Bab 9

2637 Words
HAPPY READING *** “Oscar …” Bagaimana bisa lupa tentang kejadian masa lalu, bahkan ini sudah dua tahun berlalu. Kecupan itu sangat membekas dalam ingatannya dengan jelas. Tidak hanya itu hal-hal yang berhubungan dengan Oscar dulu, tidak ada satupun ia lupakan. Semakin ia berusaha melupakan, semakin teringat jelas. Walau ia sudah berusaha menyibukan diri, mengalihkan perhatiannya ke pekerjaan. Tapi tetap saja belum bisa melupakannya. Bahkan hati ini justru semakin berantakan ketika mereka bertemu lagi. Oh God, bahkan aroma parfume Oscar masih teringat jelas dalam ingatannya. Juliet mengalihkan pandangannya ke arah live music, ia sebenarnya bingung akan mulai dari mana. Sedangkan Oscar tersenyum penuh arti menatap Juliet yang sedang menunjukan ekpresi bingung. Jujur Oscar ingin sekali mengecup bibir itu secara bertubi-tubi hingga wanita itu kehabisan nafas. Namun ia masih menahan diri untuk melakukannya. Kata orang biar waktu yang mengobati. Tapi kenyataanya tidak pernah bisa lupa. Hatinya bersorak sorai bahagia, karena sudah berhasil berdua dengan Oscar saat ini. “I think you still remember,” ucap Oscar menatap Juliet. Juliet memandang iris mata tajam itu di bawah pencahayaan temaram, “Yes that's right. I still remember,” ucap Juliet pada akhirnya, ia tidak bisa berbohong kalau dia benar-benar tidak lupa. Juliet menundukan kepala, ia mengakui kalau ia masih tidak bisa melupakan ciuman mereka dulu. Juliet merasakan tangan Oscar berada di pundaknya, ia menoleh menatap pria itu. Tatapannya tajam dan sulit ia artikan, bahkan tidak terbaca. “Orang tua kamu bagaimana kabarnya?” Tanya Oscar, semenjak ia putus dari Rose, ia memang tidak menanyakan lagi keberadaan beliau. “Baik. Kenapa?” “Saya hanya ingin tahu saja. Karena sejak saya putus dari Rose, nggak pernah ke sana,” ucap Oscar. Oscar mengambil gelas berisi beer nya, ia melepaskan rangkulannya, ia takut kalau Juliet tidak nyaman di dekatnya, jika ia terus-terus merangkulnya Ia akui, bahwa sebenarnya ia sudah cukup kenal dengan keluarga Juliet. Orang tuanya sangat welcome kepadanya. Bahkan dulu ketika ia berpacaran dengan Rose, menyuruhnya segera menikah. “Kamu mau main ke rumah orang tua saya?” Tanya Juliet. “Next time. Saya nggak tau orang tua kamu menerima saya lagi apa tidak, ketika saya memutuskan hubungan dengan Rose.” “Saya pikir mama dan papa, bukan orang tua yang seperti itu. Dia pasti akan terima kamu lagi di rumah. Datanglah kalau mau sekedar main atau menyapa.” “Lagian kamu dan Rose, putus juga baik-baik kan.” Oscar tertawa, ia meneguk beernya lagi, “Saya putus dengan Rose, alasannya kamu Juliet. Tapi saya tidak tahu apa orang tua kamu tahu apa tidak dengan alasan saya putus dengan Rose. Semoga saja Rose tidak menceritakannya.” Juliet mengambil gelas berisi beer nya, ia meneguknya lagi. Ia memilih diam, tidak menjawab ucapan Oscar. Karena kisah ini terlalu pelik jika diteruskan. Walau hatinya tidak bisa berbohong kalau ia juga menyukai Oscar. Hanya pria itulah yang benar-benar bisa mengerti dirinya. Ia tidak bisa membayangkan apa yang dipikiran orang tuanya, jika Oscar dan Rose putus karena dirinya. Jika ia berhasil bersama Oscar, tentu saja ia terlihat wanita paling licik di dunia ini, karena berhasil merebut mantan adiknya. Karena dialah alasan mereka putus. Pandangan masyarakat tentang dirinya pasti berbeda, status janda lalu mengambil kekasih milik adiknya sendiri demi kekosongan jiwa. Perbuatannya ini tentu saja dibenci oleh masyarakat. Live music itu sekarang mengganti lagunya dengan Belahan Jiwa – Kla Project. Lirik-lirik lagunya sangat cantik tapi juga penuh optimistic dalam menggambarkan urusan cinta. Antara lirik cinta dan platonic dan dinamika asmara terdengar realistis. Lagu itu seperti menggambarkan kisah rindunya kepada Oscar setiap malam. Lagunya mempunyai kenangan tersendiri. Juliet melirik Oscar yang menikmati lagu, pria itu meliriknya dan menyungging senyum. “Kamu nikmati lagunya?” Tanya Oscar. “Iya.” “Liriknya sangat indah,” gumam Oscar.” “Exactly.” “Seperti itu lah, saya setia menunggu selama dua tahun hanya untuk menanti kamu.” Juliet mengambil gelas, ia meneguk beer nya lagi. Ia tahu bahwa ini terdengar gila, lagu ini juga menggambarkan apa yang telah ia rasakan dulu. Sekarang hatinya gelisah luar biasa, karena rasa rindunya semakin menggila. Kata orang salah satu cara untuk melepas rindu adalah saling bertemu. Ketika sudah bertemu seperti ini, ia menatap wajah dingin namun tetap mengahangatkan, rasa rindunya justru semakin bertambah. Rindu ini bukan miliknya saja tapi Oscar pun begitu. Ia memejamkan mata, lihat dari matanya, denyut hati tanpa henti mengatakan masih tetap hati yang sama. Live music tadi kini berubah jadi hening, karena panggung itu kini berganti dengan music DJ. Oscar dan Juliet menyaksikan tamu yang ada di indoor lalu keluar ke bar. “Yo… yo… yo…,” ucap DJ. “One hour to countdown. Are you ready party?” “Stop talking, just play the music,” terika salah satu tamu membuat para tamu bergemuruh dengan tawa dari semua orang termasuk dirinya dan Oscar. “I’m with you, mate. Now say the magic word, people,” teriak sang DJ. Tiba-tiba semua orang disekelilingnya berteriak bersama-sama, “We want music! We want music! We want music!” Teriak mereka berkali-kali. Juliet melirik Oscar berteriak hal yang sama, pria itu tertawa, tawanya sangat tampan. Giginya berjejer rapi dan putih. Ia melihat sekelilingnya, masih berteriak di bar, berharap DJ segera memainkan music. “I can’t hear you,” teriak DJ, dia memperagakan aksinya bahwa dia tidak bisa mendengar. “We want music! We want music!” Ucap para pengunjung serentak. “We wanit music!” “Music!!!” DJ itu tersenyum lalu memainkan music DJ, music Tsunami – Dvbbs, Borgeous terdengar di segala sisi. Hampir semua tamu di sini menikmati music sambil bergoyang, menikmati party. Ia tidak tahu bahwa malam ini ternyata ada party di SKYE. Ia tidak bisa menutupi rasa bahagianya, ia ikut tertawa menikmati music di kursi bar, sambil meneguk beer. Oscar memegang tangannya, meraih jemarinya, ia selipkan jemari-jemari itu di sela-sela tangannya. Hawa dingin kini berubah jadi hangat dan lembut. Hatinya berdesir, menikmati malam, tanpa merasa canggung menggenggam erat. Pria itu menatapnya dan menyungging senyum, “Come on, bersenang-senang lah malam ini,” ucap Oscar. Juliet menegakan kepala, ia tidak tahu kapan terakhir ia bersenang-senang seperti ini. Ah, rasanya sangat luar biasa, memandang pesta, rius tawa dan sorak sorai di sekelilingnya. “Oscar!” Oscar dan Juliet menatap ke depan, ia memandang seorang pria di sana. Oscar melambaikan tangannya ke arah seorang pria mengenakan kemeja hitam di sana. Pria itu mendekat sambil menyungging senyum. “Siapa?” Tanya Juliet. “Steven, teman saya.” Oscar menatap Steven kini sudah berada di hadapannya, “Hai, apa kabar men?” Tanya Steven kepada Oscar, ia menepuk bahu sahabatnya. “Baik. Lo apa kabarnya?” Tanya Steven, ia melirik seorang wanita di samping Oscar, wajahnya tidak asing. Ia pernah melihat wanita ini sebelumnya, tapi tidak tahu di mana. “Baik dong.” “Gue nggak nyangka lo di sini,” ucap Steven tertawa. “Gue juga. Lo pasti tau di sini bakalan ada party.” Steven tertawa, “Ya, tau lah. Macam lo nggak tau gue aja.”” Oscar melirik Juliet, “Juliet, ini Steven temen saya.” Juliet tersenyum, “Hai,” tanpa berjabat tangan, karena tangan kanannya masih di genggam erat dengan Oscar. “Lo sendiri?” Tanya Oscar penasaran. “Enggak sih ada temen,” ucap Steven. Juliet mencoba menegakan kepalanya, ia menatap beberapa orang wanita mendekati Steven dan Oscar. Steven sangat ramah kepada wanita-wanita itu, sambil “hi” lalu mencium pipi kiri dan kanan, bahkan memeluk dengan bahagia. Ia melirik Oscar, yang masih bertahan di sisinya, sama sekali tidak menyetuh wanita-wanita berparas cantik itu. Hanya sebatas “hai” dan tawa bersahabat. Oscar mencoba menjaga jarak dengan wanita-wanita yang terlihat akrab dengan Steven. Ia yakin Steven itu pria perayu ulung, lihat saja gayanya sangat nice dengan siapa saja. Ia melihat Steven agak ganas memeluk wanita, bahkan mengecup cuping wanita itu. Juliet sendiri ia ingin melepaskan genggamannya beberapa kali, namun Oscar menahannya. Pria itu sepertinya tidak memberikan ruang gerak untuk dirinya menjauh. Mereka hanya menatap Steven bersama teman-teman wanitanya. Pria mana yang menolak kehadiran wanita muda, cantik, dan seksi. Ia tidak bisa membayangkan bahwa Steven itu Oscar. Ia yakin pria yang bernama Steven itu sangat playboy, lihat saja bagaimana cara dia menunjukan pesonanya terhadap wanita-wanita itu. Dua puluh menit kemudian, akhirnya Oscar dan Juliet mundur dari hadapan Steven dan teman-teman wanitanya. Ia menatap Oscar membayar tagihan bill mereka sebelum meninggalkan SKYE. “Habis ini kita ke mana?’ Tanya Juliet memandang Oscar setelah membayar tagihan bill mereka. “Mau ke pantai nggak?” Tanya Oscar. Juliet mengangguk, “Iya, boleh.” “Kamu kelihatan banget nggak suka di bar,” ucap Oscar, ia menarik jemari Juliet, ia genggam tangan itu dan ia tautkan ke sela-sela jemarinya. “Suka kok, cuma enggak enak aja lihat teman kamu itu.” “Steven?” Juliet mengangguk, “Iya. Ini kan bar ya, udah kayak di club gitu bawaan dia, pegang sana pegang sini.” “Dia dokter hebat loh,” ucap Oscar. “Owh ya? Dokter apa?” “Dokter spesialis bedah saraf?” “Really?” “Yes.” “Oh God, bagaimana bisa dia membagi waktunya antara dokter dan clubbing,” dengus Juliet. Oscar tertawa, “Dokter juga manusia, dia normal. Dia bisa mengesampingkan mana pekerjaan dan bagaimana cara bersenang-senang.” “I know, image dokter itu kan …” “Hemmm.” “Dia playboy banget ya kelihatannya?” Ucap Juliet kesal sendiri, melihat Steven yang memeluk wanita-wanita di sana. “Yupz, kamu benar. Saya juga nggak tau seberapa banyak wanita-wanita yang ia pacari. Dan memang, itu lah dia.” “Kamu sering ngumpul sama dia?” “Lumayan, kalau kita lagi free, kita biasa main golf, berkuda, Steven selalu ada.” “I see.” “Sudah siap move.” Juliet mengangguk, “Iya, sudah.” Oscar meraih jemari Juliet, ia selipkan tangan itu di sela-sela jemarinya. Mereka melewati keramaian tamu bar. Mereka melangkahkan kakinya menuju lift, lift membawa mereka menuju lantai basement. Ia memandang Oscar, pria itu tersenyum kepadanya, senyumnya sangat manis. Tanpa ia sadari selama ini ia merindukan senyum itu. Ia tidak pernah tahu bahwa Oscar hanya sekitar satu kepala darinya. Entah kenapa ia beranggapan bahwa Oscar selalu jauh lebih tinggi dari dirinya. Mungkin karena ia mengenakan high heels, sehingga perbedaan tingginya tidak terlalu nyata. Tiba-tiba ia merasa canggung seakan bahwa mereka baru saja baru pertama bertemu dan berkencan. Juliet menatapnya sejenak dengan ekpresi tidak terbaca Oscar. Pintu lift terbuka, mereka melangkahkan kakinya menuju mobilnya. *** Ketika di dalam mobil, ia mengambil posisi nyaman, tubuhnya bersandar di kursi. Oscar menghidupkan mesin mobil, pria itu menghidupkan lampu dasbor, ia mengambil botol mineral. “Kamu haus nggak?” Tanya Oscar. Juliet mengangguk, “Iya.” Oscar membuka tutup botol itu dan menyerahkannya kepada Juliet. Juliet mengambilnya dan meneguk air mineral itu. “Kapan-kapan mau nggak main golf?” Tanya Oscar. “Boleh, kamu biasa main di mana?” “Biasa di Pondok Indah, kebetulan deket ruma Steven dan Bimo. Biasa ke PIK juga, yah yang mana enaknya aja sih. Biasa random aja, kalau hari libur yaudah saling w******p, sempetin waktu ngumpul, tukar pikiran, ngelakuin hobi.” “Terus.” “Enggak ada terusnya. Gitu aja, hari-hari biasa ya kita fokus, sibuk kerja.” Juliet sudah selesai meneguk air mineralnya, ia menyerahkan botol itu kepada Oscar. Oscar menutup air mineral itu, lalu menghidupkan mesin mobil. Tidak lupa memasang sabuk pengaman, setelah itu mobil meninggalkan Menara BCA. Oscar melirik jam melingkar di tangannya menujukan pukul 22.10 menit. Ia melajukan mobilnya menuju ancol. Juliet menatap Oscar, pria itu fokus dengan setir, sambil memperhatikan jarak. “Kamu berapa saudara?” Tanya Juliet penasaran, selama ini ia tidak tahu kehidupa Oscar seperti apa. “Dua, saudara saya namanya Leon.” “Leon?” “Sudah nikah?” “Belum, dia sama sekali belum menikah. Kemarin sih waktu anniversary company nya dia, dia bawa pasangan, namanya Sophia profesinya dokter. Diperkenalkan sama keluarga, ada mama dan papa. Katanya sih temennya dulu SMA.” “Orang tua sih, setuju-setuju aja. Tapi kemarin saya ketemu Leon sama wanita yang berbeda lagi, bukan Sophia yang ia bawa kemarin. Mungkin Leon masih seleksi sana sini, baru memutuskan untuk menikah.” “Kalau kamu?” Oscar tertawa, ia melirik Juliet, “Saya, masih setia nungguin kamu.” “Hemmm.” Oscar tertawa, ia menekan pedal gas dengan kecepatan tinggi karena jalan lagi lenggang. Oscar melirik Juliet yang hanya diam. Ia membuka dasbor, ia melihat sebuah maps di sana. Ia mengambil maps itu dan melihat apa isi dalamnya. Ia memandang lipatan kertas empat di sana, seperti contekan anak SMA. Ia membuka kertas itu, ketika di buka ternyata obligasi keselip dengan nilai 5 milyar. “Kenapa?” Tanya Oscar. “Ini punya kamu?” Tanya Juliet. “Iya. Saya agak lupa sih itu apa,” ucap Oscar, karena ia tidak pernah memeriksa isi dasbornya. “Ini Obligasi, senilai 5 milyar loh ini,” ucap Juliet memperlihatkan kepada Oscar. “Hemmm, saya beneran lupa loh, kalau saya pernah beli obligasi.” “Ya ampun kamu ini.” “Oke, simpan itu, nanti pulang ke rumah, saya taruh di berangkas.” “Kok kamu bisa lupa.” “Mungkin waktu itu buru-buru.” “Mobil ini nggak ada yang make selain kamu?” “Enggak ada, biasa driver sih yang bersihin. Kalau driver saya, pasti jujur, nggak bakalan otak-atik, palingan bersihin debu-debu dan air mineral harus tersedia di mobil saya.” “Ini simpan di sini lagi ya.” “Iya.” Juliet menyandarkan punggungnya di kursi, ia tahu bahwa mereka tidak terlalu tahu berapa harta yang mereka miliki. Mereka memiliki orang khusus yang menghitung harta mereka, misahin harta pribadi, prusahaan dan bayar pajak. Mereka memastiikan bahwa pajak dibayar tepat waktu. *** Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka tiba di pantai Ancol. Oscar dan Juliet keluar dari mobil, kini mereka melangkah menuju jembatan. Mereka menikmati angin pantai di malam hari. Juliet menyandarkan. Malam-malam begini mereka malah ke pantai, tidak ada siapa-siapa di sini, kecuali dirinya dan Oscar. Oscar melirik Juliet yang berada di sampingnya, ia lupa kapan terakhir ia ke pantai, rasanya lama sekali. Oscar menatap Juliet, ia pandangi wajah cantik itu yang sedang melipat tangannya di d**a. Oscar lalu merangkul bahu itu, mereka berjalan melewati jembatan. “Kamu sering ke sini?” Oscar tertawa, “Pernah dulu, tapi sudah lama sekali, jaman sekolah kali ya,” ucap Oscar. “Kamu?” “Baru sama kamu.” Juliet menatap Oscar dibawah cahaya lampu, ia melihat iris mata Oscar berwarna hazel, aksen campuran dengan warna coklat terang dengan aksen hijau dan orange. Sangat indah menurutnya. Ia sadar bahwa ia sedang memfokuskan perhatiannya kepada Oscar. “Kamu sadar nggak, kalau mata kamu itu ada hijaunya,” ucap Juliet. “You mean, about my eyes?” Tanya Oscar. Juliet mengangguk, ia senang mendengar aksen Inggris Oscar yang british, kata about dia melafalkannya dengan aboot. “Iya, mata kamu.” “Saya jarang memperhatikannya. Tapi banyak orang mengatakan seperti itu.” Mereka saling menatap berberapa detik, ia memandang Oscar. Entah dorongan apa ia berjinjit menarik kemeja Oscar, dan kemudian menciumnya bibir Oscar begitu saja. Oscar tidak percaya bahwa detik ini Juliet menciumnya dengan dalam. Cara mereka berciuman terkesan seperti besok akan kiamat. Ia mengingat bahwa hari ini adalah hari di mana ia ingin merasakan lagi bagaimana mencium Oscar. Ia tidak mengkhawatirkan Oscar akan berbuat macam-macam, karena mereka berada di pantai. Ciuman mereka basah, dalam dan menyeluruh. Mereka meluapkan kerinduan diatas ciuman. Juliet bisa merasakan bahwa ia harus mengambil napas, karena ia perlu mengambil udara. Ia benar-benar mencium Oscar. Bibir mereka saling menghisap dan lidah mereka membelit. Mereka sadar bahwa mereka berada di pantai. “We need to slow down,” bisik Oscar, Oscar lah yang menyelamatkannya dari gairah. Oscar menangkup wajah Juliet, nafas mereka berdua terengah-engah, “We need room, to do this,” bisik Oscar, ia mengecup bibirnya dengan lembut. “Oh, no,” ucap Juliet, ia menutup wajahnya dengan tangan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD