Bab 15. Siasat Devan

1543 Words
Arka berdiri di depan cermin kamarnya, mengencangkan posisi dasi biru yang berada di kerah kemeja. Tatapannya sungguh dingin. Dia siap bertugas di Raztan Hospital. "Apa yang akan lo lakuin ke gue, Dev? Merebut Eunha? Eunha nggak mungkin jatuh cinta sama lo. Nggak akan pernah." Arka menyambar kunci mobil dan jas putihnya. Secara bersamaan, dia ingin keluar gerbang dengan sebuah mobil putih koleksi garasi. Arka ceroboh, itu adalah mobil milik Papa Frans. "Sial!" Pria itu keluar dari mobilnya dengan bias marah. "Keluar, kamu!" Arka pun keluar dari mobil dan berdiri di hadapan sang ayah. "Kamu tak lihat aku ingin keluar? Sombong sekali kamu, Anak Muda! Kamu kira, aku bisa terkesan dengan mobil mahalmu itu?! Kenapa tidak pergi saja kamu dari rumah tukang kebunku?!" "Maaf, Pak! Saya sedang terburu-buru. Saya ada jadwal operasi 1 jam lagi." Dari kejauhan, Mama Wendi mendekat. Dia takut saja keributan akan semakin terjadi di antara putra dan suaminya ini. "Pa, ada apa ini?" tanyanya. Papa Frans urung menanggapi, lebih memilih mengumpat kasar sang putra karena mengacaukan paginya dengan perseteruan. "Kamu pikir, aku bangga dengan kesuksesanmu sekarang?! Kamu harus sadar diri! Kalau bukan karena aku, kamu takkan jadi seperti ini! Jangan lupa daratan!" Arka naik darah. Karena sang ayah? Tidak, pria itu bahkan tak peduli dan menganggapnya seperti sampah. Ketika enam tahun lalu saat dia berhasil meraih gelar sarjananya, beliau dengan mudah menginjak harga dirinya. Dunia balap liar, semua itu dia lakukan untuk menghidupi dirinya. Mengandalkan nyawa hanya demi sesuap nasi. Bagaimana bisa Sang ayah merasa punya andil akan kesuksesannya? "Berhenti bersikap seolah-olah Anda Tuhan, Pak Frans! Aku hidup sampai detik ini bukan karena Anda! Jadi, jangan pernah sekali pun berharap aku bisa berhutang budi pada Anda! Anda hanyalah manusia tanpa hati." Pak Frans tersenyum sinis ketika istrinya itu menampar Arka di depan tatapan sinisnya. Dirasanya sang putra begitu keras bersikap pada ayahnya sendiri. "Arkana!" tegur Mama Wendi. "Kamu lihat dia, Wendi! Dia bahkan tak bisa bicara sopan pada orangtuanya! Apa kamu masih peduli padanya?" Papa Frans pergi, membawa mobil putihnya setelah membuat hati keduanya berkecamuk. Sang ibu berdiri ragu di samping Arka. Arka tahu mamanya tak sengaja, tapi untuk menatap mata itu, dia bahkan tak sanggup. "Maafin Mama, Ka." "Aku lelah! Mungkin lebih baik aku anggap kalian semua memang nggak pernah ada. Aku nggak mau berharap lebih jauh lagi. Devan benar, Anda ini ibunya. Aku sama sekali nggak berhak. Aku nggak akan mengganggu kalian lagi, Nyonya Wendi. Tapi kalau suatu saat Anda merindukan putera Anda ini, tolong cari dan peluklah dia sekali lagi." Arka meninggalkan ibunya yang kini berderai air mata. Dia terus menyetir dengan perasaan amarah dan sakit yang menyatu. "Sial!" Arka berteriak sambil memukul stirnya. Saat matahari beranjak naik ke atas kepala, suasana Jalanan terasa bising di depan perusahaan Wijaya Corp. Devan dan Eunha belum beranjak karena memarkirkan mobil cukup jauh dari kantor. "Laporan meeting kemarin, apa sudah selesai?" "Sudah, Pak! PT. Giant sudah menyetujui semua syarat yang kita ajukan. Pertemuan selanjutnya adalah penandatanganan MOU untuk kerja sama 5 tahun mendatang!" Devan mengambil berkas yang diberikan Eunha, dibolak-baliknya. Tanpa sengaja, dia melihat jelas sebuah mobil terparkir di seberang jalan. Devan tersenyum sinis, mengenali mobil itu. Itu milik Arka. Sudah sejak selesai operasi pagi tadi, Arka merasa tidak tenang dan berada di depan kantor itu hanya untuk memantau Devan dan Eunha. "Tolong, jaga kepercayaan gue, Eunha," lirih Arka. Devan merencanakan sesuatu. Dia segera menggenggam jemari Eunha, meminta Eunha menyeret langkahnya lebih cepat. "Ayo, nanti kita terlambat!" perintah Devan. "Pak, pelan sedikit. Bapak nggak lihat saya bawa banyak barang?" Eunha kesal karena seenaknya saja Devan menyeretnya padahal tangannya penuh akan berkas dan tas notebook. "Dasar cerewet!" "Pak!" "Apa lagi? Cepat!" "Aduh!" Berkas berjatuhan karena Eunha terkilir. Sebelah heels-nya patah. 'Pengen banget gue tabok tampangnya, biar luntur tuh aura setannya,' batin Eunha. Arka pasti melihatnya hingga Devan memanfaatkan kesempatan itu. Dia ikut jongkok dan memegang kaki kiri dan sekretaris. "Maaf, boleh saya lihat sebentar?" tanya Devan. Eunha nyaris jatuh menyadari saat boss yang satu ini begitu sopan berbicara. Spontan, Devan menggendong Eunha hingga wajahnya begitu dekat dengannya. "Pak Devan? Ini apa-apaan?" seru Eunha, gugup. "Maaf, biar kugendong aja." "Pak, turunin saya. Saya bisa jalan tanpa sepatu, kok." "Kamu pikir saya tega?" "Nanti Bapak bisa sakit." "Segitu perhatiannya pada saya?" Eunha tak bicara dan membiarkan Devan terus menggendongnya menapaki jalan. 'Kenapa dengan iblis yang satu ini? Gue bukan peduli sama lo, tapi kalau lo sakit, siapa yang gaji gue, Bos,' batin Eunha. 'Nih anak berat juga, ya! Makan nasinya berapa karung, sih, tiap hari?' gumam Devan. Devan berhasil mempermainkan hati Arka di sana. Si bungsu itu tertegun, tak menyangka Devan bisa setega itu padanya dengan memanfaatkan Eunha untuk membuatnya cemburu. 'Jangan lakukan ini, Eunha. Jangan mulai berpikir tentang dia, jangan mulai peduli sama dia. Dan jangan pernah sedikit pun terlintas untuk gantiin posisi gue di hati lo dengan dia. Please.' Arka membuka dashboard dan mengambil foto Devan dari sana. Menatap sendu dengan garis bibir pilu. "Selama ini, yang gue punya cuma Eunha. Apa sekarang lo juga akan merebut satu-satunya yang berharga dalam hidup gue, Kak?" Ponsel Arka berdering, panggilan dari Devan. Dia pun menggeser ikon hijau untuk menjawabnya. "Apa lagi?" sahut Arka. "Gimana sama kejutan tadi?" "To the point aja, ada perlu apa lo hubungi gue?" "Nanti malam lo datang, kan, ke pesta anniv butiknya Lisa?" "Apa pentingnya gue datang atau enggak?" "Gue harap lo datang, gue ada surprise lagi buat lo. Pastikan lo terima hadiah dari gue ya, Adik gue tersayang!" Devan mengakhiri panggilan. Tiba-tiba saja jantung Arka berdegup lebih cepat dari sebelumnya. "Apa lagi yang direncanakan Devan?" * Sudah lewat jam kerja, Eunha bingung kenapa Devan masih sibuk dengan tugasnya. Padahal malam ini tunangannya mengadakan pesta. "Pak, kenapa belum pulang?" tanya Eunha. "Kenapa saya harus pulang?" "Ini hari penting untuk Lisa, Bapak nggak ingin hadir?" Devan tetap tak acuh, matanya tak bergeser dari layar laptop. Sesekali dia melepas kacamatanya, memijat-mijat puncak hidungnya, lalu dipakainya lagi benda lensa tersebut. "Ini memang hari penting buat Lisa, tapi saya nggak terlalu penting buat dia. Dia bahkan nggak hubungi saya hanya untuk sekadar mengundang!" oceh Devan. "Anda tunangannya, kenapa harus pakai undangan segala?" Devan tak peduli. Eunha akhirnya mendekat dan menarik laptop Devan. "Cukup, Devano!" "Hei! Ini di kantor. Bicara sopan pada saya. Saya ini bos." "Oke, bos. Ini udah lewat jam kerja. Jadi gue nggak perlu pake bahasa formal sama lo." Devan cuek, menarik laptopnya dari tangan Eunha. "Cepat pulang dan istirahat! Nikmati pesta malam ini, Dev!" "Berisik lo!" Eunha tersenyum. Dia meletakkan tangannya di d**a bidang Devan untuk merapikan jas pria itu, lalu ikatan dasinya. "Oke, tugas gue hari ini selesai. Sampai bertemu besok, Bos." Devan tertegun. Gadis itu kembali ke mejanya dan berkemas. Sebelum pergi, dia menoleh sesaat pada Devan. "Jangan menyerah! Teruslah genggam erat supaya dia merasakan tulusnya rasa sayang lo ke dia!" pesan Eunha, mengingatkan perjuangan Devan untuk mendapatkan hati Lisa. "Tunggu!" Devan berjalan ke arah Eunha. Kini, mereka berhadapan. Devan tersenyum evil dan mendekat ke telinga Eunha. Berbisik dengan nada rendah. "Jadilah princess cantik untuk malam ini. Lo itu bahkan lebih manis dari Lisa. Pakai make-up, juga lipbalm. Ya, gue suka strawberry!" bisiknya. Eunha bergidik ngeri dan mendorong d**a Devan. "Lo beneran sakit, ya?" "Gue minta maaf untuk malam ini!" Eunha tak peduli dan pergi saja dari ruangan dingin itu. Devan tersenyum sinis, satu rencana besar ada di kepalanya. "Nikmati hadiah lo ini, Arkana!" Malam ini adalah party untuk merayakan Anniversary butiknya yang ke-4 tahun. Pesta topeng yang sangat menarik. Lisa, Eunha, dan Arka terlihat saling bercanda tawa di antara mereka. Lisa sangat cantik dengan gaun birunya. Sekalipun topeng itu menutupi sebagian wajahnya, kecantikannya tak memudar. Eunha tampil sederhana, namun terlihat sangat manis. Gaun putih selututnya terlihat senada dengan warna putih kulitnya. Rambut legamnya yang tergerai indah terlihat apik dengan flower crown yang menghiasi kepalanya. Arka menggunakan dress code putih berbalut jas hitam dengan jins yang berujung sneakers putih di kakinya. Topeng berwarna perak dan biru terlihat sangat serasi dengan kulitnya yang cerah. Mereka menikmati pesta. Dari kejauhan, sinar mata sinis justru menyoroti mereka. Devan. "Kalian menunggu hadiah dari gue?" Devan segera pergi dan masuk ke sebuah ruangan di sisi sudut rumah Lisa. Devan mengusap perlahan jasnya, dress code yang sama seperti Arka. Sudah sejak sore, dia mengintai Arka hanya untuk menduplikasi penampilan adiknya itu. Dia bahkan menata rambutnya persis sama dengan warna dan model rambut Arka. "Lo mempermudah jalan gue, Ka." Meskipun sama persis, tetap saja ekspresi wajah mereka berbeda. Namun, ketika topeng itu melekat di wajahnya, tak akan ada yang menyadari bahwa dia bukan Arka, bahkan dua wanita itu sekalipun. "It's show time!" Dia kembali ke pesta dan menatap dari kejauhan. Tangannya mengirim pesan lewat ponsel. Rencana berikutnya. Para tamu terkejut saat lampu padam. "Ka." "Kalian tunggu di sini bentar, ya! Gue cek dulu, mana tau korslet atau apa. Jangan cemas!" pesan Arka. Arka segera pergi meninggalkan suasana pesta. Selang 1 menit, telinga mereka dimanjakan oleh alunan musik yang merdu dan romantis. Pandangan mereka beralih pada sorotan lampu yang bergerak dari kejauhan. Eunha dan Lisa tersenyum, tak menyangka ternyata ini kejutan manis dari Arka. Seorang yang lain menggantikannya. Devan. Akan tetapi, tak ada yang mengenali. Tpeng emas mengaburkan identitasnya. Eunha gugup dengan senyuman yang terluas dari bibir tipisnya. Pria itu berdiri di hadapannya. Dia Arka-nya. Eunha hapal bau parfum pria itu. "Arka." "Berdansalah denganku!" kata Devan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD