Hari s**l Andra

1294 Words
Sebenarnya, Alana tahu jika Andra itu baik. Walaupun sering kali pemuda itu menentang apa yang ia ucapkan, acuh kepadanya dan tak pernah mendengar kata-katanya, tetapi ia yakin, jika Andra diam-diam peduli padanya. Alana bahkan sering memergoki Andra, yang tampak merasa bersalah jika ia tidak sengaja membentak, atau berteriak kepadanya. Alana juga tahu, kalau Andra itu sebenarnya sayang kepada Ayla. Hanya saja, sepertinya Andra terlalu gengsi untuk mengakuinya. Alana sering melihat Andra yang tersenyum saat diam-diam memperhatikan Ayla yang sedang bermain. Atau diam-diam mencuri pandang kepada sang adik yang luar biasa cerewet, dengan tatapan gemas. Alana tahu, semuanya. Namun, sekali lagi ia tidak mau gegabah. Ia yakin jika suatu hari nanti, Andra pasti akan berubah. Menerima dirinya, juga Ayla, sebagai keluarganya. Pukul 04.00, ia sudah terbangun untuk melaksanakan kewajiban. Sebagai manusia beragama dan sebagai seorang ibu rumah tangga yang akan mengurus segala keperluan keluarga, sejak dini hari. Niat awal, Alana ingin melihat putrinya yang meskipun usianya baru tiga tahun, tetapi bocah itu sudah berani tidur di kamar sendiri. Lagi pula, kamar Ayla terletak di sebelah kamar utama. Membuat Alana jadi tenang. Setelah membangunkan Ardhian suamianya, Alana memilih untuk segera beranjak menuju kamar putri kecilnya. Memutar kenop pintu secara perlahan. Alana sempat kaget, saat ia menemukan putri kecilnya, tengah dipeluk oleh sesosok bertubuh jangkung yang memenuhi tempat tidur Ayla. Mencoba tenang, Alana menyipitkan matanya, lalu mendesah lega kemudian. Andra? Batinnya. Air mata mendadak membasahi pipinya. Melihat Andra yang terlelap sembari memeluk adik kecilnya, membuat Alana terharu luar biasa. Apakah Andra sudah berubah, Tuhan? Ataukah ini hanya mimpinya semata? Sebuah tepukan di bahunya, kontan membuat Alana kaget. Untung saja, ia tidak berteriak. Ia menempelkan telunjuk di bibirnya. Meminta orang yang telah mengagetkan dirinya untuk diam. Sudah dapat ditebak, jika orang itu adalah Ardhian. Suaminya. Alana mengisyaratkan Ardhian untuk melihat ke arah tempat tidur Ayla, saat suaminya itu terlihat kebingungan. Ardhian melebarkan matanya, saat mendapati sang putra tengah tertidur memeluk adik kecilnya. Mendadak hatinya menghangat. Alana segera menarik suaminya keluar dari kamar Ayla, saat melihat pergerakan Andra. Mereka kembali masuk ke dalam kamar mereka. "Apa aku bilang, Mas. Andra hanya gengsi mengakuinya," ujar Alana pelan. Air matanya masih saja menetes perlahan. Ardhian menarik istrinya itu, ke dalam pelukan. Mengusap punggungnya dengan sayang. "Sejak kapan Andra mulai tidur dengan adiknya begitu?" tanya Ardhian, disertai tawa kecil. "Aku nggak tau, Mas," ujar Alana pelan. "Tapi aku yakin, ini bukan yang pertama." Diam-diam, Ardhian bersyukur. Tuhan telah mengabulkan do'a-do'anya. Harapan dan apa yang ia inginkan sejak lama. "Mas jadi nggak sabar buat liat perubahan Andra yang lebih besar." Alana mengangguk. Ia menatap wajah suaminya, "Aku juga." Tuhan ... permintaan mereka sangat sederhana, bukan? **** "Mamah ...." Andra menyuap sereal dari mangkuknya, sembari menggenggam sendok dengan kuat. Astaga ... mendengar suara sang adik saja, sudah membuat Andra tidak bisa menahan gemas. "Eh, anak Mama udah bangun." Alana segera bergerak menghampiri Ayla yang berjalan sempoyongan menahan kantuk. Omong-omong, bocah itu masih berada di atas tangga. "Pinternya anak mama, bangunnya nggak rewel." Alana menciumi pipi Ayla dengan gemas. Sementara bocah cilik itu, merebahkan kepalanya di bahu sang mama. "Pagi Papah! Pagi Tata!" ucapnya, dengan suara serak, khas bangun tidur. Andra diam, walaupun sebenarnya ia ingin membalas ucapan sang adik. "Pagi anak papa yang cantik." Ardhian segera meraih tubuh Ayla ke pangkuannya, sembari menciumi pipi tembam Ayla. Andra segera berdiri dari duduknya. Mengabaikan sereal yang hanya disuap beberapa kali. Ia tidak tahan dengan keimutan adik kecilnya itu. "Andra berangkat," ujarnya sebelum beranjak. "Andㅡ" "Tata, mamnya yum abis!" pekik Ayla. Padahal, Ardhian baru saja ingin memanggil putranya itu, tetapi Andra mengabaikannya. Ia berlalu pergi, hingga punggungnya menghilang di balik tembok. Ardhian mendesah kasar. Andra. Kenapa ia menjadi seperti itu? Apakah Ardhian salah saat mendidiknya? **** Awalnya, Andra menikmati satu persatu langkah kaki yang menyajikan irama khas ketukan satu dua. Namun, semuanya hanya semu, saat tiba-tiba ketenangan itu berubah dalam sekejap. Sebuah pukulan ia dapatkan tepat memukul ulu hatinya. Membuat Andra meringis kesakitan, sembari memegangi dadanya. "Mampus. Rasain, lu!" Loyd. Loyd Armano, lengkapnya. Cowok itu tersenyum licik, lalu pergi begitu saja. Sabar, Andra. Cuma setan kecil. Tenang, batin Andra menyemangati diri, agar jauh lebih sabar. Kalau saja ia tidak sedang menjaga nama baik ayahnya, sudah dipastikan jika Andra akan membalas perlakuan tadi dengan sesuatu yang jauh lebih menyakitkan lagi. Untungnya ia masih bisa menahannya dengan baik. Andra memutuskan untuk melanjutkan langkah. Tujuannya tentu saja adalah kelas. Ia ingin tenang sebentar saja, apa tidak boleh? Lagi-lagi, langkahnya tertahan. Kakinya dijegal dan hampir membuat Andra tersungkur. Untungnya ia bisa menjaga keseimbangan. Namun, sialnya yang ia dapatkan lagi-lagi adalah tumbukan yang tepat mengenai ulu hatinya. "LU GILA, YA?!" Andra sakit hati? Tentu saja! Ia tidak memiliki masalah apa pun dengan orang-orang gila ini, tetapi mereka tetap saja membuat masalah dengannya. Memancing emosi Andra yang sudah tertahan sejak lama keluar ke permukaan. Kali ini, Larry Grild namanya. Ck. Kenapa tidak grill saja? Bukankah lebih pantas untuk menjadi nama belakangnya? Larry si panggangan? Sungguh jenaka. Cowok urakan itu hanya tersenyum sinis, lalu beranjak dari tempatnya. Andra mengerang menahan kesal di hatinya. Sekali lagi, ia harus sabar. Ayolah, ini di sekolah. Ia jelas tidak mau membuat namanya dan nama ayahnya tercemar. Namun, sepertinya Andra salah. Ia tidak seharusnya diam akan perlakuan semena-mena yang didapatkan. Lihatlah apa yang ia terima sekarang. Sebuah pukulan lagi, tepat menghantam rahang kirinya. Andra meringis menahan sakit, saat sudut bibirnya robek dan mengeluarkan darah. "MAKSUD LU APA, SETAN?!" Ia berteriak tak terima dengan apa yang orang gila ini lakukan kepadanya. Terdengar tawa puas dari seseorang yang kini Andra cengkeram kerah seragamnya. "Santai bro, santai," ujarnya tenang, sembari melepaskan cengkeraman tangan Andra dari kerah seragamnya. Andra tidak mau menyerah begitu saja. Sebelum ia benar-benar melepaskan cengkeraman tangannya, tak lupa ia menerikkan kerah seragam orang tak waras di hadapannya ini, hingga membuatnya tercekik. Kenyataannya, Andra hanya sendiri. Sementara orang gila ini—Akmaleon Troshton—dikelilingi oleh dua cecunguk, di samping kanan dan kiri. Siap membela bosnya. Leon tertawa sinis. "Lumayan juga tenaga lo," ujarnya sok tenang. Sensasi tercekik masih begitu terasa di lehernya. Namun, ia tetap tenang. Andra tidak mau melayani kegilaan mereka. Niatnya, ia akan pergi dan tidak mau berurusan dengan tiga orang gila ini lagi, tetapi tampaknya, mereka memang benar-benar tidak waras. "Jangan cepet-cepet pergi, kenapa, sih? Kaya cewek aja, lo!" ujar Leon sembari menahan kerah seragam yang Andra kenakan. "Inget ya, Keandra Aldebaran. Hidup lu, nggak bakal tenang, mulai hari ini!" Kata-kata Leon yang penuh penekanan itu, hanya dianggap angin oleh Andra. Lagipula, buat apa takut kepada manusia tidak waras seperti itu? Buang-buang waktu. Cengkeraman tangan Leon, terlepas begitu saja saat Andra menyentaknya dengan keras. Membuat Leon semakin murka atas apa yang Andra lakukan. "LO GILA, HAH?!" pekiknya kencang. Koridor yang sepi, jelas menjadi tempat paling strategis untuk Leon dan kedua temannya. Mereka begitu pintar, bukan? Andra menatap Leon, dengan tatapan tajam. "Justru lo yang gila," ujarnya santai. Sebuah pukulan lagi-lagi Andra dapatkan dengan Leon yang menatapnya penuh amarah. "Lo inget, ya. Jangan berlagak sok berkuasa di sini!" ujar Leon penuh penekanan. "Lo cuma gembel yang nggak pantes ada di sini. Ngerti, lo?!" Gembel, ya? Andra tersenyum tenang, padahal tengah berusaha kuat untuk menahan rasa sakitnya. "Terus, lo ngapain buang-buang waktu buat ngurusin gembel kayak gue, hah?!" tanya Andra sarkas. Leon terdiam di tempatnya. Sementara Andra segera menjauhi tiga orang gila itu, sembari menyeka darah yang mulai mengering di sudut bibirnya. "Awas aja lo, Andra! Gue bakal bikin perhitungan buat lo!" teriak Leon yang masih terdengar oleh Andra. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD