Bab 17. Hurt -1

1934 Words
Lisa dan Arka sedang berada di ruang ginekologi. Arka menemani Lisa untuk check up lanjutan pasca vonis kista yang dialami Lisa. "Bagaimana hasil tesnya, Dok?" tanya Arka pada seorang dokter muda yang menangani pemeriksaan Lisa. Dokter muda itu melepas kacamatanya dan menganalisis laporan. "Hanya dengan obat penahan rasa sakit, tentu saja tak bisa diharapkan. Tolong segera lakukan operasi! Tumor itu akan menjadi ganas jika pasien terlalu sepele akan hal ini." "Baiklah, terima kasih, Dok." Arka mengajak Lisa pergi. Mereka pun duduk di taman rumah sakit. Lisa masih belum bicara, Arka tahu Lisa sangat takut. "Jalani operasi, ya!" bujuk Arka. "Aku takut, Ka. Gimana kalau operasinya gagal dan-" "Nggak seserius itu, Lis! Tapi, kita tetap harus waspada. Lebih dini dilakukan skrining tentu bisa mencegah tumor itu menjadi ganas, kan? Bisa, nggak, jangan keras kepala untuk kali ini aja?!" Arka sedikit membentak Lisa. Dia tak ingin Lisa bersikeras dan terus mengulur waktu. "Aku punya pasien yang butuh waktu dan perhatian dariku. Mengurusi kamu bukan tugasku!" Lisa terkejut dan menatap dengan binar mata kecewa. "Kamu terbebani? Kalau gitu, pergilah! Jangan pedulikan aku lagi!" Arka merasa bersalah. Dia segera memegang tangan Lisa. Bagaimanapun dia adalah seorang dokter. Tak pantas rasanya bicara sekasar itu pada Lisa yang saat ini juga ketakutan. "Maaf, aku nggak bermaksud-" "Memang cuma Eunha, ‘kan? Selama ini kamu cuma mainin perasaanku! Bersikap seolah-olah kamu peduli, padahal kamu cuma kasihan, kan, sama aku? Iya, kan?" "Kenapa kamu bisa bicara gitu? Sekalipun aku nggak pernah bicara jujur, kupikir kamu bisa melihat dari mataku. Lis, mengertilah." "Aku nggak akan operasi. Biarkan aku seperti ini. Hidup atau enggak, kurasa nggak ada artinya kalau kamu nggak ada di sisiku!" Terpaksa, Arka mengangguk karena tak ingin kondisi Lisa semakin parah. Pun dia tak ingin wanita yang dicintainya ini semakin kesakitan jika kista itu tak cepat ditangani. "Baiklah." "Makasih, Ka." Arka menarik punggung Lisa dan memeluknya. Dari jauh, Jimmy mendekat dengan seorang gadis cantik yang merupakan Ko-As di Raztan Hospital. "Lagi pacaran, ya!" tegur gadis itu. "Ini rumah sakit, Dok! Contoh yang nggak baik untuk Ko-As sepertiku." Jimmy tak menanggapi ucapan Jihan, adiknya. Arka dan Lisa tersenyum malu dan sedikit berjarak. Sebenarnya Jimmy juga tak nyaman dengan kedekatan Arka dan Lisa. Arka yang sudah memiliki kekasih dan Lisa yang sudah bertunangan dengan Devan. "Jihan, ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Anggap aja ini cara seorang dokter untuk membujuk pasiennya!" ujar Arka, beralasan. "Beneran? Apa aku boleh ngelakuin itu juga? Wah, menarik banget jadi seorang dokter. Kalian punya pasien penyakit jantung yang cakep, nggak? Kalau dia frustasi dan nggak mau dioperasi, bisa aku peluk, deh!" Jimmy menjitak kepala Jihan dengan gemas. "Dasar genit. Masih Ko-As aja udah mimpi pegang pasien dan nangani operasi. Belajar yang banyak!" tegur Jimmy. "Sekalipun ini rumah sakitnya Papa, dia juga nggak akan ngizinin kamu jadi dokter genit yang merusak image Raztan Hospital." "Awas aja! Kalau aku nemu pasien yang cakep, aku akan lakuin segala cara agar dia sembuh!" kata Jihan. "Saudara kembarku juga pasien di sini. Tapi kamu bukan tipenya, Bawel!" seloroh Arka sambil mencubit hidung Jihan. "Kalau aku naksir dia, dr. Arka harus merestuiku sama dia nanti!" omelnya lagi. "Minta izin dulu sama tunangannya ini!" ucap Arka sambil melirik pada Lisa. Lisa sungkan saat ditatap Jihan. Jihan tersenyum kecut dan melipat tangannya. Menyenter keduanya dengan binar interogasi. "Kalau Mbak ini tunangan saudara kembar Dokter, kenapa malah pelukan sama dia? Apa Dokter sedang menikung atau mengkhianati saudara sendiri?" Bermaksud candaan, Arka dan Lisa justru tersindir. Jimmy pun menengahi karena suasana mendadak canggung. "Lis, saya pinjam dr. Arka sebentar, ya! Ada yang harus dia tanggung jawabi di sana dengan para residen satu. Kalau butuh sesuatu, tolong hubungi dr. Grace. Dia adalah dokter ginekologi handal. Saya yakin yang bisa menyembuhkan Anda adalah dia, bukan dr. Arka!" ketus Jimmy. Arka diseret oleh Jimmy dari sana. Tersisa Jihan dan Lisa yang tampak canggung. "Jangan tersinggung sama omongan kakak saya, Mbak! Kadang dia memang rada judes, tapi yang diomongin pasti ada alasannya, kan?" ungkap Jihan. Lisa mengangguk saja dan membiarkan Jihan pergi. Benar. Lisa juga menyadari jika Arka bukan miliknya. "Apa dia nggak bisa cuma jadi milikku?" Ponsel Lisa berdering. Lisa pun mengangkat panggilan dari mamanya itu. "Ya, Ma." "Sayang, kapan kamu kembali ke Taipei? Papamu sedang sakit, kemarin jatuh dari tangga," ungkap mamanya dari seberang panggilan roaming. "Trus, gimana keadaan Papa sekarang, Ma? Apa parah banget?" "Sudah ditangani, Sayang. Tapi kaki kirinya patah dan sekarang di-gips. Perlu waktu sebulan untuk pemulihan." Lisa membisu sesaat. Keheningan membantunya menyelami pikiran akan kondisinya sendiri. "Besok aku akan ke sana, Ma. Jangan cemas! Aku akan pergi sama dia ke Taipei." "Apa dia mau menemanimu ke Taipei? Devan, kan, tidak boleh naik pesawat. Penyakit jantungnya−" "Mama tenang aja. Aku ke sana bersama orang yang kucintai dan bisa terus menjagaku. Aku tutup dulu." Lisa mengakhiri panggilan. Keputusan egois terlahir karena perasaan tertekannya. "Mungkin ini satu-satunya cara agar kamu jadi milikku, Ka. Maaf, Eunha, aku mencintainya. Harusnya kamu tetap menggenggamnya supaya aku nggak mengambil dia. Tapi hati Arka itu separuhnya adalah milikku. Dia mencintaiku, tapi nggak bisa lepasin kamu. Dia juga ragu padamu, kan?" Keserakahan pun muncul. Dia ingin memiliki Arka dan melepas Devan yang dari awal tak pernah dia cintai. Lisa mengambil ponsel dan menghubungi Devan. "Kamu di mana? Nanti malam, aku mampir, ya!" sahut Lisa begitu panggilan terhubung. "Ke rumah? Kamu mau dinner bareng aku, ya, Lis?" "Ada yang ingin kubicarakan, tentang hubungan kita." "Baiklah, aku pulang sekarang. Aku akan siap-siap lebih dulu. Perlu aku jemput, nggak?" "Nggak perlu, Dev!" "Ya udah, aku tutup dulu, ya. Love you." Lisa hendak memutuskan perkara terkait kelanjutan pertunangannya dengan Devan. Sementara itu di Wijaya Corp, Devan tampak bahagia setelah menutup panggilan. Dia tersenyum dan mulai membereskan pekerjaan. Eunha bingung melihat wajah sumringah Devan. Caranya tersenyum dan bahagia, Eunha seperti tak mengenalinya. 'Devan kenapa, ya?' Setelah menyambar jas di atas sofa, Devan mendekati Eunha. Eunha justru gugup dengan ekspresi indah pria itu. Sangat manis. "Saya harus pergi. Tunangan saya mengajak saya untuk makan malam, jadi saya harus pulang saat ini juga. Kamu bisa tangani ini semua, Eunha?" "Lisa ngajak dinner?" "Dia bilang akan membicarakan hubungan kami. Saya rasa ini sudah waktunya. Saya akan melamarnya malam ini. Saya bahagia sekali. Apa boleh saya peluk kamu?" Saat dipeluk Devan, Eunha justru merasa sedih. Dia tahu betul bahwa hati Lisa hanya milik Arka. Dia takut membayangkan sesakit apa Devan nanti jika kebahagiaannya hancur. Eunha membalas pelukan Devan dengan tangan gemetar. Devan terlampau bahagia, hingga dadanya berdegup sangat kencang. Sakit. Eunha mendengar pelan rintihannya. Devan melepaskan pelukannya dan memegang d**a kirinya. "Tolong kontrol emosi Anda, Pak! Jangan biarkan jantung ini berdetak sangat cepat. Itu hanya akan−" Devan menautkan alisnya dan tersenyum miris. "Bahkan untuk bahagia aja terasa sakit." Eunha segera mengambil segelas air dan merogoh saku jas Devan di mana tabung pil itu selalu di sana. Dia membantu Devan meminum obatnya. Bahkan dia lupa meminumnya siang tadi. "Apa masih sakit, Pak? Kita perlu ke rumah sakit, nggak?" Devan menghirup napas dalam-dalam dan menstabilkan emosinya. Eunha miris menyaksikan keseriusan Devan. Baginya, Devan dan Arka sama terlukanya. Hati hancur milik Arka, sampai kapan pun takkan bisa terobati. Sementara Devan, takdir terus menguji kesetiaan dirinya pada hidup dengan memberikan rasa sakit terus menerus pada jantungnya. "Nggak perlu. Saya langsung pulang aja. Makasih, Eunha." Devan segera pergi meninggalkan Eunha. Berharap semua akan baik-baik saja, tanpa terkecuali. * Malam sudah tiba. Ruang makan rumah Keluarga Wijaya kini disulap menjadi suasana dinner romantis ala restaurant Paris. Devan sangat antusias dan bahagia. Dari sakunya, dia mengeluarkan kotak berwarna merah. Sebuah cincin bertahta berlian menyembul dari bantalannya. Malam ini ingin dijadikannya sebagai moment bersejarah untuk melamar Lisa. "Thanks, Lisa." Senyum Devan itu membuat Papa Frans dan istrinya bahagia. "Putra kita, Ma, dia terus tersenyum. Setelah ini, dia pasti akan bahagia dan mencintai Lisa seumur hidupnya. Hanya melihat Devan tersenyum saja, itu sudah cukup." Mama Wendi terdiam. Dia teringat bagaimana selama ini suaminya itu memperlakukan Arka. 'Apa kamu nggak penasaran bagaimana senyuman terindah putra kita yang lain, Frans? Arka memiliki senyuman yang sangat indah. Tapi kamu merebut semuanya darinya. Senyum terindah putra kita, aku ingin melihatnya lagi.' Papa Frans segera pergi karena yakin Lisa akan datang. Sementara itu di luar, sebuah taksi berhenti bersamaan dengan mobil putih Arka yang terparkir di sana. Keduanya kini berhadapan. Arka dan Lisa. "Kamu mau ketemu Devan, Lis?" tanya Arka. "Iya. Ada yang ingin kubicarakan dengan Devan. Janji itu, kamu nggak lupa, kan? Kamu benar mau nemenin aku untuk jalani operasi?" Arka tersenyum dan menyentuh kepala Lisa. "Ya. Yang penting kamu sembuh dulu. Jangan katakan apa pun pada Devan! Kalau dia tahu penyakit kamu, nanti dia akan kecewa." "Terjadi sesuatu dengan papaku di Taipei. Kurang dari dua jam lagi, aku harus ke bandara. Aku akan menginap beberapa hari di sana dan secepatnya kembali. Setelah itu, kita akan bicarain kelanjutan dari janji kamu ini. Mau, kan, nungguin aku?" "Baiklah. Aku janji, Lis." "Aku masuk dulu, Ka!" Lisa pergi meninggalkan Arka. Tanpa dia sadari, Eunha sudah melihat sejak tadi. "Arka." Arka berbalik. Gadis itu mendekat dan kini berdiri di hadapannya. Tak ada yang perlu disembunyikan karena nyatanya, Eunha tahu bagaimana hati Arka selama ini. "Walaupun lo nggak pernah bilang ke gue, tapi gue tau kalau lo juga mencintai Lisa. Apa sekarang, Lisa jadi pacar terbaik buat lo, Ka, bukan gue lagi?" Arka belum bicara. Dia pun mengingat kejadian itu. Seperti orang bodoh, dia hanya mematung ketika kakaknya mengecup bibir kekasihnya ini. Dia menyentuh dua pipi Eunha dengan binar tegas. "Nggak seperti itu. Lo tetap yang terbaik buat gue, tapi Lisa−" "Lisa? Lo jadiin dia apa? Selingkuhan lo? Atau sekadar selingan? Lo jahat, Ka! Lo bukan cuma nyakitin gue, tapi juga Lisa!" Eunha hanya ingin menyadarkan Arka akan tindakan egoisnya yang menggantung cinta Eunha dan Lisa bersamaan. Arka pun melepaskan tangannya dari pipi Eunha. "Sampai kapan lo akan terus menimbang antara hati gue dan hati Lisa? Bersikap seperti ini cuma akan bikin Lisa makin berharap dan dia terus nyakitin Devan. Kalau lo nggak bisa lepasin Lisa, biar gue yang lepasin lo. Gue capek, Ka. Gue capek dengan semua kecemburuan ini. Gue juga nggak mau kebimbangan lo ini bikin lo terus-terusan nyakitin Devan." Arka terkejut saat Eunha menyebut nama Devan. Emosinya tersulut. Dia takut kehilangan Eunha. Apalagi jika gadis itu mulai memperhatikan Devan. "Gue cinta sama lo, Eunha. Please, jangan lakuin ini. Gue nggak mau kehilangan lo." "Cinta? Sekarang lo bilang cinta? Kemarin ke mana aja? Lo bilang cinta karena terpaksa? Bener, kan? Hati lo terlalu serakah akan cinta, Ka. Sikap Lisa itu akan buat dia terus-terusan nyakitin Devan, dan lo juga akan melukai Devan. Devan nggak tau apa-apa tentang hati kalian. Dia tahu, tapi mungkin dia tutup mata. Devan−" "Devan? Apa sekarang Devan? Kenapa terus mencemaskan dia? Memangnya kenapa dengan Devan? Apa lo nggak terlalu egois dengan membela pria lain di depan pacar lo sendiri, Eunha?" Eunha terdiam mendengar bentakan Arka. Hatinya mendadak kacau. Teguran Arka itu membuatnya sadar. Sejak kapan dia sangat peduli pada Devan? Di hadapan Arka, bahkan tanpa sengaja, matanya berkaca-kaca hanya dengan mengingat rasa sakit apa yang selalu digoreskan Lisa untuk Devan. "Jangan pernah menangis di hadapan gue demi cowok lain! Lo itu milik gue! Bahkan nggak peduli sekalipun gue cinta sama lo atau nggak, lo nggak punya hak ninggalin gue! Jangan pernah mikirin dia lagi!" Tanpa sadar, Eunha meneteskan air mata untuk rasa sakit Devan. "Mungkin ini karena gue dan Devan sama-sama terluka karena ulah kalian. Akhirnya gue takut dia ngerasain sakit yang sama kayak gue. Mungkin gue bisa menahan rasa sakit dengan menangis, tapi Devan, kalau dia tau gadis yang dia cintai nggak mau hidup sama dia, mungkin dia akan biarin jantungnya berhenti berdetak lagi. Gue memahami Devan sama seperti gue memahami diri gue sendiri!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD