HAPPY READING
***
“I’m so sorry,” ucap Juliet karena tadi ia sudah mencium Oscar.
Juliet tidak percaya apa yang telah ia lakukan. Ia menutup wajahnya dengan tangan. Ia sadar bahwa ia sudah mencium Oscar. Ia menetralkan nafasnya yang sulit di atur, ia bingung akan berbuat apa, karena ia lepas kendali.
Oscar mengerutkan dahi, “Sorry? Sorry for what?” Oscar tidak terima dengan ucapan Juliet, padahal tadi wanita itulah yang menciumnya terlebih dahulu, ia saja berusaha mati-matian menahan hasrat untuk tidak melakukannya, agar wanitanya nyaman di sampingnya.
“You kissed me, Juliet!”
“I know, I am lost,” Juliet gelagapan, ia bingung bagaimana menjelaskan kepada Oscar bahwa tadi merupakan kesalahan, ia lepas kendali, hilang kontrol, sehingga ia menciumnya dengan penuh gairah, meluapkan hasrat selama ini ia jaga.
“It's not getting lost, Juliet! Kamu sangat merindukan saya,” ucap Oscar penuh penekanan.
“Why?” Oscar menahan emosinya, agar tidak tumpah, ia bisa saja mengecup bibir itu lagi bertubi-tubi.
“Kamu yang memulai, sekarang kamu harus berani bertanggung jawab.”
“Bertanggung jawab? Apa yang harus dipertanggung jawabkan, itu hanya ciuman,” ucap Juliet, ia tidak suka Oscar membahas ini terlalu dalam, hanya karena ciuman. Ia tahu ia salah melakukan ini. Oh Tuhan, sekarang ia bingung akan melakukan apa, dan bagaimana menjelaskannya. Ia tahu Oscar seperti apa, dia pasti minta penjelasan.
“Bagi saya itu bukan sekedar ciuman! Mengerti!”
“Tapi Oscar…”
“Tapi apa? Kamu pikir saya main-main? Setelah kamu mencium saya. Lalu saya bisa melupakannya? Enggak akan bisa Juliet!” Ucap Oscar menahan emosinya dan menggeram.
“Saya hanya mengatakan, kita harus move dari sini. Kita bisa menumpahkan kerinduan kita di tempat yang lebih baik,” ucap Oscar.
Juliet menggelengkan kepala, “No, jangan lakukan itu,” ucapnya pelan.
“Why? Kamu yang memulai Juliet! Saya bisa menumpahkan apa yang saya rasakan, tapi bukan di sini tempatnya.”
“I'm really sorry to you,” bisik Juliet.
“You don't need to apologize! Saya hanya ingin kamu tahu, kalau saya sama dengan kamu. Kamu tidak tahu, betapa rindunya saya sama kamu Juliet!” ucap Oscar penuh penekanan.
“Saya merindukan kamu, lebih dari yang kamu tahu!”
“Asal kamu tahu. Kalau kamu lihat hujan di luar sana, di setiap tetes air jatuh, rasanya ingin aku tumpahkan hujan itu untuk kamu.”
“Kamu nggak tahu kan? Aku setiap hari selalu berharap, bahwa aku bisa hadir di mimpi indah kamu.”
“Saya selalu membuat diriku sibuk dengan hal-hal, setiap kali saya berhenti, aku memikirkan kamu.”
“Semua hidup saya itu tentang kamu!”
Oscar meraih jemari Juliet, ia genggam tangan itu dengan erat, ia menarik tangan wanita itu menuju di mana ia memarkirkan mobil. Ia menyesal karena tadi sudah menghentikan kecupan mereka, ia menyesal sudah mengatakan move kepada Juliet, harusnya meneruskan ciuman mereka tadi di bridge.
Harusnya tadi ia membiarkan mereka tetap berciuman secara mengebu-ngebu, hingga menuntaskan hasrat rindu mereka.
Juliet dengan cepat menghentakan tangan dan memberontak. Namun apa daya, tenaga Oscar jauh lebih kuat dari dirinya. Ia masih mengikuti langkah Oscar dari belakang.
“Oscar! Please stop!” Ucap Juliet pada akhirnya.
Namun Oscar tidak memperdulikan ucapan Juliet, ia membuka hendel pintu, menyuruh Juliet masuk ke dalam. Juliet tetap bertahan di dekat pintu.
“Jelasin, dulu kita mau ke mana?” Ucap Juliet.
Oscar menatap iris mata bening itu, “Menurut kamu ke mana?”
Juliet memberanikan diri memandang iris mata Oscar, “Saya mau pulang.”
“Kamu mau pulang, setelah mencium saya?”
Juliet menarik nafas panjang, “Saya ingin pulang. Saya perlu menjernihkan pikiran saya,” ucap Juliet lagi, ia bisa gila jika berlama-lama dengan Oscar.
“Tolong antar saya pulang,” ucap Juliet lirih.
“Untuk masalah ciuman tadi, saya minta maaf,” ucap Juliet pelan.
Mereka kini saling menatap satu sama lain, menumpahkan apa yang ada di dalam pikiran yang hampir menggila.
“Jujur, saya merindukan kamu juga Oscar,” ucap Juliet.
“Saya tidak tahu ini apa namanya, saya selalu memikirkan kamu.”
“Kamu juga harus tahu, seratus hati terlalu sedikit untuk membawa semua rindu saya padamu.”
“Tidak ada yang membuat ruang terasa lebih kosong dari pada menginginkan bertemu kamu.”
“Hal yang paling menyulitkan dalam hidup saya, merindukanmu atau melupakanmu.”
“Setiap kali pikiran saya mengembara, kadang tersesat, tapi selalu menemukan jalan untuk kembali padamu.”
“Kamu haru tahu, merindukan kamu itu manis dan pahit bagi saya.”
“Ciuman kita tadi, mungkin sebagai obat penyakit rindu saya padamu.”
“Ingatan saya menanyakan, bagaimana kamu? Apakah kamu baik-baik saja? Apa kamu sehat? Apakah kamu sudah memiliki kekasih setelah putus dari Rose. Bahkan saya selalu berharap kamu sudah memiliki kekasih lagi. Namun kenyataannya, hati saya bersorak bahagia, kamu ternyata masih sendiri.”
“Tapi walau begitu, tetap saja, saya tidak bisa bersama kamu. Ada hati yang mengharuskan saya menahan diri.”
“Saya sebenarnya sangat menyesal mengenal kamu. Sungguh sangat menyesal. Dua tahun saya terasa sia-sia.”
“Karena kamu masuk ke dalam hidupan saya, semua rindu saya seperti tidak terkendali.”
“Saya merasa tidak enak merindukanmu selalu. Padahal kamu bukan siapa-siapa saya.”
“Namun tetap saja, raga ini menemukan kamu.”
“Merindukan mantan kekasih adik saya, itu merupakan perasaan terburuk yang pernah ada. Apalagi kedua orang tua saya mengenal kamu dengan baik,” isak Juliet, air matanya seketika jatuh dengan sendirinya.
“Ketika saya menginjakan kaki di Jakarta, saya selalu berharap tidak bertemu kamu. Namun nyatanya berbeda. Hari pertama saya mendarat di Jakarta, justru bertemu kamu.”
“Saya tidak tahu, bagaimana alam semesta ini bekerja. Bagaimana bisa, setiap hari saya bertemu kamu.”
“Saya ingin berhenti merindukanmu. Bahkan saya memohon, jangan pernah bertemu lagi. Namun kenyataanya berbeda.”
Juliet menyeka air matanya, “Apabila waktu diputar kembali, saya lebih baik tidak mengenal kamu.”
“Saya memang manusia biasa, saya tahu diri posisi saya. Saya tidak mungkin bisa bersama kamu.”
“Tolong, jangan pernah bertemu lagi. Jangan pernah mengajak saya lagi berkencan.”
“Bertemu dengan kamu itu sangat menyiksa saya.”
“Oh God, kenapa rasanya curang sekali menghadapi rindu saya kepada kamu.”
Oscar mendekati Juliet, ia tepis air mata yang jatuh itu dengan jemarinya. Ia mendekatkan kepalanya mengecup kening itu, lalum memeluknya dengan lembut, agar Juliet tenang bersamanya. Juliet membalas pelukan Oscar, ia merasakan ketenangan yang luar biasa.
“Kamu tahu, saya dan kamu itu sama. Sama-sama tidak bisa pergi jauh. Karena ke manapun kamu pergi, saya akan selalu ada.”
“Tolong jangan pernah menyesal mengenal saya.”
“Saya justru menyesal mengenal Rose terlebih dahulu dibanding kamu. Andai saya mengenal kamu terlebih dahulu, kita tidak akan seperti ini.”
“Mungkin kita akan bahagia bersama.”
Juliet semakin terisak, ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan isi hatinya yang sudah terlalu dalam ini.
“Kamu tahu? Kamu adalah wanita yang selalu saya bicarakan dengan Tuhan.”
Oscar memeluk Juliet semakin erat, ia tidak mengerti kenapa semua seperti ini. Ia merasakan angin dingin bertiup, ia memejamkan mata dengan tenang karena tahu di mana ia akan berlabuh.
Beberapa menit kemudian, Oscar melepaskan pelukannya, ia menatap Juliet. Ia menarik nafas, ia mengelus pipi itu. Ia tahu, bahwa ia tidak boleh egois di sini, ia harus mengimbangi Juliet agar tetap merasa aman bersamanya.
“Mau pulang?” Tanya Oscar.
Juliet mengangguk, “Iya.”
“Oke, kita pulang.”
Oscar melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 11.20 menit. Sudah seharusnya mereka pulang. Oscar melihat Juliet masuk ke dalam mobilnya. Wanita itu bersandar di kursi dan memastikan dia memakai sabuk pengaman.
Semenit kemudian mobil meninggalkan area Ancol. Sepanjang perjalanan mereka mendengarkan lagu dari audio. Mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Oscar juga mengurungkan niatnya untuk tidak membawa Juliet ke hotel. Ia hanya ingin Juliet merasa aman bersamanya.
***
Beberapa menit kemudian akhirnya ia tiba di lobby apartemen Juliet. Juliet membuka sabuk pengamannya, ia menatap Oscar menghidupkan lampu dasbor. Ia memandang Juliet yang akan segera keluar.
Mereka saling menatap satu sama lain, Oscar tersenyum, ia meraih jemari Juliet. Ia kecup punggung tangan itu. Ia letakan jemari Juliet di d**a nya.
“Kamu dengar detak jantung saya? Di hati saya itu ada kamu.”
Juliet menatap iris mata Oscar, ia melihat sebuah ketulusan di sana.
“Istirahatlah, tidur, jangan begadang.”
Juliet mengangguk, “Iya.”
Oscar mendekatkan wajahnya, ia mengecup kening Juliet, “Besok kamu kerja?” Tanya Oscar.
“Iya. Kamu hati-hati di jalan,” ucap Juliet.
Juliet lalu membuka hendel pintu. Ia melihat Oscar membuka power window, ia melihat Juliet dari kejauhan. Wanita itu masuk ke dalam lobby. Setelah Juliet menghilang dari pandangannya, ia meneruskan perjalanannya.
Oscar bersandar di kursi, ia melihat ponselnya, ada beberapa pesan masuk dari Steven dan dari Luna. Luna? Ada apa Luna menghubunginya? Selama ini mereka tidak pernah berhubungan. Luna itu temannya ketika di SMA, dia sudah menikah beberapa tahun lalu dengan salah satu petinggi negara di negri ini. Saat di SMA, dia wanita paling cantik di sekolah tidak hanya itu dia juga gadis yang cerdas. Bahkan prestasinya sangat melejit.
Yang ia tahu Luna itu lulusan program diploma di Monash Collage. Lalu menempuh program sarjana di Universitas Harvard, pulang ke Jakarta menjadi salah satu finalis Putri Indonesia mewakili DKI Jakarta 3. Ketika wanita menunjukan aksinya di ajang kecantikan dia memperoleh runner-up mewakili ajang kecantikan Internasional.
Setelah itu dia dipersunting menikah dengan salah satu pejabat negara di negri ini, ia tidak pernah mendengar kabarnya lagi setelah itu. Jujur dulu ia mengagumi Luna, betapa hebatnya wanita ini. Beberapa kali reuni sekolah, dia selalu menjadi topik pembicaraan di ajang reuni.
Beberapa tahun lalu mereka saling sapa dan cerita, hanya sebatas say hello. Setelah itu Ia tidak pernah mendengar lagi kabarnya. Ia juga tidak akan mengusik wanita yang sudah menikah. Ia melihat ada 10 panggilan tidak terjawab dari Luna, beberapa menit yang lalu.
Ia membuka notifikasi itu, ia membaca pesan.
Luna : “Oscar kamu di mana? Tolong saya. Saya kabur dari rumah. Saya tidak ingin mati di tangan suami saya.”
Setelah membaca pesan itu, Oscar membanting setir, ia menepikan mobilnya ke samping. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan Luna. Oscar lalu dengan reflek jemarinya menghubungi Luna, ia meletakan ponsel itu di telinganya. Ia menunggu sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya. Beberapa detik kemudian ponsel itu terangkat.
“Iya, halo, Luna. Are you ok?”
“Oscar, help me,” isak Luna, ia duduk di bawah pohon demi menghindari kejaran security dan para staff.
“Tadi saya di jalan. Saya tidak mendengar telfon kamu. Kamu ada di mana?” Tanya Oscar, ada perasaan khawatir apa yang terjadi dengan Luna. Hatinya tergerak untuk menolong wanita itu. Ia yakin Luna sedang dalam ketakutan. Oh Tuhan, padahal ia menganggap kehidupan wanita itu sangat sempurna.
“Saya ada di Mall Pondok Indah 2, posisi saya di belakang gedung,” ucap Luna masih terisak, ia butuh pertolongan, sambil memegang wajahnya.
“Saya lagi bersembunyi. Security rumah dan staff, masih mengejar saya.”
“Oh God, tolong saya. Saya tidak tahu, kepada siapa saya meminta pertolongan,” isaknya.
“Oke, saya akan ke sana sekarang.”
Oscar memutar arah mobilnya, menuju pondok Indah mall 2. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada Luna, jika ia analisi arah pembicaraan Luna, dia sedang mengalami KDRT, sehingga membuatnya kabur dari rumah. Oscar menekan pedal gas, rasa ibanya semakin kuat mendengar bagaimana wanita itu menangis terisak, bagaimanapun KDRT itu merupakan tindakan criminal, yang harus di selesaikan dalam jalur hukum.
Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa wanita secanitk Luna diperlakukan secara tidak adil oleh suaminya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan terhadap Luna, yang pasti ia akan menyelamatkan wanita itu terlebih dahulu.
***
Beberapa menit kemudian, akhirnya ia tiba di depan Pondok Indah Mall 2. Ia sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang kehidupan pernikahan Luna. Namun entahlah tiba-tiba wanita itu meminta pertolongan kepadanya. Ia mencari kontak nomor Luna, namun nomor itu sudah tidak aktif.
Ia membuka ponselnya, ternyata Luna memberinya pesan singkat. Ia membuka pesan singkat itu.
Luna : “Saya lagi di belakang gedung mall. Ponsel nggak saya aktifin. Saya takut, ponsel ini terdeteksi suami saya.”
Sebelum keluar dari mobil, Oscar mengambil jas yang tersampir di kursinya. Ia membiarkan mobilnya di tepi jalan, menitipkan kepada security yang berjaga di depan, dengan imbalan uang 100 ribu, hingga ia menemukan sosok Luna di dalam sana.
Oscar melangkah terus maju, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 00.30 menit. Ia melihat karyawan mall juga sudah pada pulang. Lampu-lampu di gedung mall sudah di matikan oleh pihak gedung, sehingga suasana malam semakin temaram.
Oscar mencari sosok Luna di belakang gedung, ia mencari-cari di mana keberadaan wanita itu. Ia hampir frustasi karena ia belum menemukan sosok wanita itu.
“Luna!” ucap Oscar.
“Luna! You hear me?” Tanya Oscar lagi.
“Please, give me a hint, where are you?” ucap Oscar lagi, ketika ia berada di belakang gedung, karena ia tidak menemukan apa-apa di area gelap ini.
Oscar menyalakan senter ponselnya, ia menarik nafas. Ia melihat sebuah tempat penampungan air di pojok belakang. Ia melangkah mendekati tempat penampungan air itu, ia memberikan penerangan di sana. Ia menatap sosok wanita di sana.
Sedetik kemudian mereka saling berpandangan satu sama lain. Ia memandang seorang wanita mengenakan dress floral di sana yang sedang duduk memegang lutut. Di bawah pencahayaan lampu senternya, ia memandang wajah lebam dan bibir terluka. Oh God, ia tidak tahu apa yang terjadi dengan wanita itu. Matanya sembab, menangis dalam diam.
Oscar melangkah mendekati wanita itu, ia sungguh tidak tega melihat wanita dalam keadaan seperti ini. Ia lalu berjongkok menatap wanita yang menangis dalam diam. Ia tahu betapa sakitnya wanita itu, lihatlah dia hanya menangis, hingga tidak bisa berkata-kata.
Ia melihat jemari itu juga penuh luka, ia tidak tahu apa yang telah terjadi pada sosok wanita cantik ini. Lihatlah di mana otak cerdasnya? Kenapa wanita secantik ini diperlakukan tidak adil oleh suaminya. Sosok wanita ini pernah menjadi wanita tercantik negri ini. Bahkan pernah mengharumkan bangsa ini kancah Internasional.
Oscar tidak tahu berkata apa, ia lalu menyampirkan jasnya di punggung tangan itu. Ia sebenarnya ingin menangis melihat keadaan Luna. Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi padanya?
“Kamu aman bersama saya,” ucap Oscar berusaha tenang. Ia tidak akan bertanya apa yang terjadi, karena itu akan menambah luka. Biarkan Luna menceritakannya, ia di sini hanya menolong.
“Ayo, kita pergi dari sini,” ucap Oscar tenang. Oscar melihat Luna perlahan berdiri di sampingnya.
Mereka melangkah perlahan menuju dikegelapan gedung mall yang sudah tutup. Oscar menarik pergelangan tangan Luna dengan langkah cepat masuk ke dalam mobil. Beberapa detik kemudian mobil meninggalkan area mall.
Ia memandang Luna bersandar di kursi. Wanita itu hanya menangis dalam diam. Ia mengambil tisu, dan menyerahkan kepada wanita itu. Luna mengambil tisu dari tangan Oscar. Terlihat jelas wajah kesedihan yang teramat di sana. Sudah cukup dulu ia bertemu dengan Juliet yang mengharuskannya bolak-balik ke psikolog demi menenangkan hatinya. Sekarang Luna, wanita itu lebih parah, tidak hanya mentalnya saja yang terluka namun fisiknya.
Oscar hanya diam, ia menekan pedal gas menuju rumahnya di Dharmawangsa. Di dalam pikirannya saat ini adalah membawa wanita ini ke tempat yang aman. Besok ia meminta bantuan Steven untuk memeriksa kondisi fisik Luna. Semoga lebam-lebamnya tidak mengalami cukup serius.
“Kamu akan aman di rumah saya,” ucap Oscar.
***