#Baby_Blues_Karena_Mertua
Part 2
"Makan sayurannya yang banyak, Nay. Biar ASI-mu keluarnya semakin banyak. Ingat kamu harus nabung agar bisa segera buat rumah. Bukan begitu, Pram? Kalau beli s**u formula, kalian tidak akan bisa nabung. Per bulan sudah habis berapa aja untuk beli s**u formula." Ibu menatapku yang sedang makan dengan pandangan tak suka. Mas Pram pun begitu, memandangku dengan tatapan tak senang. Ia duduk di bibir ranjang tak jauh dariku, menatap anak kami dan sesekali menyentak napas kesal.
Kami baru tiga hari pulang dari rumah sakit. Sebenarnya pihak rumah sakit tak mengijinkan karena kondisi fisikku yang belum stabil, tapi ibu dan Mas Pram ngotot membawaku pulang. Tentu saja tanpa asuransi kesehatan, biaya rumah sakit akan semakin membengkak.
"Mimpi apa aku, Pram, kamu harus nikah dengannya. Tidak becus jadi perempuan. Ngejan saja tidak bisa." Keluh Ibu, memandangku sekilas. Mas Pram meletakkan dedek di kasur bayi lalu menjambak rambutnya frustrasi. Saat bersitatap denganku, ia menghela napas panjang.
Kugigit bibir kuat, menahan rasa sakit yang berdenyar di d**a. Seolah hanya Mas Pram saja yang begitu frusstrasi. Aku juga stres. Saat hamil, sering diam-diam menangis di kamar mandi karena bersuamikan lelaki sepertinya. Sudah dingin, pendiam, sangat perhitungan, lagi. Aku tak pernah diberinya uang. Kalau aku butuh sesuatu, disuruh minta pada ibu.
Andai dulu aku tahu sifatnya seperti ini, aku tak akan meminta pertanggung jawaban darinya. Lebih baik dulu melahirkan bayi ini tanpa memberi tahunya dan menitipkannya di panti asuhan begitu lahir.
Ya. Aku dan Mas Pram menikah tanpa cinta.
Juga menikah tanpa saling mengenal satu sama lain.
Pernikahan kami ada karena kesalahan semalam.
Waktu itu, aku sedang sangat sedih karena baru putus dengan Arifin, ia cemburu pada sahabatnya sendiri, tanpa pikir panjang mengakhiri hubungan. Sudah kujelaskan padanya bahwa aku dan Ardi hanya berteman, tapi tak percaya dengan dalih sering melihat kami begitu dekat.
Aku sangat sedih. Juga terpukul. Maka untuk membuang kesedihan, kuiyakan ajakan Dila dan Rindai, teman sekelasku yang berniat menghiburku ke kafe bunda. Kami minum-minum. Selalu ada kesenangan tersendiri saat bersama mereka. Kami memang sering tertawa dan bercanda gurau sambil menenggak minuman haram. Mungkin karena saat SMA aku begitu ketat diawasi oleh orang tua, maka ketika memutuskan kuliah dan ngontrak sendiri karena jarak rumah dan kampus sangat jauh, aku seperti mendapat angin segar. Tak ada yang mengawasi dan bagai menemukan dunia baru. Aura kebebasan begitu menggoda untuk dinikmati.
Aku pun mabuk berat. Saat terbangun, sudah berada dipelukan lelaki asing. Mas Pram. Mas Pram menenangkanku saat itu, mengatakan ia juga tak sadar kenapa hubungan terlarang itu bisa terjadi. Ia berjanji akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu dan memberikan nomer WA-nya. Sementara dua temanku, malam itu teler di pelukan lelaki asing. Iya, mereka memang bisa dipakai. Mengatakan padaku kalau biaya kuliah dan ngontrak dari menjajakan tubuh.
Meskipun bergaul dengan mereka dan sesekali mencicipi minuman laknat, tapi aku tak pernah tidur dengan lelaki. Aku juga tak pernah mabuk karena biasanya hanya mencicipi sedikit alkohol. Naas, waktu itu aku begitu sedih sampai tak sadar menenggak begitu banyak cairan memabukkan.
Tak lama setelah kejadian itu, aku hamil. Itulah kenapa pernikahanku dan Mas Pram ada. Kami tak saling mengenal, tapi demi anak yang kukandung akhirnya kami menikah.
"Makan kok lelet banget. Cepat habisin, lalu itu baju kotor anakmu dicuciin. Jangan mentang-mentang habis lahiran jadi lelet. Baju kotor tinggal dikucek-kucek, setelah itu anaknya dimandiin. Ibu dulu apa-apa sendiri. Jangan mentang-mentang habis lahiran jadi lelet," kata Ibu mertua.
Aku mengangguk, lalu membawa piring kotor ke dapur. Kembali lagi ke kamar untuk meraih baju-baju dedek di dalam keranjang bayi.
"Aku jualan dulu, Bu." Mas Pram berdiri, mencium tangan ibu lalu lewat di sampingku. "Aku jualan dulu," katanya sebelum keluar dari pintu.
Aku mengangguk kecil. Hubungan kami sejak pertama menikah ya seperti ini. Seperti ada sekat. Aku tak menyukainya, begitu pun sebaliknya. Hanya sekali kami kontak badan, yaitu pada malam sumber penderitaan ini. Selebihnya, tak pernah. Pernah ia mau meminta haknya, tapi langsung kutolak. Aku tak mencintainya. Pernikahan kami ada, hanya agar aibku tak terendus. Juga agar Fatih punya ayah.
Kubawa pakaian kotor menuju sumur. Tak ada sanyo seperti di rumah. Ibu tak mau menggunakannya karena sedang berhemat. Maka aku pun mulai menimba. Aku mengernyit dan menggigit bibir kuat saat merasakan tusukan tajam di perut. Terus kutahan nyeri saat mencuci. Begitu cucian beres, kutumpangkan panci ke atas kompor, menunggunya mendidik sambil menahan rasa pedih di perut.
Akhirnya, air bergolak juga. Segera kuangkat lalu sedikit membungkuk membawanya menuju sumur. Rasa nyeri di perut membuatku menggigit bibir kuat. Rasa sakitnya dari waktu ke waktu kian menggila. Aku menatap ke bawah dan membelalak kaget saat mendapati kain di bagian perut berwarna merah pekat.
Darah. Perutku bekas disecar mengeluarkan darah. Tanganku gemetar. Panci pun dengan cepat lepas dari genggaman. Rasa panas di kaki membuatku refleks beringsut mundur, namun karena lantai begitu licin, aku terpeleset. Badanku terbanting keras ke lantai. Perutku seperti di silet-silet.
"Ibuuuu! Ibuuu!" teriakku menahan pedih di perut. Juga ada panas di kaki. Kepalaku berdenyut pusing. Sekeliling seolah berputar. Berputar semakin cepat, berubah samar, lalu ... gelap.
*Kamu kalau jadi Nay, apa akan milih cerai? Ada anak yang harus dipikirkan, bukan?