Happy Reading
***
Anja menghentikan langkahnya di depan kamar nomor 2101. Anja melirik Willi berada di sampingnya, ia menempelkan kartu akses di depan pintu kamar, seketika pintu terbuka. Anja menyimpan kartu akses itu di atas saklar lampu, seketika lampu menyala.
Anja masuk ke dalam, ia memang memberikan kamar terbaik di hotel ini untuk kliennya. Ini merupakan kamar Fairmont King, pemandangan yang langsung ke arah golf. Pertama ia masuk ke kamar ini di suguhi dengan tempat tidur berukuran king size.
Di dekat tempat tidur terdapat meja kerja yang terbuat dari kayu. Ia menatap jendela yang terbentang luas, terdapat kursi sofa yang menghadap ke arah view yang menawan. Di depan tempat tidur juga tersedia TV kabel layar datar, area tempat duduk, mini bar dan lemari es. Kamarnya luas
Ia memandang ke arah kamar mandi di dalamnya menyediakan shower perlengkapan mandi, pengering rambut, jubah mandi dan sandal. Ada bathup. Karpetnya lembut, secara keseluruhan kamar ini sangat elegan, jujur ia suka dengan kamar ini.
Anja menatap William, pria itu menggulung lengan kemejanya hingga siku, dia terlihat semakin bertambah tampan. Pria itu membuka sepatu kulitnya dan dia simpan di dinding. Dia meraih remote, dan seketika TV menyala. Pria itu sepertinya sudah terbiasa di dalam kamar hotel.
William duduk di tempat tidur dan tubuhnya bersandar di sisi tempat tidur. Ia mencari film yang bagus pada penayangan TV kabel. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Anjani, wanita itu masih berdiri di dekat jendela. Ia tersenyum penuh arti.
“Kamu kenapa berdiri di situ,” tanya William.
Anja menghela nafas, ia memilih duduk di sofa, “Ya, enggak apa-apa. Saya mau duduk di sini,” Anja memberi alasan.
Anja tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya berbaring di ranjang yang sama dengan William. Jujur berduaan di kamar hotel dengan seorang pria, membuatnya canggung, tidak tahu harus bagaimana, mau bergerak saja, rasanya awkward.
Sejujurnya ia agak cemas, aman atau tidak jika bersama William. Jika sudah stay di Kasur, berdua, suasana yang dingin dan pemandangannya yang indah, tentu saja semua moment ini sangat indah untuk melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan.
Ia tahu jika berduaan di kamar hotel dengan lawan jenis, sudah bisa di katakan expert untuk melakukan hubungan intim. Secara spesifik mereka sama-sama dewasa dan pernah melakukan. Apalagi memiliki ketertarikan yang sama.
“Apa kamu tau indikator jodoh yang akurat seperti apa?” Tanya William membuka topik pembicaraan, agar suasana tidak terlalu sepi.
Anja menarik nafas, ia memandang William, “Menurut saya, jodoh itu nggak ada, kamu bisa menikah dengan siapa saja. Tidak usah mencari petunjuk seolah jodoh orang lain, yang menentukan.”
“Kamu ingin menikah dengan siapa saja, itu kamu yang menentukan. Dan kamu juga harus menerima konsekuensi seandainya pilihan kamu salah. Terus, kalau ada yang salah dalam pernikahan kamu, jangan menyalahkan sang pemberi jodoh. Berhubung tidak saling menyalahkan, pura-pura bilang itu adalah takdir.”
“Kamu yang memegang kendali atas hidup kamu, hidup kamu akan terasa seperti bola pingpong yang dipukul ke sana ke mari, karena kamu yang melemparnya sendiri.”
William tertawa, ia setuju dengan pendapat Anja, bagaimana dia bisa menjawab beranalogi seperti itu, namun jawabannya masuk akal. Ia terima dengan baik,
“Iya, kamu benar. Kamu tahu? Saya suka berdiskusi dengan kamu apa saja.”
William memandang Anja cukup serius, memperhatikan wanita itu dari kejauhan, ia menepuk bantal di sampingnya, “Kamu nggak mau ke sini?” Tanya William.
Anja menarik nafas, ia tidak bisa membayangkan bagaimana ia bisa sekasur dengan William.
“Why? Saya nggak apa-apain kamu?” Ucap William.
Anja melepas stiletto nya, ia menatap William, ia tidak yakin kalau William tidak akan apa-apain dirinya jika mereka bersama. Entah dorongan apa, ia mendekati William, dan lalu berbaring di samping pria itu. Sungguh ia menangkap umpan William dengan sukarela, ia tahu bahwa ini tidak akan baik-baik saja.
Anja menaikan kepalanya di atas bantal, ia menatap langit-langit plafon dan berusaha setenang mungkin. Sementara William mengubah posisi tidurnya menyamping, ia memandang Anja, ia dapat mencium aroma parfume vanilla dari tubuh wanita itu.
Mereka saling menatap satu sama lain, dilihat dari jarak dekat seperti ini, dia terlihat semakin menarik. Ia tahu masih banyak wanita-wanita di luar sana jauh lebih cantik dari Anja. Namun saat dia berpendapat terdengar realistis. Sejujurnya ia suka dengan wanita yang berpikiran terbuka seperti Anja. Berbicara dengan wanita yang open minded seperti Anja ini sangat asyik dan ia merasa sangat di terima, willing to consider new ideas, unprejudiced.
“Kamu biasa dipanggil apa?” Tanya William.
“Semua orang memanggil saja Anja.”
“Nice name.”
“Anja,” ucap Wiliam.
“Iya.”
“Kamu mau jadi FWB saya?” Ucap William to the point, itu lah yang ada di dalam pikirannya.
Anja sudah menduga bahwa William akan membahas ini, “Why?”
“Karena saya tidak ingin memiliki ikatan dengan wanita manapun. Dan alasan selanjutnya, karena saya senang ngobrol sama kamu, tidak lebih.”
“No, saya tidak akan melakukannya,” ucap Anja.
“Kita sama Anja, sama-sama tidak ingin berkomitmen dengan siapapun.”
“Tapi itu beresiko, saya tidak ingin. Apalagi saya baru kenal kamu satu jam yang lalu.”
“I know, tapi ini just FWB, enggak perlu mengenal terlalu dalam kan? Kamu bebas dengan dunia kamu dan saya pun begitu.”
“So, you want s*x?”
“Of course, I'm realistic. Jika kamu ingin, saya akan memberikan apa yang kamu butuhkan.”
“Are you a sugar daddy?”
William tertawa geli, “Kita hanya berda beberapa tahun Anja, umur saya masih 33 tahun. Kamu jangan mengatakan saya sugar daddy, saya nggak setua itu.”
“Oh God. Apakah kamu bisa membuang semua ide gila kamu, dengan mitra kerja kamu sendiri. Saya hanya manager marketing yang menawarkan material kepada kamu.”
“Terus masalahnya di mana? Itu hal biasa kan, anggap saja ini hubungan relasi.”
Anja tidak menyangka bahwa William memiliki pikiran ingin FWB dengannya, padahal mereka baru saja kenal. Mereka saling menatap satu sama lain, pria itu memperhatikannya.
Anja tahu, ini kedengarannya gila, wanita mana yang berani menolak seorang William, lihtalah betapa tampannya dia,
“Kalau kamu ragu, kamu bisa jawab nanti,” ucap William memberi waktu Anja untuk berpikir atas tawarannya.
Anja hanya diam, tidak menjawab pertanyaan William. Ia mengalihkan pandangannya ke arah layar TV. Namun pikirannya ke mana-mana, ia bingung akan melakukan apa. Jarak mereka sangat dekat bahkan ia merasakan deru nafas mereka terdengar.
Suara TV yang menyala, seakan tidak terdengar, karena fokusnya hanya William. Mereka disibukan dengan pikiran masing-masing.
William menarik nafas, ia sebagai seorang pria tentu saja jika berduaan dengan wanita di dalam kamar, tentu saja pikirannya menggila.
Ia sudah membayangkan bagaimana foreplay yang enak. Siapa bilang pria tidak suka foreplay? Foreplay bahkan tidak harus di atas Kasur seperti ini. Baginya foreplay bisa terjadi sepanjang hari dan di mana saja bisa.
Haruskah ia melakukan itu kepada Anjani. Ia ingin tahu bagaimana rasanya menyentuh wanita itu. Tapi pikirannya tidak harus melakukannya, karena itu akan membuat Anja takut kepadanya, kecuali mereka sama-sama ingin melakukanya.
Ia mengurungkan niatnya untuk menyentuh wanita itu. Ia memandang ke arah layar TV, di sana menayangkan salah satu film Fifth Shades of Grey, kisah percintaan mahasiswi dan seorang CEO perusahaan dengan fetish seksual sedomakisme-nya. Ia sudah menonton film ini berulang kali dan ia hafal alurnya ceritanya.
Banyak adegan ranjang dipertontonkan secara eksplisit dalam series pertama ini. Anja melirik William memandang film itu cukup serius. Bermenit-menit mereka hanya diam menyaksikan adegan demi adegan dewasa diperlihatkan.
Beberapa detik kemudian, mereka kembali saling menatap. Karena mereka sama-sama menahan hasrat untuk melakukannya. Pikiran mereka berkecamuk, gagal fokus melihat Anastasia Steele saat berhubungan seks dengan Christian Grey diikat menggunakan tali di ranjang.
Adegan itu membuatnya h***y, di tambah hari ia menjelang masa mensturasi, libidonya naik, ia sudah pastikan ia sudah basah. Ia merasakan gelisah luar biasa, apalagi sudah di dekat William.
William memperhatikan Anja, “Kamu kenapa?”
Anja lalu beranjak dari tidurnya, ia tidak bisa berlama-lama dengan William di kamar hotel ini. William ikut berdiri memperhatikan Anja yang menjauhi tempat tidur. Ia mendekati Anjani,
“Are you oke?” Tanya William, memastikan Anja baik-baik saja.
“Yes, I'm okay,” ucap Anja pelan.
“Why?” William menyelidik,i padahal mereka hanya menonton yang di tayangkan di salah satu stasiun televise Amerika Serikat.
“I am fine,” ucap Anja gugup.
“You're not fine, Anja. You are restless,” William mendekati Anja, ia mencoba memegang pundak Anja, namun wanita itu mengelak menjauhinya.
“Don’t tuch, saya justru tidak tenang di sentuh kamu.”
Anja menarik nafas ia memandang William dengan berani, “Stay away.”
“Saya tidak mengerti kenapa kamu ingin saya menjauh, bahkan saya tidak menyentuh kamu,” ucap William tidak mengerti.
“Saya nggak suka kamu dekat-dekat saya.”
“You didn't explain, why?” Itu lah yang ingin ia tanyakan, namun Anja belum memberi jawaban kepadanya.
Semakin William mendekati Anjani, ia semakin penasaran kenapa.
Anjani menghentikan langkahnya, ia memejamkan matanya beberapa detik, ia membuka mata. Memandang William sudah berada di hadapannya. Jarak mereka sangat dekat, bahkan Anja merasakan hembusan nafas William dipermukaan wajahnya.
Mereka saling menatap, nafas mereka saling beradu, kamar yang dingin hawanya menjadi panas. Pikiran dan hatinya tidak sejalan, rasa gairah melebihi pikirannya.
William memberanikan diri menyentuh jemari Anjani. Anjani menahan nafas, ketika tangan hangat William menyentuhnya. Rasa hangat itu menjalar ke tubuh. William memperhatikan Anjani, rasa penasarannya cukup kuat, ia lalu menangkup wajah itu dan menyatukan bibirnya dan bibir Anjani.
William melumat bibir Anjani dengan cepat, seolah tidak ada hari esok. Ia menghisap bibir bawah dan bibir atas secara bergantian. William mengobrak-abrik bibirnya. Mimpi buruknya beberapa menit yang lalu, ingin ia hindari, justru kini ia rasakan.
Tangan Anjani justru menyentuh dadanya, oh God, ternyata tegap sekali, ia memegang d**a William menelusurinya d**a bidangnya. Ia yakin William menjaga tubuhnya dengan baik. Harusnya ia menendang William, namun justru ia mengalungkan tangannya ke leher pria itu. Tangan William menarik pinggangnya dan kini tubuh mereka tidak ada jarak dan saling menempel.
Ia tahu ia sekarang gila, bibirnya sudah hanyut dalam kecupan William. Pria itu menghisap bibir bawahnya dengan penuh gairah. Lidahnya merajalela di dalam rongga mulutnya.
Kini justru ia gantian menyerang bibir William, ia hisap secara bergantian. Lidah mereka saling berbelit. William mengangkat tubuhnya dan tungkai kakinya melingkar di sisi pinggang William. Kini mereka berdua sama-sama terbakar gairah. Tidak ada yang ingin saling menghentikan satu sama lain. Lumatan-lumatan semakin cepat.
Mereka saling menghisap dan memainkan lidah. William menjatuhkan tubuh Anjani ke tempat tidur. William masih menyerang bibirnya semakin ganas.
“Will …” ucap Anjani mencoba untuk melepaskan satu detik, menarik oksigen. Namun William tetap menciumnya dengan brutal.
William mencium secara ganas, membuatnya tambah b*******h. Ia tidak bisa berpikir jernih, mereka masih saling menghisap bibir. Oh God, mereka tidak berhenti mengecup, kecapan itu saling terdengar satu sama lain.
Tangan William aktif menyentuh d**a, ia meremas, dan memijat dengan kedua tangannya tanpa melepaskan kecupannya. Beberapa menit kemudian, Willi melepaskan kecupannya, kini bibirnya beralih ke leher Anjani.
Anjani reflek mendongkan kepalanya, agar William mengecupnya lebih dalam. Dia menghisap dan memainkan lidah. Desahan-desahan halus keluar dari bibir Anjani. Ia tidak munafik bahwa ia suka dengan sentuhan William.
Pada detik ini ia menyadari bahwa ia tidak bisa berhenti, mendesah. Kecupan-kecupan William turun ke bawah, kedua tangan William lalu membuka satu persatu kancing kemeja Anjani dengan cepat. Ia memandang bra putih transparant di sana.
Wiliam membuka pengait bra dari belakang, ia lalu membenamkan wajahnya di d**a. Ia menghisap d**a itu seperti bayi kehausan. Rasanya geli bercampur nikmat. Anjani menyisiri rambut William dengan jemarinya. Rambutnya halus, beraroma segar. Desahan-desahan keluar dari mulutnya. Ia tidak bisa berhenti.
William menghisap dadanya secara bergantian. Rasanya sangat luar biasa. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia tidak di sentuh seperti ini, rasanya sangat nikmat. William menghisap dadanya dengat kuat, ia berteriak karena nikmat.
Lalu bibir William turun ke bawah, mengecup perut ratanya. Bibirnya turun ke bawah dan membuka pengait celana kulot Anjani. Beberapa detik kemudian celana itu lolos dan tergeletak di lantai, yang tersisa hanya g-string putih transparan.
Bibir William turun semakin ke bawah, ia mengecup miss v dengan pelan, lalu dengan cepat ia menarik g-string itu ke bawah. Ia membuka tungkai kaki Anjani, lalu menelusuri dinding miss v dengan lidahnya. Ia memainkan lidah, menghisap dan menjilat. Rasanya geli, bercampur nikmat.
Anjani melenguh tanpa henti ketika William menghisap dan memainkan lidahnya. Ia tidak menjelaskan bagaimana nikmatnya permainan ini. Ia hilang control, ia ingin William memainkannya lebih dalam. William memasukan dua jarinya ke dalam miss v, dan memompanya dengan penuh tekanan. Ia melihat reaksi Anjani, dia terlihat sangat menikmati.
Ia memompanya dengan tekanan dan kecepatan penuh. Hingga akhirnya tubuh Anja menegang lalu di susul dengan getaran dahsyat seperti terhempas-hempas. Anja berteriak, akhirnya ia mengeluarkan cairan eforia dalam tubuhnya.
Tubuh Anjani lemas tidak berdaya, karena sudah mendapat o*****e pertamanya. Ia memandang William, pria itu membuka seluruh pakaian yang dia kenakan. Punyanya sudah berdiri tegak. Pria itu mendekatinya, lalu tersenyum kepadanya.
“Better?”
“Yes.”
William memasukan miliknya ke miss v Anjani, ia lalu menggoyangkan pinggulnya.
“Ahhh,” desah Anja sudah terbakar gairah.
Wiliam memompanya dengan natural, tangannya memijat d**a Anja secara perlahan, sambil menggoyangkan pinggulnya. Sekian detik dorongan itu semakin cepat dan kuat. Ketika ingin keluar, William lalu mengontrol kecepatnya. Ia membalikan tubuh Anja dari belakang, ia masukan miliknya lagi dan memompanya.
Anja tidak bisa berhenti mendesah, ia tidak bisa mengungkapkan bagaimana nikmatnya permainan Wiliam. Berbagai gaya pria itu lakukan, kini kedua kakinya naik ke atas bahu William. Pria itu mendorong pinggulnya dengan penuh penekanan. Semakin cepat dan keras. Mereka berdua saling melenguh, hingga akhirnya, William mengeluarkan eforia dalam tubuhnya. Ia benar-benar dibawa berkali-kali ke dalam nirwana yang indah.
William dan Anja, berbaring sambil menetralkan nafas. Permainan mereka sangat luar biasa. Mereka tidak menyangka bahwa saat pertemuan pertama ini mereka melakukannya. Beberapa menit kemudian, William mengubah posisi tubuhnya menyamping menatap Anja. Wanita itu menarik bed cover hingga ke d**a.
William tersenyum, ia menyentuh pipi Anja dengan lembut, “Apa permainan saya menyakiti kamu?” Tanya William.
Anja menggelengkan kepala, “Sama sekali nggak?”
“Kamu suka?”
“Apa saya harus menjawab, setelah kita sudah melakukannya?”
William tertawa, ia pandangi iris mata bening itu, “Saya tidak ingin hubungan kita sampai di sini,” gumam William.
“Why?”
“Karena saya sudah merasakan bagaimana nikmatnya bercinta dengan kamu,” bisik Wiliam.
“Istirahat lah, kamu pasti lelah,” ucap William, ia memandang Anja yang mengubah posisi tidurnya menyamping, namun William menarik tubuh Anja, dan membenamkan wajah itu ke dadanya.
“Enjoy our moment.”
***
Sementara di sisi lain Oscra membawa Juliet ke SKYE. Mereka duduk di kursi bar, karena ini lah kursi yang tersedia ketika mereka tidak mereservasi terlebih dahulu. Oscar dan Juliet menikmati pemandangan gedung pencakar langit dari ketinggian. Suasananya sangat nyaman sambil menikmati live music.
Oscar memesan dua beer berukuran besar dengan side dish berupa French fries dan calamari. Oscar meneguk beer bergelas besar itu. Di sini ia dan Juliet memang bersantai menikmati malam berdua. Sementara Juliet memakan kentang gorengnya dengan tenang.
“Kamu sering males nggak, kalau udah rebahan?” Tanya Oscar membuka topik pembicaraan kepada Juliet.
“Sering lah, kenapa?”
“Trik kamu kalau udah males gitu apa?” Tanya Oscar.
Juliet tertawa, “Yang pertama saya hapus sosmed dari HP, hapus twitter sama IG yang menurut saya itu menghabisi waktu. Jadi kalau mau buka sosmed dari browser. Karena ribet, jadi waktu buka sosmed jadi males duluan,” ucap Juliet.
“Terus, kalau udah males itu. Usahain tidur awal jam delapan. Nanti bangun pagi buta, badan jadi seger sih setelah bangun pagi.”
“Biasa kalau nggak males itu, saya buat schedule prioritas, jadi mulai fokus lagi. Note nya begini, kalau kamu bisa menyelesaikan tugasmu lebih cepat, maka kamu bisa rebahan lebih cepat.”
“Jadi itu yang kamu kerjain waktu di Bali?” Tanya Oscar.
Juliet meraih gelas beer nya ia meneguk beer nya secara perlahan, “Iya, seperti itu lah.”
“Kalau kamu?” Tanya Juliet.
“Saya pada dasarnya seneng kerja, yaudah kalau kerja, langsung fokus. Enggak terganggu dengan ponsel.” Oscar mengambil kentang goreng dan memasukan ke dalam mulutnya.
“Kamu kepikiran jalin hubungan dengan pria nggak?” Tanya Oscar.
Juliet memandang Oscar cukup serius, “Belum sih kayaknya, masih enak sendiri,” Juliet terkekeh.
“Ini suudah dua tahun, harusnya kamu sudah move on.”
“I know. Kalau deket sih boleh, jika menikah, kayaknya sih masih jauh, enggak kepikiran mau nikah lagi.”
“Why?”
“Kerena menurut saya menikah itu membutuhkan kompromi yang luar biasa dari dua belah pihak. Kalau belum siap melepaskan ego sebaiknya jangan menikah. Dibutuhkan kedewasaan mental yang luar biasa untuk hidup dengan seseorang yang benar-benar berbeda pandangan,” ucap Juliet.
“Saya nggak ingin menikah karena saya belum siap untuk bisa kompromi dengan orang lain.”
“Kalau saya adalah orang yang ngajak kamu menikah bagaimana?” Tanya Oscar.
“Come on, saya nggak akan melakukannya Oscar …”
“Karena kamu mantan adik saya,” jawab Oscar melanjutkan ucapan Juliet.
Juliet tertawa, “Itu kamu tahu jawabannya.”
“I don't care. Saya pastikan, kamu bersama saya.”
“Enggak akan, kalau saya menahannya.”
Oscar meraih gelas lalu meneguk beer nya lagi, ia mencondongkan wajahnya menatap Juliet dari jarak dekat. Ia dapat mencium aruma mawah putih dari tubuh Juliet.
“Kita lihat saja nanti,” bisik Oscar.
Mereka saling menatap satu sama lain, membuat hati Juliet maraton. Juliet hanya bergeming ketika jemari Oscar menyentuh bibirnya. Seketika mereka sama-sama teringat, bagaimana mereka saling mengecup dulu.
“Kamu masih ingat kecupan kita?”
Juliet menelan ludah, bagaimana ia bisa lupa, karena itulah kecupan terindah yang pernah ia rasakan seumur hidupnya.
“Saya sudah melupakannya,” gumam Juliet pelan.
“Apa kita perlu mencobanya lagi, agar kamu mengingatnya.”
***