Bab 6

2933 Words
HAPPY READING *** Juliet menatap ke arah jendela, ia memandang view city dari apartemennya, ia menikmati lampu-lampu gedung pencakar langit, yang tampak indah. Seketika teringat beberapa tahun lalu, penyesaalan terbesarnya adalah menikah. Apakah ia akan menikah lagi? Tentu saja ia tidak akan menikah lagi, ia lebih nyaman dengan kesendirian ini. Dulu ketika ia menyandang status istri, ia selalu merasakan kecewa dan tidak tenang dalam hidup. Kehilangan rasa percaya diri, dan kehilangan harapan hidup, memang sangat menyakitkan. Meskipun begitu, selalu ad acara untuk kembali buat menjalani hidup. Apapun yang terjadi selalu ad acara untuk kembali kuat menjalani hidup dan lebih menyayangi diri sendiri dengan utuh. Wanita yang menikah ia ketahui kemungkinan efek beban sebagai pengurus rumah tangga karena sering kali mengabdikan diri untuk suami. Ia pernah mendengar bahwa para penelitian menemukan bahwa wanita yang telat menikah lebih rendah risiko untuk turun berat beban dan kelelahan. Stigma masyrakat sudah terbentuk bahwa janda itu genit, penggoda suami orang, lemah dan berharap mendapat santunan materi dari orang lain. Orang bisa saja mengatakan seperti itu, namun ia janda yang sukses dan sekarang bahagia. Juliet melihat ponselnya bergetar, ia memandang nama “Oscar calling” Tadi sore Oscar mengatakan bahwa dia akan menghubunginya malam ini. Ternyata pria itu menepati janjinya. Juliet menarik nafas, ia tidak tahu apakah ia bisa menerima Oscar lagi apa tidak. Inginnya mengabaikan pria itu, namun entahlah rindunya lebih kuat dari pikirannya. Ia akui bahwa hatinya seakan meledak-ledak tidak terelakan ketika Oscar berada di hadapannya. Juliet menggeser tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel itu di telinga. “Iya, halo,” ucap Juliet tenang. Oscar bersyukur bahwa Juliet mengangkat panggilannya, itu berarti wanita itu sudah menerima dirinya lagi, “Hai lagi apa?” Tanya Oscar. “Lagi mau tidur aja. Kamu lagi apa?” Tanya Juliet, karena tidak etis rasanya jika ia tidak bertanya balik. “Lagi duduk aja.” “Udah pulang dari anniversary company?” “Iya sudah. Ini baru nyampe, terus nelfon kamu.” “Loh, nggak ganti baju dulu? Kamu langsung nelfon?” Oscar tersenyum, dan hatinya seketika bahagia, “Saya senang, akhirnya kamu bisa perhatian sama saya.” “Saya nggak perhatian Oscar. Kamu aja salah sangka.” “Tapi dengan kamu mengatakan itu, bagi saya kamu sudah perhatian sama saya Juliet,” ucap Oscar menahan tawa. Oscar membuka kancing kemejanya, ia letakan di dekat meja, ia memilih duduk di sofa kamar sambil menikmati view kolam renang di rumahnya. Suasana hatinya sekarang jauh lebih bahagia di banding yang dulu. “Besok kamu ke mana?” “Kerja Oscar.” “Mau jalan nggak?” “Ke mana?” Tanya Juliet. “Yah, ke mana aja, asal berdua sama kamu. Setelah pulang kerja besok, saya jemput kamu di lobby seperti tadi.” Juliet masih mempertimbangkan ucapan Oscar, ia tidak bisa berbohong bahwa ia menyukai pertemuannya dengan Oscar. Entahlah, ia tidak bisa membohongi perasaanya sendiri bahwa ia juga merindukan hadir pria itu di sisinya. Ada satu kalimat penutup favoritenya dari salah satu karya sastra yang pernah ia baca, “Jangan pernah memberitahu siapapun. Jika melakukannya, kau mulai merindukan setiap orang” kalimat itu ditulis oleh JD Salinger, Catcher in the Rye. Kata-kata itu memberi makna tentang nasehat terakhir, untuk tidak memberitahu siapapun tentang apapun, kedengaran sangat menyedihkan di akhir perjalanan. Semua kenangan dirinya, membuatnya rindu untuk memainkan peran dalam hidup. Dan merindukan orang itu sangat menyakitkan. Kata-kata itu menyarankan agar tidak membiarkan orang itu mengenal sejak awal. Begitu ia dekat dengan seseorang dan bergantung padanya untuk mendapatkan dukungan emosional, ia akan sakit jika merindukan orang itu. “Iya, tapi mau ke mana? Tujuannya ke mana? Itu harus jelas,” ucap Juliet. “Kalau saya ngajak chek in, apa kamu mau?” Ucap Oscar. “What? Kamu tuh gila ya.” Oscar tertawa geli, “Tuh kan, kamu aja kaget saya ngajakin chek in. Yah, random aja, misalnya kita ke restoran, atau ke bar, minum, sambil cerita.” “Oke.” Oscar kembali tertawa, mendengar ucapak Oke dari Juliet, “Kamu sudah mau tidur?” “Hampir, yaudah saya tidur dulu ya.” “Iya.” “Good night Oscar.” “Good night Juliet.” Oscar mematikan sambungan telfonnya, ia menyandarkan punggungnya di kursi, ia tidak sabar untuk bertemu Juliet besok. Ia pastikan akan merebut hati Juliet lagi, ia akan membawa wanita itu ke dalam pelukannya. Ia tidak peduli seberapa besar wanita itu menolak, karena alasan keluarga, namun ia tetap akan kejar hingga dapat. Ia juga tidak peduli tentang omongan orang, ia akan tetap menjadikan Juliet miliknya. *** “Lo mau brunch nggak?” Tanya Juliet sebelum ia turun dari apartemennya sambil mengapit ponsel dengan bahunya, sementara tangannya yang lain memegang tas dan mamakai stiletto. “Boleh, lo sekarang di mana?” Tanya Anjani, ia masuk ke dalam mobilnya, karena nanti jam 11 ia akan bertemu dengan klien di Spectrum. “Gue baru mau turun dari apartemen. Lo di mana?” “Gue lagi di Jalan. Lo mau brunch di mana?” Anjani memanuver mobilnya, ia memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya. “Six ounces coffee enak kali ya.” “Boleh di situ, udah lama kan, kita nggak ke sana.” “Iya, bener,” ucap Juliet. “Lo pakek apa?” “Taxi, males banget pakek mobil sendiri.” “Lo ada meeting hari ini?” Tanya juliet menanyakan kegiatan sahabatnya. “Gue meeting, jam sebelas nanti.” “Gue juga ada meeting sama klien jam sebelas.” “Di mana?” “Di hotel Fairmonth, Spectrum.” “Klien lo siapa?” Tanya Juliet penasaran. “Katanya sih yang punya property gitu, tapi nggak tau apa. Dia perlu Semen dalam jumlah besar, dia baru mau kerja sama dengan perusahaan gue.” “I see.” Juliet tahu bahwa Anjani itu bekerja di perusahaan multinasional di Indonesia. Perusahaan itu bergerak dibidang Semen Indonesia, mengakusisi perusahaan asing di luar negri dan berhasil memasuki pasar Asia Tenggara dan Asia Selatan. Lokasi pabrik Semen Indonesia ada di negara Vietnam. Selain memiliki pabrik luar negri, produk itu juga mengekspor produknya ke beberapa negara, seperti Singapura, Malaysia, Korea, Vietnam, Taiwan, Hongkong, Kamboja, Bangladesh, Yaman, Norfolk USA, Australia, Canary Island, Mauritius, Nigeria, Mozambik, Gambia, Benin dan Madagaskar. Ia tahu kinerjja Anjani bekerja seperti apa, dia benar-benar marketing yang handal. Ia sempat beberapa kali menawarkan pekerjaan dengan Anjani dengan posisi yang sama, namun tetap Anjani masih mencintai perusahaan di mana ia pertama kali bernaung. “Kalau deal, lo hoki dong.” “Banget,” ucap Anjani kegirangan , ia tidak membayangkan bagaimana bonusnya jika si kliennya ini deal. “Serunya.” “Pasti, semoga saja deal.” Juliet masuk ke dalam lift dan lift membawanya ke lantai dasar, “Pasti deal, kan lo bisa ngambil hati klien.” “Lo bisa aja.” “Kita ketemu di sana ya Anja.” “Ok.” *** Beberapa menit kemudian, akhirnya Juliet sudah tiba di Six ounces coffee. Six ounces ini memiliki bangunan berupa rumah yang di renovasi sedemikian rupa hingga menyerupai café. Ketika memasuki gerai ini, suasananya sangat nyaman. Cefenya memiliki suasana ala modern nusantara. Benar-benar homey, nyaman dan rindang karena banyak tanaman hijau dan seperti sangkar burung. Kesan modern sangat terasa. Ada outdoor dan indoor, ia memilih duduk outdoor sambil menikmati pagi dengan suasana asri. Ia melihat jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 08.20 menit, suasanan caffee tidak terlalu ramai. Juliet memandang server menghampirinya, ia memesan hot mocca, avocado coffee, creamy cheese, Nutella bomboloni, dan sss boost. Setelah itu ia memandang server meninggalkan tablenya, sementara dirinya duduk dan menunggu kedatangan Anjani. “Juliet,” otomatis Juliet menoleh ke samping, ia memandang seorang pria bertubuh tinggi proporsional yang tidak jauh darinya. Ia mencoba mengingat siapa pria itu, wajahnya sangat tidak asing menurutnya. “Siapa ya?” Tanya Juliet. Pria itu tersenyum dan mendekatinya, “Kamu lupa?” “Kayaknya nggak asing sih,” ucap Juliet, ia memperhatikan truktur wajah pria itu, dia terlihat sangat tampan, memiliki rahang yang tegas, alis yang tebal, kulit yang cerah dan mata seperti bulan sabit, hidungnya mancung sempurna. “Saya Christian, teman papa kamu. Kalau tidak salah saya pernah beberapa kali bertemu kamu di depan ayah kamu. Ingat nggak?” “Chris?” Juliet mencoba mengingat Chris. “Yes, saya Chris.” “Yang punya perusahaan sawit?” Tanya Juliet mencoba mencoba mengingat. “Iya benar, ayah kamu salah satu investor perusahaan saya. Kita bertemu beberapa kali saat meeting di Denpasar dan Jakarta. Kita hanya sebatas kenal saja waktu itu,” ucap Chris. Juliet tahu Christian ini adalah salah satu orang terkaya di Indonesia selain ayahnya. Dia memiliki perusahaan minyak terbesar di tanah air. Ia pernah membaca di salah satu majalah bisnis, Christian masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia pada majalah Forbes Indonesia. Kekayaan pengusaha tersebut bergerak di perkebunan kelapa sawit dan berbasis Singapura. Luas lahan Wilmir ini sebesar 7000 hektar, seiring berjalannnya waktu, bisnisnya semakin meluas dan menjangkau beberapa negara dunia. Katanya ia juga merambah bisnis bekerja sama dengan sang ayah, dengan nama Gama Land dengan mambangun kota mandiri di Medan, Sumatera Utara dan Surabaya. Dia mengumpulkan dana yang tidak sedikit. “Bagaimana kabar kamu?” Tanya Chris, kata ayahnya anak sulungnya Juliet tinggal di Bali, pasca bercerai dengan suaminya bernama Eros. Ia tahu bahwa wanita itu mengembalikan jiwa sehatnya, dan sekarang dia sudah kembali, dan terlihat sangat positif. “Baik, kamu?” “Baik juga.” Chris melihat Juliet sendiri di table, “Enggak tinggal di Bali lagi?” Tanya Chris. “Maunya sih di sana terus, cuma papa suruh balik ke Jakarta. Bantu kerjaan papa.” “Iya sih, harusnya begitu, siapa lagi kan yang harus diandelin, kamu anak pertama, adik kamu sudah sibuk dengan klliniknya.” “Kok kamu tau sih?” Chris tersenyum, “Aah kamu yang cerita sama saya.” “Sendiri aja?” Tanya Chris. “Nungguin temen, bentar lagi nyampe.” Chris memperhatikan wajah cantik itu, “Bisnis fashion kamu lancar?” “Kok tau?” “Tau dari ayah kamu juga.” “Ya ampun, jadi papa saya sering ceritain saya, sama kamu.” Chris tertawa, “Kalau ketemu ayah kamu, yaudah bahasanya ada kamunya dan bisnis. Walau saya jarang ketemu kamu, saya merasa udah kenal kamu.” “Kamu di sini tinggal sama orang tua kamu atau tinggal sendiri?” Tanya Chris penasaran. “Saya tinggal sendiri.” Juliet memandang Chris, “Kamu?” “Iya, saya sendiri, ke sini cuma beli coffee kok, kebetulan deket rumah,” ucap Chris. “Emang rumah kamu di mana?” Tanya Juliet. “Di Dharmawangsa, sebelum kantor, enggak tau pengen aja sih ngerasain kopi di sini. Mampir bentar, lalu ketemu sama kamu.” Juliet memandang ke arah pintu masuk di sana, tatapan Chris juga beralih ke arah yang sama. Ia memandang seorang wanita mengenakan celana kulot yang dipadukan dengan kemeja berwarna putih. “Itu teman saya sudah datang,” ucap Juliet, memandang Anjani yang tersenyum dan melangkah mendekatinya. “Yaudah kalau gitu, saya ke kantor dulu, ya. Semoga kita bertemu lagi, Juliet.” “Iya.” Chris pun melangkah menjauhi Juliet, ia berpapasan dengan sahabatnya Juliet dan ia berikan senyum kepada wanita itu. Sementara Anjani sejak berada di pintu masuk itu, ia memperhatikan Juliet bersama seorang pria, ia tidak tahu siapa pria itu, yang jelas, pria yang berbincang dengan Juliet itu tidak kalah tampan dari Oscar yang ia lihat kemarin. “Siapa?” Tanya Anjani, memandang sahabatnya. “Temennya papa.” “Really? Masih muda loh dia, papa lo kan udah tua.” Juliet tertawa, “Namanya juga rekan bisnis, nggak mandang usia lahh.” “Ganteng banget tau itu. Siapa namanya?” “Christian.” “Pasti tajir banget.” “Setara sama papa.” “Keren banget dong.” “Pastinya,” Juliet tertawa geli. Anjani dan Juliet lalu duduk di kursi, ia memandang server membawa pesanannya. Mereka pun duduk dan menyesap coffee yang tersedia. Hot mocca yang ia sesap dark chocolate dan kopinya perpaduan yang sempurna karena tidak ada after asem. Avocado juga tidak terlalu manis dan fresh. “Lo dari tadi nungguin gue?” Tanya Anjani. “Enggak sih, barusan aja. Sekitar 10 menit yang lalu,” ucap Juliet. “Terus, gimana hubungan lo sama Oscar? Masih ngubungin lo nggak dia?” Tanya Anjani penasaran. Juliet terawa, ia menyesap kopinya lagi, “Masih lah.” “Terus kangen-kangenan?” “Kangen-kangenan gimana maksud lo?” Tanya Juliet, sambil memakan bakerynya. “Seperti, peluk, kecup, manja,” Anja tertawa geli. “Ah, lo ada-ada deh.” “Kelihatan sih dia kangen banget sama, lo.” “Nanti balik kerja dia ngajakin keluar gitu.” “Seru tuh, lo mau?” ucap Anja, ia memakan cakenya yang super lezat. “Mau lah.” Juliet kemarin cerita kepadanya, bahwa sebenarnya dia dan Oscar dulu memiliki rasa. Namun Juliet menahan rasa itu kepada itu demi kebaikan bersama. Kepergiannya ke Bali untuk menghindari Oscar namun apa yang terjadi justru ketika menginjakan kakinya ke Jakarta, bertemu dengan Oscar. Anja yakin Juliet dan Oscar itu sebuah jodoh. Banyak kode alam yang menunjukan kalau mereka berjodoh selalu bertemu dengan orang yang sama. Entah bagaimana alam ini bekerja, tidak ada yang tidak mungkin, karena bertemu secara berulang di saat yang tepat. Itu sebuah kode alam yang tidak bisa dihindari. Percayalah semua itu bukanlan kemungkinan, jodoh Juliet sedang berkomunikasi dengan lewat alam semesta ini. “Semalam Oscar nelfon gue.” “Terus.” “Ngobrol-ngobrol aja. Gue tuh sebenernya nggak mau deket sama dia. Cuma kayaknya gue nggak bisa hindarin gitu. Hati dan pikiran gue nggak sinkron. Dominannya ke Oscar” “Itu tandanya lo cinta sama dia.” “Masa sih?” “Yee, dibilangin nggak percaya. Yaudah jalanin aja sama Oscar, sekali-kali nyenengin diri, jalan kek ke mana. Emang, nggak kangen cium-ciuman udah dua tahun jomblo.” Juliet lalu terawa geli, “Ih, gila ya lo, aneh aja deh.” “Ya ampun, itu dibilang aneh. Kayak ABG aja deh.” “Lo sering gituan ya, sama klien?” Tanya Juliet menyelidiki, ia tahu sahabatnya itu tidak sepolos yang ia kira. Alis Anja terangkat dan lalu tertawa, “Ya, nggak lah, aneh aja lo. Tergantung klien nya. Gue nggak kepikiran ke sana kali.” “Kirain.” Ia tidak bisa membayangkan akan tidur dengan klien, melakukan hal itu tidak bisa ia bayangkan. Bagaimana rasanya ada seorang pria yang tidak dikenal menjilat miss v dan mr. P yang tidak sama sekali ia kenal. Apa bedanya dengan open BO, saat-saat tertentu mungkin ia bisa mengendalikan kekuatan nafsu. Baginya seks yang menyenangkan tentu dengan orang yang ia cintai. Jangankan dalam hal s*x, hal sederhana saja misalnya berboncengan menggunakan sepeda motor, jauh lebih berkesan jika berboncengan dengan orang yang di sukai dari pada dengan orang yang tidak disukai. Saat dengan orang yang disukai rasanya perjalanan itu jauh menikmati setiap detiknya, dan perjalanan penuh makna. “Lo habis ini langsung ketemu klien?” Tanya Juliet. “Iya.” *** Tepat jam sebelas, Anjani sudah berada di Spectrum – Fairmont Jakarta. Ia memang sering bertemu dengan kliennya di sini, staff nya yang ramah dan sangat helpful. Ia menikmati makan siang di sini bersama klienya, ini salah satu restoran andalannya saat bertemu dengan klien. Tempatnya memang tidak seluas buffet restoran hotel lain, namun makanannya tidak diragukan lagi, di sini enak-enak. Ia pernah makan lamian, kuah orginalnya enak, dimsum apa lagi, daging lamb mereka tidak berbau dan sangat empuk, buah-buah selalu keadaan fresh, sushi roll juga enak, dan rata-rata kliennya puas, saat ia ajak makan di sini. Anjani melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 11.00, ia di sini sudah sepuluh menit yang lalu. Ia mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan. Ia seketika bergeming memandang seorang pria yang baru masuk dari arah pintu masuk. Pria itu mengenakan kemeja hitam dan celana berwarna senada. Ia memperhatikan struktur wajah pria itu, dia memiliki rahang yang tegas, alis yang tebal dan bibir yang menggoda untuk dicicipi. Oh God, ia berharap itu adalah kliennya. Jika kliennya setampan itu ia rela jika tidur bersama malam ini. Pria itu memandang seorang wanita mengenakan celana kulot berwarna coklat muda dan kemeja berwarna putih tanpa lengan. Rambutnya lurus berwarna hitam tampak sehat. Ia yakin bahwa wanita itu adalah manager marketing, terlihat jelas di lehernya ada lanyard coach dengan tali hitam. Ia melangkah mendekati wanita itu, dan benar dugaanya, wanita itu adalah Anjani, seorang manager marketing yang akan ia temui. “Ibu Anjani?” Tanyanya to the point. Anjani menahan nafas beberapa detik, ia tidak menyangka bahwa pria itu adalah kliennya. Anjani berikan senyum terbaiknya secara professional. Ia mengulurkan tangan kepada pria itu. “Iya, saya Anjani.” Pria itu membalas uluran tangan Anjani, “Senang berkenalan dengan anda.” “Terima kasih. Saya juga senang berkenalan dengan anda pak William.” “Silahkan duduk pak.” William dan Anjani lalu duduk, beberapa detik kemudian ia melihat server menghidangan dua cangkir hot coffee dan makanan pembuka di atas meja. Anjani tahu bahwa kliennya ini adalah William seorang pengusaha sukses, biasa dipanggil Willi, pemilik dari Metropolitan Group, proyeknya berpusat di Kemayoran, dan Jakarta pusat. Dia merupakan salah satu pengusaha property yang sukses. Salah satu bisnis property yang dikelolanya lewat Internasional Expo, perusahaanya dikenal sebagai penyelenggara dari Pekan Raya Jakarta atau PRJ. Anjani melirik pak William menyesap kopi dan ia pun melakukan hal yang sama. “Apa kamu menunggu saya dari tadi?” Tanya William kepada Anjani. “Enggak, saya datang sepuluh menit yang lalu.” “Tawaran kamu seperti apa?” Tanya William. Anjani mengeluarkan katalog bersampul kulit itu kepada William, “Ini pak penawaran saya, silahkan di baca dulu, nanti saya akan menjelaskan setelah bapak membaca penawarannya.” William mengambil katalog itu dari tangan Anjani, “Baik, terima kasih.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD