Tangan Eunha berada di bidang d**a pria yang ada di hadapannya saat ini. Sementara itu, tangan Devan melingkar erat di pinggul sekretaris cantiknya itu.
Tak lama, Arka kembali dan melihat semuanya. Devan tersenyum sinis dan sengaja ingin menunjukkan hal itu pada Arka. Apakah ini kejutan yang hendak diberikan Devan?
Arka hanya mematung, menikmati kelakuan kakak kembarnya itu. Detik berlalu dan irama musik menuntun fantasi mereka.
Eunha tertegun. Wajah mereka yang terlalu dekat hingga membuat pipi itu bersemu merah sekalipun make up di pipinya sangat tipis. Tangan Devan terangkat dan menyentuh pipi Eunha.
"Ka, lo cinta, kan, sama gue?" tanya Eunha.
Devan meraja dengan kebenciannya. Pelupuk matanya berulang kali mengerjap saat mengurangi jaraknya dengan Eunha. Demi membalas sebuah pengkhianatan, dia pun tak sadar akan melakukan satu pantangan terberat dalam hidupnya.
Kedua tangannya menyentuh lembut pipi Eunha. Untuk sesaat, dia merasakan gugup hingga akhirnya tepat mengecup lembut bibir Eunha. Dia pun tak mengerti apa kelanjutan dari hal yang dia lakukan. Arka dan Lisa merasakan sakit yang sama.
"Eunha," lirih Arka.
Arka harus menjadi saksi, kekasihnya dicium oleh kakak kandungnya sendiri. Sementara itu, awalnya Devan hanya ingin mempermainkan hati Arka, dan dengan cepat mengakhiri ciumannya. Karena memang, dia juga tak pernah melakukan itu sebelumnya. Dia tak pernah mencium Lisa seperti itu, tepat di bibirnya.
Eunha seolah menyambutnya. Mata Devan terbuka dan terbelalak. Dia merasa gugup dan jantungnya berdetak hebat. Eunha-lah yang menuntunnya. Dia membalas kecupan itu dan akhirnya membuat Devan terhanyut. Pelupuk matanya kembali tertutup dan mulai mengerti apa yang harus dia lakukan. Mereka menikmati kecupan hangat dan romantis mereka. Devan merasa gugup, ini pertama kalinya dia mencium seorang gadis. Ini adalah ciuman pertamanya, bukan bersama tunangannya.
Biar bagaimana pun, Devan bukanlah Arka. Dia adalah pria dengan segala keterbatasan, termasuk hasratnya. Deru napas yang memburu membuat hormon adrenalin-nya naik, jantungnya pun memacu begitu cepat. Jantung yang baru saja stabil setelah mendapatkan perawatan, kini harus merasakan sakit.
Devan menjauh dan menunduk, Eunha terkejut kenapa Arka-nya mengakhiri kecupan. Karena tak ingin ketahuan, Devan segera pergi dari lokasi pesta. Arka pun segera menyusulnya. Devan masuk ke toilet. Berulang kali dia memegang dadanya yang sakit, menggigit bibirnya untuk mengurangi sensasi nyeri. Tak tahu entah siapa yang akan menyelamatkannya.
"Dev! Buka! Ini gue!" teriak Arka sambil terus menggedor pintu.
Karena tak ada sahutan, Arka segera masuk. Kakaknya itu sudah sangat pucat dan bersandar di dinding.
"Ayo kita pergi dari sini!"
Devan membenci perhatian dari Arka. Bagaimana bisa adiknya tetap menanyakan keadaannya setelah apa yang baru saja dia lakukan?
"Jangan pedulikan gue, b******k!" makinya.
Arka tak mempedulikan kata-kata sengit Devan. Dia harus membawa Devan pergi dan menyelamatkannya.
Suara ketukan terdengar dari luar. "Arka! Lo kenapa?" Suara Eunha terdengar.
Arka tak ingin Devan ketahuan. Kalau tak cepat dibawa pergi, mungkin Devan bisa collaps. Arka melepas jasnya dan menutupi kepala Devan. "Percaya sama gue!"
Devan menurut saja. Dia berlindung di bawah lengan Arka yang menuntunnya ke luar toilet. Mereka keluar untuk menemui Lisa dan Eunha.
"Itu siapa?" tanya Lisa.
"Temen gue lagi sakit. Gue pergi duluan!" kata Arka.
Arka pun membawa Devan pergi dengan mobil metaliknya. Yang dikhawatirkannya hanya Devan. Sambil menahan sakit, Devan terus menatap Arka yang serius dengan kemudinya. Mungkin dia sedikit luluh dengan perhatian adiknya ini.
"Jangan ngeliat gue segitunya! Gue nggak sebaik yang lo pikir. Di balik topeng malaikat gue, gue menyimpan sesosok iblis. Sosok yang belum bisa gue lepaskan karena nggak tega ngelihat lo yang terus-terusan rapuh di depan gue."
Devan tertawa sinis. "Gue tau. Gue akan bersabar sampai lo benar-benar muncul sebagai real Black Angel buat gue."
"Kenapa lo seyakin itu kalau gue akan nyakitin lo?"
"Menurut lo? Jadi seorang dokter untuk nyelamatin hidup gue? Sempurna! Lo berpura-pura jadi sosok malaikat yang sempurna di depan Lisa dan Eunha, Devil! Tujuan lo bersikap baik selama ini cuma agar orang-orang percaya kebaikan lo, 'kan? Sayangnya, gue nggak tertipu."
Rem gesit tepat berhenti di pelataran rumah Keluarga Wijaya. Ada belum membuka pintu, hanya menoleh pada Devan dengan menyiratkan tatapan sendu yang murni tanpa kebencian.
"Suatu saat, jadilah gue walau hanya sedetik. Lo akan tau gimana rasanya dibenci oleh orang yang paling berarti dalam hidup lo. Suatu saat, lo harus ada di posisi gue, Dev! Kalau lo bisa ngelakuinnya, gue akan maafin lo."
Devan tertegun. Arka memapahnya untuk masuk ke rumah megah Keluarga Wijaya. Devan melihat Arka menghela napas panjang, seolah mempersiapkan diri untuk apa yang akan terjadi padanya dalam hitungan detik.
"Devan!"
Mama Wendi mendekat dan mengambil Devan dari lengan Arka. Mendekatlah Papa Frans dengan segala kemarahannya. Seolah semua rasa sakit Devan bersumber dari Arka.
Pipi Arka menjadi tempat hantaman tamparannya.
"Apa lagi ini?! Aku sudah muak denganmu! Selalu saja kau mencari cara untuk menyakiti Devan!”
Mama Wendi dan Devan tak bisa menyela. Nyatanya, ketegaran Arka memaksa mereka untuk bungkam. Tatapan lirih justru dia hadiahkan pada Devan. Arka tahu, hati papanya tak bisa ditembus apa pun. Akan tetapi, hati Devan pasti mampu mendengarnya. Hati dingin Devan pasti bisa merasakan getaran yang sama dengannya.
Arka kembali menatap papanya. "Suatu saat aku akan pergi, tapi kuharap Anda nggak menyesalinya, Pak Frans! Kalau Anda menyesalinya, aku nggak akan bisa pergi dan melepaskan dunia yang saat ini kugenggam. Dunia hitam yang kupercayai masih tersisa tempat untuk orang sepertiku di sana."
Bukannya terketuk, Papa Frans justru tertawa meremehkan. "Menyesal? Kamu sungguh percaya diri, Anak Muda! Akulah orang pertama yang akan tertawa bahagia!"
"Kalau begitu, aku akan bersabar sampai hari itu tiba."
Arka keluar rumah dengan memendam kesedihan dan kemarahannya. Sesaat, dia menatap langit bertabur bintang. "Hati dingin Papa, sampai kapan pun nggak akan pernah bisa kumiliki. Aku menyerah akan hati Papa, Tuhan! Aku berhenti sampai di sini."
*
Pagi itu, Devan kembali bekerja meski kedua orangtuanya memaksa untuk beristirahat lagi. Devan tak ingin terus berbaring di kasur itu. Lelah punggungnya berbaring terlalu lama. Seharian pun, Devan merenung di depan meja kerjanya. Sudah tiga hari berlalu, dan dia masih memikirkan Arka.
Terkadang dia sangat membenci Arka. Akan tetapi, dia tak bisa memungkiri dirinya begitu menyayangi adiknya itu. Konflik kembali mencuat saat Lisa menaruh hati pada Arka. Apakah itu mutlak kesalahan Arka?
'Gue harus apa? Apa gue harus minta maaf sama dia?'
Melihat Devan melamun, Eunha berjalan ke mejanya.
"Pak Devan baik-baik aja?"
Pikiran Devan teralihkan. Ketika melihat wajah Eunha, Devan kembali teringat kejadian di malam party itu. Gadis inilah yang diciumnya. Tahukah dia kalau first kiss Devan menjadi miliknya?
Hanya mengingatnya saja, wajah Devan berubah menjadi merah. Sangat kontras dengan kulitnya yang pucat.
"Ada perlu apa?" tanya Devan, cuek. "Kalau ada berkas yang mau ditandatangani, lo tinggal letak di meja dan balik sana ke meja lo! Lo masih banyak kerjaan, kan?"
Eunha terkejut dengan bentakan tak beralasan itu. Melihat wajah gugup Devan, Eunha menarik pipi pria itu agar menatapnya. Beberapa detik berlalu, Devan semakin gugup dan salah tingkah. Dia menepis tangan Eunha dari pipinya.
"Apa yang lo lakuin?!" kesal Devan.
Eunha menghela napas dan bersedekap. "Anda yang kenapa? Ini di kantor! Kenapa berbicara tak formal seperti itu pada saya? Saya bingung dengan sikap Anda, Pak Direktur!"
Eunha terlihat kesal. Devan justru keki dan menggaruk telinganya. 'Si jutek ini, apa dia nggak sadar kalau gue yang diciumnya di pesta?' batin Devan.
Devan tersenyum kecil karena ingat bahwa Eunha tak tahu apa-apa soal kemarin. Jantung Eunha berdegup saat melihat pria arogan itu tersenyum. Tentu saja, ini pertama kalinya pria itu tersenyum dengan hatinya. Bukan senyum ramah pada kolega bisnis atau apa pun itu.
'Sial! Kenapa dia jadi ganteng banget gitu? Sadarlah, Eunha, dia itu bos setan yang selalu bully lo tiap hari,' batin Eunha.
Eunha mengetuk kepalanya karena sempat terhipnotis pesona charming pria itu. Devan masih terus memperhatikan Eunha.
"Kenapa, Pak? Ada yang lucu dengan wajah saya?"
Eunha melayangkan tangannya ke arah wajah Devan. Devan menggeleng saja, tak menjawab.
'Selama delapan tahun dia mencintai Arka, apa dia nggak bisa ngenalin setiap inchi wajah pacarnya sendiri? Apa dia nggak bisa nemuin perbedaan antara gue dan Arka?' batin Devan.
"Pak!"
Devan menghela napas, mengalihkan pandangannya. "Apa lo ikuti saran gue? Pesta malam itu, apa lo merias diri dan memakai lipbalm strawberry? Ternyata, lo itu sekretaris yang penurut, ya!"
Alis Eunha tertaut. Dia bingung dan memegang bibirnya. 'Lipbalm strawberry? Dia tau dari mana? Bukannya dia nggak datang ke party itu? Apa Arka cerita ke Devan soal itu?' batin Eunha terus digerogoti pertanyaan membingungkan.
"Hei, Chubby Girl! Mau sampai kapan lo berdiri di sini? Tugas lo masih numpuk. Kembali ke tugas lo atau gue pecat!"
Bos yang aneh. Eunha tak ambil pusing dan kembali dengan tugasnya. Detik terus berlalu dan Devan masih terus menatap Eunha.
'Kenapa dia ngeliatin gue aja, sih?' batin Eunha.
Devan tersenyum tipis. Dia mengambil ponsel dan mengirimkan pesan pada Eunha.
[Sorry, tapi thanks untuk yg lo kasih ke gue. Itu hal terindah yg pernah gue rasakan. Sekalipun gue berharap itu bukan milik lo, tapi itu udah terjadi. Itu satu-satunya kesempatan yang nggak pernah diberi takdir ke gue, dan lo udah berhasil kabulkan itu. Wah, lo bahkan lebih hebat dari malaikat.]
Eunha bergidik ngeri saat membaca pesan itu. Bosnya itu hanya tersenyum dan menggaruk sisi telinganya.
'Dia benar-benar sakit. Wajar aja Lisa nggak jatuh cinta sama dia. Akhirnya, gue sadar kalau Lisa cukup waras untuk itu. Manusia dingin dan menyebalkan itu! Oh Tuhan! Jauhkan hidupku dari orang aneh ini!'