Si Bucin

1804 Words
Sebelum bel pulang berbunyi, ia sudah melihat jadwal piket. Ia dapat giliran besok tapi tentu sejak pulang sekolah hari ini harus membersihkan kelas. Namun yang membuat bahagia Adel ya selain namanya, ada juga nama Fabian. Hahaha. Ia melobi sekretaris kelasnya untuk mengubah itu. Ya biar bisa bersama Abi. Hal yang membuat teman-temannya geleng-geleng kepala. Dasar Adel bucin! Begitu bel berbunyi, guru keluar, beberapa teman sudah kabur, ia buru-buru berteriak. "Abiiiiiii!" Ia terpaksa meninggalkan bangkunya. "Giliran piket tauuuuuuuuuk!" Ia mencak-mencak di pintu kelas sembari meneriaki Fabian yang sudah kabur sejak tadi dan sepertinya ia terlambat mengawasinya tadi. Fabian memang menghentikan langkah karena suara Adel kan menggelegar. Semua orang bisa mendengarnya deh. Lalu ia menoleh ke arah Adel dengan dramatis. Adel yang ditatap begitu kok jadi meleleh ya? Hahahahaa. Ia selalu lemah jika berhubungan dengan Fabian. Tapi Fabian justru sebal menatapnya. "Harus berapa kali gue bilang ke elo......," ia menatap jengkel. "Jangan sekali-kali lo coba-coba untuk mindahin nama gue biar piket dihari yang sama kayak elo!" Memangnya ia tak tahu akal bulusnya Adel? Hahaha. Mana Fabian pergi begitu saja. Ia tak mau ambil pusing. Adel mendengus melihatnya pergi begitu saja. Amanda yang sedang menyapu di dalam kelas terbahak melihat Fabian pergi. Lagi pula, ia juga sudah tahu kok akhirnya. Yang namanya Fabian kan gak bisa diintervensi Adel. "Gue bilang juga apaaaaaa, Del. Gak mungkin dia gak tahu. Dia pasti tahu semua pergerakan lo. Apalagi buat deketin dia." Adel mendengus mendengarnya. "Kesannya kayak dia merhatiin gue banget ya dari kata-kata lo itu? Gitu maksudnya?" Amanda terbahak lantas ia menepuk jidatnya. Pusing kepalanya kalau memikirkan urusan Adel. Ia tak paham dengan pikiran Adel. "Dia kentutin lo terus lo kira kalau dia itu mau nembak lo gitu? Kepala lo ditaruh di mana sih, Del? Atau orak lo deh. Masih di kepala? Apa di dengkul? Heran gue." Amanda berkoar-koar mengomelinya. Hahaha. Adel hanya menghela nafas kemudian mengambil sapu. Lebih baik ia menyapu. Ia sudah susah payah melobi ketua kelasnya juga eeeeh ternyata usahanya sia-sia juga. Gak ada gunanya. Ia lupa kalau Fabian itu selalu dapat ranking ya? Berbanding terbalik dengannya. Hahaha. "Perasaan itu gak bisa diganggu gugat tauuk, Maan," tuturnya kemudian. Ia sangat bawel kalau urusannya perasaan. Kan jatuh cinta juga gak salah. Ya kan? Lalu ia mendumel. "Gue mana bisa milih sih? Tau-tau udah suka aja tuh sama dia." Ia juga tak ingat sih sejak kapan. Apa sejak kelas 1 SD? Apa sejak taman kanak-kanak. Hahaha. Yang jelas, tiap melihat Fabian, ia suka. "Ya emang lo gak bisa milij sih. Tapi kalau dianya juga gak ada perasaan, yaaaa kan gak bisa dipaksain juga. Lo harus nerima kenyataan dong." Ia terbatuk-batuk kemudian karena debu-debu berterbangan dari hasil sapuannya. Adel mendengus lagi. "Susahdeh kalo harus berdebat sama lo. Bukannya mendukung gue, lo malah terus jatohin gue iiih. Jahat lu, Nda!" Amanda tertawa. Kali ini ia menutup mulutnya karena debu-debu itu. Padahal di runah saja, ia tak pernah menyapu begini deh. "Gue hanya mengatakan apa yang terlihat oleh mata gue, Del. Kita bisa menilai dengan logika. Coba deh lo pikir-pikir lagi, Del. Ngapain sih ngabisin waktu untuk ngejar seseorang yang bahkan gak akan pernah ngeliat lo? Jangan kan ngeliat deh, lo mau lewat aja, dia udah balik badan. Saking gak maunya sama lo. Kebangetan tahu, Del. Itu namanya nolak secara frontal. Masa masih gak paham sih?" Asem emang lu, Man! Adel hanya bisa memaki dalam hati. Ada sebabnya juga kenapa ia berkata begitu. Selama bertahun-tahun, ia telah menjadi orang yang paling dekat dengan Adel dan menyaksikan semua perlakuan Fabian pada Adel yang menurutnya gak manusiawi. Ya kasar lah menurutnya untuk perlakuan ke cewek. Adel kan cewek ya? "Ini udahan kan ya?" Kelas sudah bersih. Bangku-bangku sudah dinaikan oleh masing-masing murid sebelum pulang. Sisanya akan dilakukan besok pagi. Adel mengangguk. Keduanya berjalan keluar dari kelas lalu Adel yang menutup pintu kelas. Adel menghela nafas. Anak Abi Akib itu tidak kenal kata menyerah loh. "Terus masa gue nyerah gitu aja, Man? Cuma gara-gara dia gak pernah ngelirik gue? Gak pernah ngelihat gue?" Amanda terkekeh mendengarnya. Apa masih perlu nanya nih, Del? Lo nanyeaaaaa? Hahaha. "Lo pikir, dia bakal luluh gitu? Mau lo tunggu berapa tahun heh?" Menurutnya, itu semua sudah jelas ya? Tapi yang namanya orang lagi bucin ya t*i ayam juga rasanya sama kayak rendang ayam deh. "Menurut lo....cakepan gue atau Bella sih?" Amanda langsung tertawa mendengarnya. Astagaaaaa. "Bukan soal cakepnya juga kali, Del. Perkara hati itu di sini nih, Del," ia menunjuk hati Adel. "Gak ada urusannya deh. Mau lo lebih cakep atau enggak, selera orang kan beda-beda." Memang benar. "Lo suka bener ih ngomongnya." Ia jadi bete. Amanda terkekeh. Begitu tiba di gerbang, Manda sudah melihat kehadiran mobil jemputannya. "Gue duluan ya, Deel!" pamitnya sambil melambai ke arah. Ia buru-buru berlari menuju mobilnya. Supirnya pasti sudah lama menunggu. Adel hanya mengangguk tipis. Ia berjalan menuju halte. Padangannya agak-agak kosong sih. Tiba di halte, ia baru sadar kalau ada yang kurang. Lalu melihat ke sekitar. Keningnya mengerut karena tak menemukan dua bocah gendeng yang biasanya pulang bersamanya. Ke mana keduanya heh? Ia baru ingat tadi juga tak menungguinya. Biasanya kan selalu menungguinya. Lah ini? Halte saja sudah agak-agak sepi. "Pada ke mana dah?" Ia mengeluarkan ponselnya. Tadinya sih hendak menelepon. Tapi karena membuka chat-nya, ia jadi membaca pesan yang masuk dari Tata dan Adeeva yang pesannya bahkan dikirim pada jam dan menit yang sama. Yang membedakan hanya detiknya. Ia geleng-geleng kepala. Keduanya malah pulang duluan. Katanya mau mampir ke rumah teman. Teman yang mana pun ia tak tahu. Lalu Tata? Tata aih bilangnya sudah dijemput. Ia menghela nafas. Ya sudah lah. Sebetulnya sih mau curiga. Hahaha. Tapi kalau Tata dijemput ya sudah lah. Ia tak jadi curiga. Untuk Adeeva mungkin mau kerja kelompok. Toh ia juga suka begitu kan? Namun ia biasanya tak tega juga sih kalau harus membiarkan Adeeva pulang sendirian. Apalagi itu bocan masih kelas 7 SMP. Lalu apa bedanya dengannya dulu? Hahaha. Ya beda lah. Kalau saat ia kelas 7 SMA, kan ada Adrian dan Adshilla. Jadi biasanya ia mengintili Adshilla sih. Kadang juga ikut Adrian. Ya intinya ada yang mengurusnya lah. Tapi sejak kelas lima SD ya, kedua kakaknya sudah tak satu SD lagi dengannya, malah ia yang harus mengurus Adeeva. Mungkin itu juga yang membuatnya lebih dewasa. Karena ada yang harus ia jaga. Adel naik angkutan umum menuju rumah. Kalau dulu sih, Ardan dan dina naik sepeda. Ya agak jauh memang tapi lebih cepat kok dan ada jalur khusus sepeda. Jadi aman. Kalau ia? Tak diberi izin umminya karena lewat jalan raya. Begitu. Meski ada jalur khususnya tapi Adel kan bukan saudara kembar sableng yang kadang juga berangkatnya dari rumah sakit mamanya. Kan tak begitu jauh kalau dari rumah sakit. Adel termenung di dalam angkot memikirkan Fabian. Yeah semua tentang Fabian. Ia tak tahu yang lain lagi. Hahahaha. Disaat ia melamun begini, dua bocah tengil yang membohonginya sudah nongkrong di depan sekolah Shilla sambil mengendap-endap. Harus mengendap-endap karena takut tertangkap. Tahu kan mereka lagi ngapain? Ya kan? @@@ Dua bocah tengil itu sedang duduk di depan jualan jus dan es buah. Dua kakinya berayun-ayun. Jam pulang anak SMA tentu saja lebih lama dari mereka. Anak SMP seperti mereka pulang jam 1 siang. Ya kecuali kalau sudah kelas 9 SMP sih. Kalau katanya Rain, lebih keren kisah waktu di masa putih abu-abu. Padahal Rain juga tak merasakan vinta apa-apa dimasa itu. Ia justru bertemu Awan saat masih SMP bukan? Namun kenapa ia bilang indah? Ya namanya juga ngibulin bocah-bocah ya. Hahaha. Meski mungkin sebagian besar orang mungkin akan mengatakan ya. "Lama banget sih pulangnya?!" Ia mulai mengeluh karena sudah menunggu setengah jam di sini. Mana tadi berjalan kaki dari sekolahannya ke sini kan panas ya. Capek tauk! "Emangnya anak SMA pulangnya jam berapa sih?" Adeeva tampak berpikir namun ia tak ingat. Tak memerhatikan pula jam oulang ketiga kakak-kakaknya. Kini hanya bisa garuk-garuk kepala. Keduanya kembali melihat lagi ke arah gerbang. Lalu ia terpikir sesuatu. "Nanti kalau rame, bakalan kelihatan gak ya?" Biasanya kan kalau bel pulang berbunyi, anak-anak berebut pulang. Hanya sebagian kecil yang mungkin masih menetap. "Ih iyaaaa!" Ia menepuk keningnya. "Iiiiiish! Harusnya lo bawa kaca mata pembesar taaaauuul!" "Ngaruh emangnya? Bisa kelihatan?" Tata sangsi. Yang ditanga malah mengendikan bahu. Ia juga mana tahu kan belum pernah mencoba. Hahaha. Tapi mungkin bisa berpengaruh. Kalau tidak berpengaruh, apa gunanya kaca pembesar heh? Kasihan penemunya kalau tak berguna kan? "Tapi kita gak akan bisa lama-lama ya, Deev? Ini aja udah jam setengah dua. Mau nunggu sampai kapan coba? Kalo kesorean, nanti dimarahin ibuk." Ia jadi gelisah. Ia kan belim dijemput. Hahaha. Mana pulangnya hanya berdua dengan Adeeva. Sebetulnya was-was sih. Mereka belim pernah naik angkot tanpa Adel. Hahaha. "Kan sampai kelihatan doang merekanya, Taaa. Terus harus bisa lihat namanya. Nah masalahnya kan kita gak bisa langsung muncul di depan gitu aja. Kan maluuuuu, Taaa. Nanti dikira aneh gimana?!" Ia menjaga harga dirinya. Hahahaha. Sementara Tata terkekeh kecil. Ya ada benarnya juga sih. "Emangnya lo masih inget mukanya?" "Masih laaah. Masa iya lupa sih? Ini namanya gebetan tauuk!" Ia sudah tahu istilah itu dari kecil karena punya sepupu-sepupu macam Tiara, Rain, Farras, dan Dina. Hahahaha. "Bakal mungkin salah orang gak sih?" "Gak mungkiiiiin laaah! Gue kan belum pikun kayak opaaa," tuturnya percaya diri tapi kenapa opanya dibawa-bawa? Hahahaha. Tak lama terdengar suara bel. Keduanga kompak berseru lalu melompat. Nah ini nih yang mereka tunggu-tunggu bukan? Dengan perlahan, gerbang sekolah dibuka. Butuh waktu satu hingga dua menit hingga anak-anak SMA terlihat. Ada yang keluar dengan berjalan kaki. Ada yang keluar dengan mengendarai motor. Ada yang sendirian di atas motor. Ada juga yang berdua di atas motor. Ada yang muncul sendirian, berdua atau bergerombolan. Ya khas anak SMA yang hidupnya masih belum ada beban banyak. Selain motor, ada juga yang keluar dengan mobil. Adeeva dan Tata kompak membungkukan badan saat mobil yang dikendarai Ali muncul di gerbang sekolah. Sudah mengira kalau itu adalah mobil yang sangat mereka kenal. Apalagi Ali mengeluarkan kepalanya tuh dsri jendela mobil. Lalu ngapain? Berhuhu-huhu ria pada gerombolan temannya yang masih ada di depan gerbang dengan motor maupun yang berdiri. Adeeva geleng-geleng kepala. "Ak Ali berasa kecakepan." Tata terkekeh. Sesekali ia berusaha berdiri karena capek kalau berada di posisi jongkok. Lalu Adeeva menyadari satu hal..... "Ta, kalau kita terus sembunyi kayak gini, gimana bisa ngelihat coba?" Tata mengangguk bodoh. Ya iya juga. Hahahaha. Lalu keduanya menegakkan tubuh secara perlahan. Tapi mendadak berjongkol lagi sambil terkikik-kikik. Kenapa? Karena kemunculan Adrian dengan motornya. Tata geleng-geleng kepala karena Adrian tebar pesona di gerbang sekolah. Biasa, godain cewek-cewek. Hahahaa. "Abang lo tuh!" Adeeva hanya bisa terkekeh. Begitu Adrian pergi, keduanya berdiri lagi. "Aman nih. Mending ke sana yuk! Siapa tahu ada mereka!" Kesuanya berjalan dengan percaya diri menuju gerbang sekolah itu. Tak perduli meski seragam yang dikenakan berbeda. Kalau ada yang bertanya, keduanya sudah siap sih dengan jawaban masing-masing. Apa jawabannya? "Nungguin, papa, kak." Hahahaa. Entah papa siapa. Pura-pura ada saja. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD