1
"Masa hanya melahirkan normal saja tidak becus, Dik. Kelewatan! Uang simpanan buat bikin rumah jadi berkurang," kata Mas Pram sambil menyentak pantatnya di kursi, wajahnya tampak begitu kesal. Matanya terlihat amat kecewa.
"Iya, melahirkan normal saja tidak bisa! Padahal badan juga subur. Waktu hamil juga makannya banyak!" timpal ibu mertua sambil duduk di bibir ranjang.
Aku langsung berpaling saat secara tak sengaja bertatapan dengan Ibu. Ibu menyentak napas dengan berlebihan lalu meraih bayi mungil dalam gendonganku. Makhluk mungil menggemaskan itu menggeliat pelan, lalu kembali tenang. Sungguh lucu sekali. Ia terlelap dalam bedongan yang nyaman. Kepalanya yang berambut lebat ditutup topi berbentuk kelinci imut, membuatnya terlihat semakin menggemaskan.
"Ibu punya anak tujuh semuanya lahir normal. Berapa biaya operasi, Pram?" Ibu memandang Mas Pram dengan wajah kesal. Tepatnya, kesal padaku.
"Banyaklah, Buu. 12 juta. Bisa lebih malah buat biaya perawatan dan lain-lain," sahutnya sambil menatapku tak senang.
Aku menarik napas dalam, berusaha sabar meski sebenarnya ingin menangis. Jujur, jika boleh memilih, aku ingin melahirkan normal yang tak membutuhkan banyak biaya. Tapi semalaman terus berjuang menahan sakit, bayi tetap tak mau keluar. Kata bidan, air ketuban keruh, jika tetap dipaksa lahir normal bisa membahayakan nasib si bayi. Bisa jadi merenggut nyawa ibunya karena tekanan darah cukup tinggi.
Terakhir yang kuingat sebelum siuman, Mas Pram bersikukuh tak mau dibuatkan surat rujukan. Sambil meringis menahan sakit, aku memperhatikannya beradu mulut dengan bu bidan agar mau mengusahakan normal sampai pandanganku tiba-tiba menggelap lalu tak ingat apa-apa lagi. Begitu terbangun, sudah ada bayi mungil dalam gendongan Mas Pram. Kata suster, aku sempat kritis.
"Kasihan kamu, Pram, punya istri cacat. Istri yang tak bisa melahirkan secara normal itu sama saja istri cacat, bukan perempuan sesungguhnya," kata Ibu, memandangku dengan sinis.
.
Saat si bayi dalam gendongannya menangis, ia langsung menimang-nimangnya.
Ibu terlihat sangat sayang. Menurutku itu hal yang lumrah mengingat Mas Pram anak sulungnya. Sementara keenam adiknya masih kecil-kecil.
"Cup, cup, cup, sayang. Uluh-uluh imutnya Pram kecil. Cup. Cup."
Tetapi, bayi itu tetap tak mau diam. Akhirnya diberikannya padaku. "Haus, mungkin, cepet dinenenin."
Aku langsung meraih botol dot di samping ranjang, Ibu melotot.
"Buat apa itu? Apa asimu tak keluar juga?!"
Aku menarik napas, berusaha bersikap biasa saja meski perasaan begitu sedih dan nelangsa. Seumur hidup, aku tak pernah dibentak oleh Ayah maupun Ibu yang selalu memperlakukan kedua anaknya dengan baik.
"Belum, Bu. Mungkin nanti."
Ibu lagi-lagi memandangku tak suka. "Dibilangin orang tua ngeyel, sih! Orang hamil besar itu, harus rajin makan sayuran biar begitu bayi keluar, ASI juga keluar. Benar-benar menantu cacat." Ia menyentak napas kuat.
Mas Pram menatapku, lalu mengangguk mengiyakan.
"Pokoknya, hanya sekali ini saja kamu boleh melahirkan secar. Ke depannya jika melahirkan lagi harus normal. Mengerti tidak?" Mas Pram menatapku.
Aku mengangguk. "Iya, Mas."
Sebenarnya, dua bulan sebelum melahirkan aku sudah wanti-wanti pada Mas Pram agar membuat BPJS, siapa tahu dibutuhkan. Tapi, Mas Pram keukeuh tidak mau. Buat apa, katanya? Jangan mempersiapkan sakit. Optimis sehat. Sehat. Harus tetap sehat. Makan makanan bergizi, banyak makan buah, minum s**u, insyaallah sehat. Begitu kata Mas Pram. Nyatanya, semua tak seperti yang dikatakannya.
Menurutku, tak ada salahnya berjaga-jaga. Bukan untuk mempersiapkan sakit, hanya untuk berjaga seandainya dibutuhkan. Toh, tak ada larangan dalam agama untuk berjaga-jaga.
"Padahal, ngurus BPJS bisa mendadak lho, Pram," Ibu berkata lirih lirih.
"Sudahlah, Bu, jangan dibahas lagi. Semalam aku kalut juga. Aku langsung lari ke ATM karena dia tiba-tiba tak sadar, aku takut anakku kenapa-napa."
Ibu mendengkus. "Yasudahlah, disesali juga tak ada untungnya. Uang balik juga tidak. Tapi lumayan 12 juta, seharusnya sebentar lagi kamu punya rumah, Pram."
Mas Pram mengangguk mengiyakan, lagi-lagi menatapku jengkel.
Aku menunduk menatap si bayi sambil menghalau perasaan pedih. Tuhan, kenapa kekhilafan waktu itu membuatku bernasib begini? Apa ini karma? Perlahan, tangan mengusap air mata yang merembes di pipi.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam," sahut Ibu dengan wajah senang.
Beberapa tetangga langsung masuk lalu duduk di lantai. Ruangan tempatku dirawat sederhana, ditempati oleh tiga pasien lain. Berbeda denganku yang terus diomeli, mereka tampak disayang oleh keluarganya. Orang tuaku belum datang menjenguk karena jarak rumah mertua dan rumah mereka lumayan jauh, memakan waktu 4 jam. Ayah dan Ibu tinggal di Gisting, sementara aku di Lampung Tengah.
"Ya Allah lucunya, sini. Siniii. Aku pengen gendong juga."
Aku terus memerhatikan mereka yang bergantian menimang buah hatiku. Apa mereka sudah cuci tangan? Ah, pasti sudah. Tak elok menegur tamu. Apalagi mereka datang bukan hanya dengan tangan kosong. Ada yang membawa buah-buahan, roti, yang semuanya diletakkan di meja kecil di samping tubuh ini merebah.
"Secar apa normal ini lahirnya?" tanya Yu Sari, umurnya 2 tahun lebih tua dariku.
"Secar," sahut Mas Pram yang sejak tadi terus diam. Ia pasti masih menyesali uang yang dipakai buat biaya ceacar. Wajar.
Aku masih ingat jelas, kami mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Terkadang seratus ribu perhari, 50 ribu, menekan kebutuhan pokok. Beli apa pun seperlunya, buah-buahan, sayur mayur, lauk, s**u. Saking hematnya, kami bahkan tak pernah makan di luar. Saat hamil, selalu kutekan semua yang membuat air liur menetes. Ingin chicken, tepis. Ingin ayam bakar di seberang kampus tempat kuliah, tepis. Ingin apa pun, tepis.
Apa aku nelangsa? Sangat. Tetapi demi uang cepat terkumpul untuk membuat rumah, aku mencoba bersikap biasa saja. Tetap mencoba tersenyum walau hati begitu nelangsa. Bagaimana tak nelangsa? Disaat teman-temanku diberi uang oleh suaminya, aku sekalipun tak pernah. Semua uang, Mas Pram yang kendalikan. Ia hanya memberi uang saat bayaran semester. Aku masih kuliah, semester 5. Sementara Mas Pram lulusan SMA.
"Padahal waktu itu katanya posisi sudah masuk panggul, ya, Nay? Mungkin kalau bidannya sabar, bisa diusahakan normal." Mbokde Kawet menimpali.
Ibu mertua mengangguk-angguk. "Bidannya males ngusahain, ditambah fisik Nay juga lemah. Jadilah dia disecar. Kalau fisiknya kuat ya tak mungkin di secar."
Yu Sari mengangguk-anggukkan kepala.
Ibu mertua menambahkan, "Dan lagi, Nay ini saat hamil sukanya makan daun pepaya. Padahal aku sudah peringatkan jangan banyak-banyak, makanya air ketubannya keruh. Coba kalau gak ngeyel, pasti normal!"
Aku menggigit bibir, perasaan pedih lagi-lagi menelusup ke dalam benak. Ibu memang sudah memperingatkan berkali-kali. Tapi mau bagaimana lagi? Mulut terasa pahit. Semua makanan yang kuingini juga harus kutepis karena Mas Pram sedang sangat berhemat. Toh, kata bidan, tak apa-apa makan daun pepaya jika tak banyak-banyak karena mengandung zat besi.
Yaa sudahlah, bagaimanapun, meski sangat menyesal, waktu tetap tak bisa diulang. Si dedek bayi juga sudah lahir. Mau bagaimana lagi? Pelan, tangan mengusap air mata. Andai bisa, aku ingin kembali ke waktu itu.
*Kalau kamu jadi Nay, apa yang akan kamu lakuin?