Tuduhan tak Beralasan

1125 Words
Entah kebetulan macam apa yang membuat Andra harus berada di kelas yang sama dengan Leon dan kedua temannya. Pelajaran sudah di mulai sejak 45 menit yang lalu, tetapi Andra tidak melihat keberadaan tiga makhluk tak waras itu di tempatnya. Entahlah, setan-setan itu kabur ke mana, Andra tak mau ambil pusing. Lagipula, memangnya siapa mereka? Hanya sekumpulan manusia yang wataknya seperti setan. Tidak punya sisi manusia sedikit pun. Pukul 08.00 Guru biologi di depan sana, bu Kinara Mayastri, masih terus mengoceh menjelaskan ini dan itu. Oh iya. Perlu diketahui jika Andra, masih tergolong siswa baru di Lakeswara School ini. Ya, namanya terdengar familiar, bukan? Sekolah ini milik ayahnya. Hanya saja, Andra tidak mau berbangga diri dengan memamerkan siapa ia yang sebenarnya. Orang-orang hanya tahu Keandra Aldebaran. Tidak dengan nama besar ayahnya di belakang namanya. Andra cukup tahu diri. Semua harta dan kekuasaan itu milik ayahnya. Mungkin saja ia akan digadang-gadang menjadi penerus ayahnya, tetapi Andra malah berpikir lebih jauh. Bukankah ayahnya sekarang menikah lagi? Mungkin saja jika suatu hari nanti, ibu tirinya itu akan memberikan pewaris-pewaris lain untuk ayahnya. Astaga. Andra berpikir terlalu jauh, hingga tak sadar jika ada seorang guru yang Andra tahu adalah guru Bimbingan Konseling, masuk ke dalam kelasnya. Tampak berbincang serius dengan bu Kina, di depan sana. Setahu Andra, namanya bu Jihan Anastasya. Untuk urusan kenapa guru BK itu di sini, Andra tidak mau ambil pusing. "Keandra Aldebaran?" Andra tersentak. Apakah namanya baru saja disebut? Seisi kelas menatapnya. Seolah-olah ia adalah narapidanavyang akan dieksekusi mati sekarang juga. Tatapan mereka tajambdan terlihat aneh, penuh tanda tanya. "Keandra Aldebaran?!" Bu Jihan mengulangi panggilannya. Kali ini nada suaranya jauh dari kata santai. Andra menyakinkan diri bahwa semuanyabpasti akan baik-baik saja. "Ibu panggil saya?" tanya Andra. Mungkin, ini terdengar sebagai pertanyaan bodoh yang tak perlu ditanyakan. "Memangnya selain kamu, ada yang bernama Keandra Aldebaran, di sini?" Bu Jihan terkenal tegas dan ketus. Pelafalan kata-katanya memang selalu sarkas seperti itu. Beliau juga terkenal ceplas-ceplos dan berbicara sesuai apa yang ia ketahui. "Ikut saya ke ruangan, sekarang!" Andra meneguk salivanya. Dia salah apa, sehingga bu Jihan repot-repot datang ke kelas untuk menjemputnya menuju ruang BK yang terkenal menyeramkan itu? "Tapi saya salah apa ya, Bu?" tanya Andra. Ia jelas tidak mau membuat nama baik ayahnya tercoreng karena kelakuannya. Seumur-umur, baru kali ini sepertinya Andra dijemput ke ruangan terkutuk itu. Karena selama ini, ia terus menjadi anak baik. Tidak pernah membangkang dan melakukan sesuatu yang dampaknya akan sangat fatal bagi nama baik ayahnya. Katakan jika Andra terlalu munafik, tetapi bagaimana lagi jika ini adalah kenyataannya? "Saya tidak suka basa-basi, Keandra. Ikut saya ke ruangan, sekarang juga!" **** Awalnya, Andra masih tak mengerti mengapa ia sampai dipaksa ikut ke ruang BK. Namun, saat kakinya tepat melangkah ke dalam ruangan, ia mengerti maksud terselubung dari ini semua. Di depan sana, Leon dan kedua cecunguknya—Larry dan Loyd—tengah duduk dengan tampang yang sukses membuat Andra mengerenyitkan dahinya dalam-dalam. "Duduk, Keandra." Senyum sinis dari Leon ia dapatkan. Sejauh ini, Andra mulai mempelajari apa yang otak jahat Leon pikirkan. Pasti ada apa-apanya. Andra memilih duduk di sebuah kursi, berhadapan dengan bu Jihan yang melipat kedua tangan di atas meja. Jemarinya saling bertautan, meremas satu sama lain, sementara tatapan matanya begitu tajam menyorot ke arah Andra. "Kamu tau, apa kesalahan kamu, Keandra?" Kesalahan? Andra pikir yang seharusnya ditanyai seperti itu bukan dirinya. Harusnya di sini, ia yang mengadu bagaimana perlakuan Leon dan kedua temannya itu pagi tadi. "Saya enggak merasa berbuat masalah apa pun, Bu," jawab Andra jujur. Benar, kan? Ia tak berbuat kesalahan apa-apa hari ini. Bu Jihan tiba-tiba saja menggebrak meja. Membuat Andra tersentak karena kaget. "Saya tidak suka dengan murid yang tidak jujur seperti kamu!" ujarnya tegas, membuat Andra semakin mengrenyitkan dahinya. Ia kaget, tetapi sepertinya ia mulai paham sedikit demi sedikit. "Leon, jelaskan apa yang seharusnya kamu katakan." Andra melirik Leon yang berlagak seolah-olah terdzolimi. Dan ... hei! Dahi Andra kontan mengerenyit dalam, saat mendapati beberapa titik memar di wajah Leon juga kedua temannya. s**l! Batin Andra. Ia paham, ke mana arah otak kacang itu akan berjalan. "Dia." Telunjuk Leon menunjuk tepat ke arah Andra. Jelas, membuat Andra terdiam. Memikirkan kira-kira apa yang s****n itu akan lakukan kepadanya. "Pagi ini, dia menghajar saja dan kedua teman saya tanpa alasan yang jelas." Kedua mata Andra membola. Astaga, kebohongan macam apa yang dilakukan oleh b******n gila ini? "Benar, apa yang sudah kamu lakukan, Keandra?" Bu Jihan menatap Andra, seolah-olah ia akan menelan muridnya itu. "Bohong, Bu. Saya nggak pernah—" "Penjahat mana ada yang mau ngaku, Bu. Kalo semuanya ngaku, penjara penuh," koor Leon dengan senyum sinis. "Tapi Bu—" Bu Jihan berdiri setelah menggebrak meja sebelumnya. Menatap Andra dengan tatapan tajam. "Kemarikan ponsel kamu." Andra mengrenyitkan dahinya samar. Tak mengerti dengan apa yang Bu Jihan maksudkan. "Saya akan menghubungi orang tua kamu dan memberitahukan bagaimana perilaku anaknya di sekolah." Tidak! Jangan sampai ayahnya tahu, apa yang terjadi kepadanya hari ini. Bukannya Andra takut dirinya akan dimarahi atau dihukum. Ia malah takut hal lain terjadi. Bagaimanapun, sekolah ini milik ayahnya, bukan? Jadi, bukan suatu hal sulit atau tidak mungkin, jika posisi Bu Jihan terancam. Ya, benar. Andra yakin, ayahnya itu tidak akan mengambil keputusan tanpa sebab-sebab yang jelas. "Kenapa kamu diam? Cepat, kemarikan ponselmu!" Andra menghela napasnya pelan. Berusaha meredakan gejolak dalam dirinya. Ia takut akan merusak nama baik ayahnya. Bagaimanapun, yang orang lihat belum tentu seperti kenyataannya, bukan? Orang-orang bisa saja melihat dari sisi depan, tetapi tidak melihat bagian dalamnya. "Saya akan melakukan apa pun yang Ibu suruh," putus Andra pada akhirnya. "Tapi saya mohon, jangan beritahukan kepada orangtua saya." Bukan tanpa sebab Andra berkata demikian. Ia hanya takut. Takut ayahnya malu karena tingkahnya yang sama sekali tidak bisa melawan ini. Bu Jihan berdecak, tampak meremehkan. Lantas ia bangkit dari duduknya, menopang kedua tangan di atas meja dan meluruskan pandangannya kepada Andra. Menatap tajam pemuda itu dengan mata yang menyeramkan. "Jadi, kamu tidak mau jika orangtuamu tau?" Andra diam. Tiba-tiba saja, bu Jihan bertepuk tangan, lantas tertawa girang. Tidak! Tepatnya tertawa meremehkan. "Kamu malu, ya? Karena orangtua kamu yang hanya tukang kebun dan pembantu itu sampai tau, kelakuan anaknya di sekolah?" Kening Andra berkerut, kala mendengar penuturan bu Jihan. Tukang kebun dan pembantu? Batinnya penuh tanda tanya. "Kamu pasti malu, 'kan, jika identitas kamu sebagai anak dari tukang kebun dan pembantu itu, sampai terbongkar?" Di tempatnya, Leon tersenyum senang. "Wah! Ternyata, dia cuma orang miskin. Ck. Miskin aja belagu!" Andra diam saja. Tidak ingin melawan. Bukankah singa lebih besar kedudukannya daripada seekor anjing? ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD