Bab 7

2375 Words
HAPPY READING *** Anjani menatap William, pria itu sedang memandang katalog dan penawaran harga yang ia ajukan. Oh God, ia tidak percaya bahwa kliennya setampan itu. Lihatlah ketampannya bertambah dia ketika dia membaca cukup serius. Ia menunggu William membaca penawarannya hingga pria itu paham. William menutup katalog dan penawaran harga yang sudah tercantum. Ia menatap Anjani, ia memperhatikan struktur wajah, dia memiliki hidung yang mancung, alis terukir sempurna dan bibir penuh yang di olesi lipstick berwarna merah menggoda. William meraih gelas berisi kopi itu, ia sebagai klien sudah cocok dengan harga yang di tawarkan. Walau harga dipasaran ada yang lebih murah dengan merek berbeda, namun ia tetap mengutamakan kualitas. Banyak teman-teman sesama pengusaha property seperti dirinya, dia menggunakan produk ini untuk material bangunan. Ia memerlukan produk ini, sebagai bahan baku utama propertynya. “Sebenarnya banyak teman saya yang menggunakan produk ini. Saya cocok dengan penawaran harga kamu, nanti sekretaris saya hubungin kamu.” Anjani tidak menutupi rasa bahagianya, ia suka dengan buyer yang seperti William, tidak terlalu berkelit tentang tawar menawar, cocok harga langsung deal. Tipe buyer seperti William ini tipe pembeli yang loyal, dia tidak terlalu memperhatikan soal harga. Mereka cenderung lebih fokus terhadap kualitas produk. Cara menarik perhatian pembeli loyal ini tentu saja ia memperlakukannya dengan special. Pembeli loyal seperti ini akan merasa senang ketika diperhatikan dan merasa dihargai. “Baik pak, saya tunggu konfirmasinya bapak nanti.” “Kamu sudah lama kerja di sini?” Tanya William, sambil menyantap hidangan pembuka. “Sudah hampir sembilan tahun, pak.” “Wow, lama juga ya.” Anjani tersenyum, “Iya, pak.” “Sudah menikah?” Tanya William, ia tahu bahwa ia menanyakan ini sudah masuk ke dalam personal, masalahnya tidak ada lagi yang harus dibicarakan, karena mereka sudah mengetahui satu sama lain. “Saya belum menikah, pak. Kalau bapak?” Tanya Anjani. William menyungging senyum, “Belum juga.” “Umur kamu berapa?” “29 tahun.” William menatap “Umur sudah dewasa, enggak kepikiran buat nikah?” “Enggak, saya sama sekali nggak kepikiran buat nikah.” “Sama kalau begitu, saya juga nggak kepikiran buat nikah.” “Alasan bapak tidak ingin menikah, apa?” Tanya Anjani penasaran ia menatap William. “Mungkin beda orang, kadar egoisnya juga beda. Saya ini egosinya yang level lebih baik tidak menikah daripada harus saling menyakiti. Selain itu saya juga merasa jika menikah nanti ada kemungkinan-kemungkinan hal buruk terjadi, karena menikah itu menyatukan dua keluarga, takutnya keluarga saya dan pasangan saya itu nggak cocok. Banyak kasus mertua seperti itu.” “Saya akan menikah jika ada seorang wanita yang mengerti keegoisan saya. I know, setiap orang memberi pengaruh yang lebih kepada seseorang. Hingga saat ini saya belum menemukan wanita yang mempengaruhi keegosian saya, meyakinkan keraguan saya tentang menikah, menumbuhkan saya berani mengambil keputusan, menerima kondisi saya, dan ingin berjalan melintasi waktu hidup bersama dengan saya, mungkin saya akan berubah.” “Sayangnya, sosok wanita seperti itu, sulit saya temukan.” Anjani paham apa yang di ucapkan William, “Saran saya, kamu mencari sosok yang sependapat sama kamu. Jika merasa cukup dengan diri sendiri dan lebih baik bahagia sendiri.” “Exactly.” “Kalau kamu?” Anjani tertawa, “Mungkin sel cinta saya sudah mati.” William tertawa, “Why?” “Menurut saya, sebenernya tidak ada korelasi khusus antara rasa cinta dan keinginan menikah. Faktanya cinta tidak cukup untuk menjadi motivasi menikah. Untuk sebagian besar orang justru mungkin kondisi usia, latar belakang keluarga, ekonomi membuatnya memutuskan untuk menikah.” “Exaclty, saya setuju sama kamu,” ia membenarkan ucapan Anjani. “Saya dulu juga sama seperti wanita pada umumnya, ingin menikah, bahkan ngebet pengen. Tapi saya punya temen satu kantor, dia mengalami trauma, umurnya 35 tahun di atas saya. Waktu ditanya, kenapa? Alasannya karena kakaknya bunuh diri loncat dari apartemen karena berkelahi dengan suaminya. Akhirnya dia memilih tidak menikah, karena menikah semenyeramkan itu. Enggak ada bahagia-bahagianya.” “Kalau alasan kamu sendiri, bagaimana?” Tanya William. “Alasan terbaik saya untuk tidak menikah adalah kebebasan. Ketika sudah menikah, otomatis kebebasan teralihkan untuk keluarga, jika tidak menikah saya masih bebas melakukan apapun yang saya mau tanpa perlu memikirkan suami dan anak.” “Sederhana saja, saya tidak mau diatur-atur dengan yang berbelit-belit serta tidak mau mencurigai pasangan dengan overprotektif, saya butuh ketenangan dan kesendirian.” Bibir William terangkat, ia menatap Anjani cukup serius. Pemikirannya dan wanita di hadapannya ini memang sama, hanya saja beda penjabaran saja. Mereka sama-sama egosi untuk melakukan kegiatan menikah. Tidak butuh waktu lama, server datang menyiapkan hidangan utama di atas meja berupa salmon salad, wagyu steak medium rare with mushroom sauce, lamb with blackpaper sause dan ice lemon tea. Semua dihidangankan sangat fresh. William meraih gelas berisi ice lemon, ia sesap sambil menatap Anjani. Ia baru kali ini bertemu dengan seorang wanita yang enggan menikah. Karena sebanyak-banyak wanita yang ia kenal, merengek-merengek untuk dinikahi secepatnya. Tapi wanita di hadapannya ini berbeda, sama seperti dirinya. “Menurut kamu FWB (Friend with benefit) dalam versi kamu itu apa?” Tanya William ia mengubah topik pembicaraan. Anjani mengangguk paham, ia memakan dim sumnya dengan tenang, lalu memandang William yang sedang menunggu jawabannya, “Setahu saya, FWB itu hubungan pertemanan yang sangat dekat antara satu sama lain tanpa melibatkan perasaan. Biasa orang yang melakukan itu, orang-orang yang jenuh dengan hubungan konvensional yang biasanya dianggap terlalu mengikat dan membelenggu.” “Sedangkan FWB ini lebih membebaskan satu sama lain walau sebatas teman. Tapi pada akhirnya tetep saja hubungan itu berujung pada suatu hubungan seksual. FWB itu dianggap lebih ideal dibanding affair atau one night stand.” “Akan lebih baik jika ingin memulai FWB, dari awal udah ada kesepakatan antara kalian berdua jika hubungan ini hanya sebatas FWB, jadi kedepannya tidak ada yang harus terbawa perasaan. Make it as simple as possible, karena memang ini semestinya adalah hubungan yang simple, no drama, no tears.” “Tapi saya pikir, semua manusia dapat jatuh waktu hidup di bumi. Kembali ke manusinya itu sendiri, mau dimanfaatkan seperti apa kehidupan ini. Become a quality person by time or chasing illusion?” William tertawa, ia setuju dengan pendapat Anjani, “Jadi menurut kamu tujuan FWB itu apa?” “Menurut saya FWB itu sangat mustahil, karena menjalankan sebuah hubungan lawan jenis tanpa dipengaruhi oleh perasaan suka? Jika memang itu alasannya, sungguh malang orang yang menjalani hubungan itu, semacam tidak lebih dari sekedar alat main birahi dan gairah dengan mempermainkan perasaan masing-masing,” ucap Anjani. Wiliam menatap Anjani cukup serius, “I think, itu kembali lagi yang menjalani hubungan tersebut. Apakah itu melibatkan asmara? Atau hanya mengisi hari-hari yang sepi.” “Saya pikir yang kamu sebutkan itu sangat manusiawi Anjani. Misalnya ortu sama anak, investor dan pelaku usaha. Proses ini akan selalu menguntungkan sampai ada salah satu pihak mengkhianati proses tersebut.” “Suatu hubungan itu tidak melulu soal asmara atau romansa. Kedua hal tersebut merupakan bagian dari klasifikasi hubungan itu sendiri,” ucap William. Anjani menatap William, “Kita membahas ini seperti bernegosiasi untuk melakukan FWB,” ucap Anjani. William lalu tertawa geli, “Exactly.” “Tapi saya lebih senang menjadi lajang seperti ini, tanpa FWB.” “Why? Kamu saja belum mencobanya Anjani.” “Percaya atau tidak, saat single seperti ini, banyak memiliki waktu untuk mengerjakan sesuatu, lebih fokus untuk diri sendiri, bisa me time, bisa menjalani hidup atas dasar prinsip yang kita bangun. Kita bisa eksplore ke sana dan ke mari tanpa perlu ribet izin dengan pasangan. Tapi FWB bukan pilihan yang buruk, untuk kita yang tidak ingin memiliki ikatan dengan siapapun.” “Jadi, kamu ingin FWB untuk mendapatkan hubungan seks kasual tanpa komitmen.” “Saya tidak munafik, dan saya ingin melakukan seperti itu.” “Really? Siapa wanitanya?” “Maybe, kamu.” “No, saya tidak tertarik dengan FWB, apalagi dengan klien saya.” “Ok, no problem,” gumam William. William menyelesaikan makannya, ia terakhir mengambil air mineral, ia menyungging senyum menatap Anjani. Mereka membahas panjang lebar tentang FWB, sepertinya wanita seperti Anjani sangat enak diajak diskusi dan membahas tentang apa saja. “Kamu tenang saja, saya deal dengan penawaran kamu.” “Terima kasih,” ucap Anjani. William menatap ada beberapa orang masuk mengisi table kosong, mungkin sudah masuk jam makan siang. Ia melirik jam melingkar di tangannya, menunjukan pukul 12.20 menit. Saat ini ia juga tidak berniat untuk pulang ke kantor. “Kamu sekarang akan mengajak saya ke mana lagi? Karena saya sudah sepakat kalau material saya ambil dengan kamu dalam jumlah besar.” “Sebenarnya jika pak Willi deal dengan penawaran saya. Saya akan memberi bapak vocer menginap di hotel bintang lima di Jakarta beberapa hari.” Alis William terangkat, “Tapi nginapnya sama kamu?” “Yah, nggak bisa bapak, saya hanya untuk menyenangkan bapak, karena sudah kerja sama dengan saya.” “Buat apa kan nginap di hotel sendiri, tanpa pasangan.” “Me time, mungkin.” William tertawa, “Come on, katanya kamu akan menyenangkan saya.” “Saya harus professional dalam bekerja.” “Tapi saya perlu teman untuk di kamar. Saya perlu teman ngobrol.” “Nanti saya akan carikan wanita untuk bapak, jika pak Willi mau.” “Saya bukan tipe pria yang bisa nyambung dalam obrolan. Tapi saya suka ngobrol sama kamu,” ucap Willi to the point. Anjani menarik nafas beberapa detik, ia menatap iris mata itu, bagaimanapun ia harus memperlakukan kliennya dengan special. “Oke, saya akan temani bapak ngobrol.” Bibir Willi terangkat, “Di hotel mana?” “Di hotel ini.” Anjani mengeluarkan surat perjanjian kerja sama dari map nya, ia menyerahkan kepada William. “Tolong bapak tanda tangani surat ini, sebagai bentuk kerja sama kita.” William membaca surat perjanjian kerja sama, “Apa nanti ada MOU lagi?” Tanya William. “Pasti ada pak, ini tanda tangan kesepakatan saja.” “Pulpen kamu mana?” Tanya William. Anjani mengambil pulpen di dalam tasnya, ia menyerahkan kepada William. Ia menatap William menandatangani surat itu, di atas matrai. William mengembalikan lagi kepada Anjani. “Terima kasih pak, atas kerja samanya.” “Sama-sama.” Suasana seketika hening, mereka saling menatap satu sama lain, mereka tidak tahu akan berbuat apa karena sibuk dengan pikiran masing-masing. “Mau chek in sekarang?” Tanya William to the point. Anja menelan ludah, ia tidak yakin dengan dirinya sendiri, apakah ia bisa tenang berduaan dengan Willi. Anjani menarik nafas, “Iya, kita chek in sekarang,” ucap Anja pada akhirnya, ia mengeluarkan vocer menginap di hotel untuk mitra dalam jumlah besar. Anjani berdiri, jujur jantungnya tidak berhenti maraton setelah meninggalkan table. Ia melangkahkan kakinya menuju meja counter receptionis. Anjani melirik William berada di sampingnya, pria itu memperhatiikannya. Jarak mereka sangat dekat, bahkan ia dapat mencium aroma parfum vanilla yang lembut, dan dipadukan dengan woody yang maskulin dan di susul dengan wangi apel yang membuat pria terlihat gentlemen tapi manis. Ia memberikan vocer itu kepada receptionis. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan jika berduaan dengan William di kamar hotel. Mereka bukan dua manusia suci yang tidak mengerti apa-apa tentang apa yang terjadi selanjutnya. Ini bukanlah tentang ngobrol biasa, tapi tentang bagaimana cara mempertahakan diri untuk tidak tergoda. Beberapa menit kemudian receptionis itu memberikan kunci akses kepada Anjani, ia mengucapkan terima kasih. “Sudah?” Tanya William. “Iya, sudah,” gumam Anja, oh Tuhan semoga saja ia bisa melewati semua ini. Anja dan William melangkahkan kakinya menuju lift. Mereka saling menatap satu sama lain, pintu lift seketika terbuka, tidak ada yang memulai percakapan dan tidak ada berani berkata apa yang ada di dalam pikiran. Mereka sejatinya dua orang anak manusia, yang terbiasa laknat di atas ranjang pendosa. *** Tepat jam empat sore, Oscar sudah berada di lobby. Ia menunggu Juliet di depan pintu lift. Beberapa detik kemudian pintu lift terbuka, pandangannya tertuju pada wanita yang mengenakan sheath dress berwarna coklat muda. Rambutnya dibiarkan terurai, dia terlihat sangat cantik seperti biasa. Mereka saling menatap dan memberikan senyum terbaik. Juliet melangkah mendekati Oscar. “Kamu dari tadi nungguin saya?” Tanya Juliet. “Enggak, saya baru aja sampai.” “Bawa mobil?” Oscar tertawa, “Tentu saja, mobil saya ada di basemen.” Juliet dan Oscar masuk ke dalam lift sebelah, karena akan menuju basemen. Lift membawa mereka menuju lantai bawah. “Emang mau ke mana?” Tanya Juliet. “Kalau saya ajak kamu ke rumah saya, apa kamu mau?” “Ah, kamu gitu terus.” “Bisa minum kan?” “Iya, bisa.” “Saya ingin ngajak kamu ngebeer.” “Oke.” Oscar tertawa, pintu lift terbuka menekan kunci central lock. Klason mobil BMW berwarna putih itu terdengar. Oscar membukakan pintu mobil untuk Juliet dan mempersilahkan masuk. Juliet tersenyum, ia akan membiarkan hatinya hari ini bersenang-senang. Semenit kemudian mobil meninggalkan area tower officenya. Juliet menatap Oscar, pria itu memanuver mobil. Dia memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya. Tubuh Oscar bersandar, tangan kanannya di setir dan tangan kirinya di persneling. Sementara Juliet, menghidupkan audio mobil agar tidak terlalu sepi. Sepanjang perjalanan mereka mendengarkan lagu sambil melihat kemacetan jam pulang kantor. “Bagaimana kerjaan kamu tadi?” Tanya Oscar kepada Juliet. “Baik, lancar seperti biasa. Kalau kamu?” “Seperti biasa, meeting A, meeting B, ketemu klien, terus pulang.” “Bosen nggak setiap hari seperti itu?” Tanya Juliet. “Enggak.” “Workholic banget kamu, ya.” Oscar tertawa, “Seperti itu lah kenyataanya. Tapi sudah ada kamu di sini, setidaknya saya tidak mengalami kecanduan bekerja. Kehadiran kamu, it’s work, buat saya lebih enjoy.” “Saya ingin quality time berdua sama kamu. Jalan, makan, berdua, maybe kita bisa nonton, hangout. Jujur saya sudah lama tidak melakukan kegiatan seperti itu. Then, sekarang saya melakukannya sama kamu.” “Saya boleh tanya?” Tanya Oscar menatap Juliet. “Tanya apa?” “Apa kamu ada dekat dengan pria lain?” Juliet menyungging senyum, “Enggak ada Oscar.” Oscar tersenyum, ia tidak bisa menutup rasa bahagianya, “Syukurlah kalau begitu.” “Seneng nggak jalan sama saya?” “Menurut kamu?” “I think you are very happy.” Juliet tertawa, “I don't need to answer. Because you already know the answer.” “It's our night,” ucap Oscar, ia melihat Juliet tersenyum. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD