantar makanan,” ucap Alena sambil mengangkat kotak makan untuk Aleta. Itu adalah makanan yang Verina buatkan untuk Aleta, wanita itu khawatir dengan pola makan Aleta jika sudah bekerja.
“Jangan khawatir, tidak akan ada yang tahu kecuali kami,” sahut Steven yang sedari tadi berusaha menahan tawanya.
“Berhenti tertawa, Stev!” ujar Aleta geram.
Steven hanya mengangkat bahunya.“Iya sudah, kami akan pergi,” ucapnya sambil menarik tangan Alena sekali lagi untuk keluar dari ruangan itu.
“Aku rasa, kita harus rapat.”
Fabian hendak keluar, tapi Aleta mencekal pergelangan tangannya. “Kamu kalah!”
Fabian tersenyum dan mengusap puncak kepala Aleta. “Aku tahu itu, sayang. Kamu harus pulang malam ini, kan? Ada makan malam di rumah.”
Aleta tampak memikirkannya, ia malas datang. “Aku akan ke apartemenmu malam ini.”
Fabian tersenyum puas, kemudian ia pergi dari ruangan Aleta.