"Si! Sii!"
Ia dipanggil-panggil. Ia sedang menaikan bangkunya ke atas meja. Harusnya semua murid di kelas melakukan ini. Tapi tahu kan? Kepatuhan itu mahal di kelasnya. Mungkin kebanyakan anak patuh para peraturan sepertinya yang penakut sepertinya. Hahaha.
Temannya itu memanggil lalu memberikan kode melalui tatapan mata yang tertuju kepada Adrian. Cowok itu bersiul-siul berjalan menuju pintu dengan santainya. Padahal sudah jelas ada namanya pada jadwal piket hari ini. Sadar maksud temannya, ia segera bergegas mengejar Adrian agar tak pergi terlalu jauh.
"Woooi! Driaaaaan!"
Ia berteriak san tangannya dengan s***s menjambak rambut Adrian. Kalau tak begitu, cowok itu tak akan berhenti. Makanya ia jambak.
Adrian mengaduh-aduh. " Asem lu, untuuuuuung cewek!"
"Makanya piket kelas lo kampreeeeeeet! Bukannya bantuin piket malah kabur!"
Eisie mendumel. Tapi hanya seperti itu saja. Ia membalik badan karena mengira Adrian akan mengikutinya. Eeeh jelas itu menjadi kesempatannya untuk kabur.
"Eisiiieeeeeee! Si Adrian malah lari noooooh!"
Eisie langsung membalik badan lagi dan berteriak kencang sambil berkacak pinggang. Kalau mau mengejar Adrian rasanya mustahil. Apalagi tuh cowok langsung berlari kencang begitu mendengar ucapan Monik tadi.
"DASAAAAAR ADRIAN SI KAMPREEEET! AWAS LOOO YAAAAAA! GUE ADUIN LAGI LOO SAMA WALI KELAAAS BIAR MAMPUS LO DIHUKUM BESOK!" teriaknya.
Ia jelas kesal sekali. Ya namanya juga Adrian. Mana peduli sih? Kini ia sudah duduk di parkiran bersama teman-temannya yang tertawa mendengar suara Eisie. Ya kedua orang ini memang sslalu bertengkar. Adrian yang memang tipe usil dan bertemu dengan perempuan yang menurutnya dapat menjadi sasaran empuk. Karena Eisie itu suka mengadu disaat yang lain memilih diam menjadi saksi kenakalan Adrian. Satu-satunya orang yang mungkin paling berani diantara yang lain.
"Berantem mulu lo. Istirahat tadi juga gitu."
Ia nyengir sembari menganbil duduk di atas motornya. Kan mau pulang.
"Lagian tuh orang gak pernah kapok sih. Heran gue."
"Bukan gak pernah kapok tapi emang udah dari sononya begitu. Eisie itu dari SMP juga emang udah begitu kan bentuknya. Lo tau sendiri deh, Yan."
"Dan itu yang bikin gue semakin ingin ngerjain dia. Karena dia ngeselin."
Teman-temannya tertawa.
"Hati-hati loh. Awas aja jadi suka."
Adrian langsung terbahak. "Sorry, bro. Bukan tipe gue. Tipe gue itu.....yang cakep dong. Eisie? Gak masuk lah."
Ia berbicara dengan songong dan sembrono. Teman-temannya terbahak. Beberapa menggelengkan kepalanya. Adrian memang begitu.
"Tapi manis, broooo!"
Mereka terbahak lagi.
@@@
Sementara Adshilla, yang baru keluar dari perpustakaan hanya menggelengkan kepala mendengar Eisie berteriak menyerukan nama Adrian. Kalau sudah tahu percuma ya, lebih baik energi untuk meneriakan Adrian ya digunakan untuk piket kelas. Bikin capek saja kalau hanya mengejar Adrian.
Shilla baru saja tiba di kelas yang sudah sepi. Yang tersisa adalah dua rang yang sedang piket kelas. Ia merapikan barang-barangnya kemudian berjalan menuju gerbang sekolah. Pulang sendirian. Ya memang tak pernah mau pulang dengan Adrian atau Ali sih. Tahu lah mereka bagaimana kan?
Ini adalah tahun pertamanya SMA. Tentu sudah berbeda romansanya dibsndjngkan saat SMP. Biasanya kan ia selalu pulang bersama Adel. Ya di tahun terakhir SMP kala itu. Kadang mereka naik angkutan umum. Kadang juga naik sepeda dan ia yang kurus ini harus membonceng Adel yang jauh lebih berisi dibandingkan dengannya. Hahaha. Tapi tenang saja, Adel tidak gendut kok. Hanya berisi. Hahahaa.
Begitu ia tiba di dekat halte .....
"Gilaaaaak!"
Seruan itu membuatnya menoleh.
"Lama banget gue nunggunya, bisa sampe jamuran."
Adshilla menghentikan langkahnya. Ini cowok ngapain lagi? Ia heran. Bukannya punya motor ya? Kan tadi ia lihat juga motornya. Mahal tuh motornya. Gak berbeda jauh tuh dari yang Adrian gunakan.
"Mau pulang kan?"
Shilla menoleh ke belakang. Hahahaha. Bukan bicara padanya kan? Ya kan? Ia berharap begitu. Hahahaha.
"Kamu lah. Masa aku nanyain hantu sih. Aku anterin yuk. Bahaya kalau pulang sendirian. Apalagi dijam segini, yang lain udah pada pulang."
Abaikan saja, Adshilla. Hahahaha. Ia lebih memilih untuk melihat jam tangannya dan cowok itu terkekeh dengan aksinya. Sudah tahu masih banyak angkutan umum yang melintas dan ini masih siang. Untuk apa ia pulang dengan lelaki ini? Kalau pun sudah malam, ia akan memilih taksi atau meminta dijemput. Justru pulang dengan lelaki ini yang paling tidak aman. Ya kan?
"Shiiiill!" panggilnya. Ia masih menyandarkan punggungnya di tiang listrik sembari melipat kedua tangannya di depan d**a. "Gilaaak! Baru kali ini ada yang cuekin gue."
Tapi anehnya ia tidak kesal ya? Hahaha. Setidaknya Shilla tak kabur. Cewek itu malah duduk di halte dengan santainya. Ya setidaknya tak takut ya?
Itu sih menurutnya. Hahahaha. Padahal nih ya, Adshilla gugup setengah mati. Bukan gugup karena jatuh cinta tapi takut di-bully sama ini orang. Hahaha. Soalnya dari mukanya tuh kayaknya emamg tukang bully sih. Meski ganteng. Eeh ia baru saja mengakuinya ya barusan? Hahaha.
"Ya udah deeeh. Gini aja, aku ikut tungguin kamu di sini deh sampe angkotnya datang. Iya gak, Shil?"
Shilla tak menggubrisnya sama sekali. Ia malah sibuk mengeluarkan sebuah kartu telepon yang ada paket internetnya untuk ia kembalikan pada si pemberi. Tentu saja ia tahu kalau dalangnya adalah cowok ini. Karena teman-temannya di kelas kan heboh. Ia mendadak jadi terkenal gara-gara cowok s****n ini. Padahal ia paling anti menjadi pusat perhatian.
"Maaf, gue gak bisa terima kartu ini."
"Kamu tahu gak? Kata orang kalo ada yang menolak kebaikan orang lain itu gak baik. Artinya kita gak menghargai kebaikan itu. Jadi sekalipun kamu gak minta bantuan dan mungkin gak butuh bantuan jugaz ya seenggaknya hargai gitu," tuturnya pelan.
Tidak ada rasa sakit hati saat mengatakan itu. Tapi bukan yang santai-santai amat juga. Shilla sama sekali tak mengerti apa isi kepala Reifan. Cowok aneh, nakal, dan suka melawan guru jelas bukan tipeny sekali.
"Aku gak akan pernah ambil apa yang aku udah kasih ke orang lain, Shil. Begitu juga dengan perasaanku. Itu berlaku sama."
Perasaan? Itu maksudnya suka sama dia ya? Sorry, ia tak akan tertipu. Lalu?
Ya Shilla berdiri. Angkutan umumnya berhenti tepat di depan halte. Reifan segera menegakan badannya. Bersikap seolah melepas kepergiannya. Walau besok akan bertemu lagi.
"Paaak anterin sampai depan rumah yaaa!"
Ia berteriak begitu. Shilla? Tak perlu didengar. Hahaha. Lagi pula mana ada angkot yang menempuh rute di depan rumahnya?
Shilla duduk di dalam angkot. Tak lama.....
"Pak butuh kartu telepon gak? Ini ada internetnya banyak," ujarnya pada sang supir. "Ambil aja. Gratis kok," tukasnya. Hahahaha. Ia berikan saja pada sang supir angkot dari pada ia ambil sendiri. Untuk apa juga? Di rumahnya ada wifi kok. Ia juga punya paket data. Lalu untuk apa cowok itu memberikannya kartu telepon?
Ia bingung saja karena Shilla tak pernah membalas pesannya. Ia hanya mengira mungkin cewek itu tak ada kuota internet atau tak ada pulsa. Jadi sudah ia belikan banyak tuh di dalam kartu telepon itu. Ia memang belum tahu kan Adshilla berasal dari keluarga yang seperti apa. Karena ia memang tak pernah menunjukannya. Walaupun banyak merk yang ia kenakan, kalah ada yang bertanya, ia akan bilang kalau itu KW. Hahahaha.
"Cowok aneh....."
Itu adalah kesimpulannya soal Reifan. Sementara Reifan?
Bercihuy-cihuy ria seperti orang gila karena mengira Adshilla akan menggunakan kartu yang ia berikan. Hahahaha.
@@@
"Yaaah. Yang mana sih?"
Bahkan mereka sampai masuk ke sekolah tapi tak menemukan sayu pun dari dua cowok yang mereka incar.
"Lo yakin gak sih mereka sekolah di sini?"
"Ya iya lah. Kan duduknya juga di seberang sekolah tuh. Masa iya dari sekolah lain sih, Deeev?"
Keduanya malah berdebat. Hahahaha. Tak mau bertengkar, mereka lanjut berjalan lagi, mengelilingi beberapa kelas. Yang tentu saja tak mendapatkan siapapun. Lalu menghela nafas. Sekolah ini akan semakin sepi. Mana mereka juga tak tahu keberadaan Shilla. Kalau Shilla tiba-tiba muncul dan melihat mereka berdua bagaimana? Hahahaa.
Jadi lah keduanya kembaki ke gerbang dengan hati-hati. Lalu berjalan agak jauh dari area sekolah itu. Takutnya kan Shilla masih ada di sana. Nanti pasti heran kalau melihat mereka ada di situ. Apalagi dengan kebohongan yang mereka lakukan pada Adel. Hahaha. Tiba di ujung persimpangan, keduanya saling bersitatap.
"Naik apa nih?"
"Yang angkot lah."
"Ih rumah gue kan jauh, Deeev."
"Terus mau gimana? Balik ke sekolah terus nungguin om? Yang ada nih kita bakal ketemu teh Adel. Gak mau aaah. Udah capek-capek bohong masa ketahuan sih?"
Iya juga.
"Jemput ayah aja deh. Nanti kamu dianterin gitu."
"Tapi jangan sampai di deoan rumah loh. Kalo ketahuan teh Adel kan bahaya."
"Iyeeeee. Berhenti di taman deh atau rumah opa."
Ia mengangguk. Keduanya bersepakat untuk menelepon Fadli. Segala kebohongan dikerahkan ketika Tata mengirim lokasi keberadaannya yang berbeda. Ayahnya segera meluncur. Mungkin hanya yaaa tak begitu lama lah. Kan ada jalur udara.
@@@
Tiba di depan rumah opa, ia langsing berlari masuk. Ya ganti baju dulu baru kabur. Oma memanggilnya untuk makan dulu eeeh ia sudah berlari melewati pintu. Opa geleng-geleng kepala melihat cucunya yang paling kecil nan menggemaskan itu. Ia dan Adel memang hiburan bagi mereka dulu. Apalagi Adel benar-benar menggemaskan dengan rambut kriwilnya dulu. Kalau sekarang?
Ya masih menggemaskan sih. Walau anehnya rambut itu malah lurus ya. Ya masih ada gelombangnya sih tapi jatuhnya malah bagus banget.
Adeeva pulang ke rumah. Langsung meluncur ke meja makan. Umminya tentu bertanya dengan siapa ia pulang.
"Dianterin tadi sama temen "
Ia berbohong. Hahaha. Airin tentu saja percaya. Ia meladeni anak bungsunya makan lalu membiarkannnya pergi ke halaman belakang. Tentu saja mencari tetehnya. Lalu entah apa yang mereka lakukan, ia juga tak tahu. Yang jelas, ia sibuk di dapur hingga kedua bocah itu datang lagi untuk mengganggunya. Mengganggu untuk apa? Ya bertanya soal cinta-cintaan gitu deh.
"Jatuh cinta ya boleh-boleh saja. Gak ada yang larang juga. Tapi jangan sampai salah jalan loh kayak ummi sama abi dulu. Jadi jangan ditiru ya."
Ia memang pernah bercerita soal ia dan Akib yang satu SMA dan pernah berpacaran. Anak-anaknya ini baru tahu. Ya, Shilla, Adel, dan Adeeva sih yang baru tahu.
"Kalau anak SMA sama anak SMP itu bisa jodoh gak, ummi?"
Ia bertanya. Ya kan maksudnya kalau beda sekolah begitu apakah masih nungkin menjadi jodoh? Hahahaa.
"Iiiih, anak SMA mana mau sama anak SMP!"
Adel langsung nyolot. Karena menurut Adel nih ya, anak SMP itu kan masih kecil banget. Masa iya sih ada yang suka? Hal inj tentu saja mengecilkan hati Adeeva. Tapi ja tentu saja tak menyerah.
"Emangnya kenapa coba gak mau? Om Fadlan sama bunda aja bedanya jauh banget."
Aiein langsung terbahak. Apakah abangnya setua itu dimata anaknya? Hahaha. Itu karena kakak iparnya masih sangat muda sih wajahnya. Seolah tak menua.
Adeeva jadi agak-agak sedih mendengarnya.
"Kalau pun ada yang mau nih ya, seenggaknya mereka bakal pacaran sama yang udah kelas sembilan, Dev. Kalo gak gitu, kan masih anak kecil banget."
"Emangnya kenapa harus kelas 9?"
Ia hampir ingin bertanya kenapa bukan dengannya yang masih kelas 7 SMP. Hahaha.
Ya bayangin aja, anak kelas 7 SMP yang belum lama lulus SD. Masih anak kecil banget kan?"
Ia merasa sombong sedikit jarena sudah lebih dulu sekarang. Hahaha. Ya lah kan kakaknya.
"Terus teteh gimana sama Bang Abi? Emangnya kalo seumuran juga bagus begitu?"
Ia bertanya dengan polodnya. Tapi apa jawaban Adel? Tentu saja dongkol. Hahaha.
"Susah deh ngomong sama teteh. Dikit-dikit ngambek," ujarnya yang entah pada siapa. Yang jelas, ia jadi ikut kesal. Hahaha.
Ia berjalan menuruni tangga. Terdengar suara melengking dari pintu depan sana. Itu suaranya Rain. Ia tentu sangat hapal karena suaranya selalu menggelegar. Nama Adshilla diteriakan. Ia menghela nafas. Adel?
Masih jengkel sih dengan Abi tadi. Tapi ia juga tak bisa marah. Ia menelepon Amanda tapi ya jawaban Amanda tentu saja tak berbeda jauh dengan saat di sekolah.
"Udah lah. Lupain aja itu orang. Ngapain coba ditunggu?"
Seharusnya bisa mudah dengannya. Tapi tak bisa. Lantas Fabian?
Cowok itu sedang belajar. Walau sebenarnya jenuh. Ia juga ingin seperti anak-anak lain tapi tak bisa. Guru privatnya terus mengawainya mengerjakan soal-soal sulit dalam matematika yang seharusnya ia kerjakan. Karena soal-soal itu memang bukan levelnya. Tapi ia tak berdaya. Ia tak bisa melawan papanya sendiri. Hanya bisa pasrah ikut aturan. Ia pernah memberontak. Tapi akibatnya akan fatal sehingga menimbulkan trauma sendiri baginya.
Papanya selalu ingin kesempurnaan dalam hidupnya. Segalanya harus menang karena kalau ia kalah, ia akan habis oleh papanya. Ini memang sesuatu yang tak orang lain tahu. Bahkan Adel sekalipun. Hanya satu orang dari sekian banyak yang paling tahu dengan keluarganya. Tentu saja perempuan yang menjadi sahabatnya sejak kecil dan tinggal di depan rumah.
"Jangan kasih makan kalau salahnya banyak."
Papanya muncul di ambang pintu hanya untuk menyatakan hal itu. Ia tak marah. Hanya menahan dongkol. Walau mungkin ini bisa memicu ledaka
@@@