Belaian Angin Surga

1048 Words
Awalnya ragu dan sedikit takut, tetapi kemudian Jatayu memberanikan diri untuk membalas pelukan Kinanti itu dengan sebelah tangan. Sebab, satu tangannya yang lain sedang memegang piring makannya. Posisinya yang sedang berjongkok, tidak memungkinkan bagi laki-laki itu untuk mengembalikan wadah makannya tersebut ke atas meja terlebih dahulu tanpa mengubah posisi tubuh. Jatayu menyadari betul, bergerak sedikit saja, akan mendatangkan risiko berakhirnya momen berharga yang sedang berlangsung tersebut. Karenanya, ia tetap memilih untuk diam di tempat dan tak bergerak barang sedikit pun. Jatayu memejamkan mata, menghirup dalam-dalam harumnya aroma shampo yang guar dari rambut Kinanti. Ia berharap, riuhnya suara ledakan bunga api yang terus berlangsung di dalam dadanya tak sampai terdengar oleh perempuan itu. Sebab, ia akan malu sekali, jika istri sementaranya tersebut sampai mengetahui, apa yang sesungguhnya sedang bergejolak di dalam ruang dadanya. “Bukan semata cita rasanya saja yang membuat masakan itu terasa enak untuk dinikmati, Kinan. Seperti apa pun cita rasanya, asal dinikmati dengan cinta dan rasa syukur, semuanya akan terasa lezat, Sayang,” kata Jatayu lirih, menyerupai bisikan, seraya dibelainya lembut kepala perempuan yang ada dalam dekapannya tersebut. Hening. Sebab, sejurus setelah mengatakannya, Jatayu terhenyak dan tertegun. Sama sekali tak dinyananya, bahwa dirinya akan membisikkan kata-kata seperti itu. ‘Ah, apa yang telah kulakukan?! keluhnya, dalam hati. ‘Apa nanti yang akan Kinan pikirkan? Jangan-jangan, nanti ia kira aku memanfaatkan situasi dan …’ Jatayu menelan ludah. Mendadak ia gelisah. Takut, kalau-kalau, Kinanti akan salah paham. Perlahan, ia menurunkan tangannya dari kepala perempuan itu. Ia sangat berharap, istrinya tersebut tak sampai berprasangka buruk padanya. Sementara itu, diam-diam, hal serupa juga terjadi pada diri Kinanti. Perempuan itu tertegun dan gelisah. Tubuhnya mengejang. Bukan saja karena tiba-tiba tersadar atas apa yang telah dilakukannya, namun juga karena apa yang baru saja ia dengar. ‘Apa yang telah kau lakukan, Kinan?!’ hardiknya, pada dirinya sendiri. ‘Memalukan! Kau itu perempuan! Bagaimana jika nanti Jatayu jadi berpikiran buruk tentangmu?!’ berondongnya. Di tengah kegaduhan yang terjadi di dalam ruang dadanya, tiba-tiba ia teringat akan kata-kata yang dibisikkan Jatayu. ‘Eh, tetapi … apa aku tadi tak salah dengar? Menikmati masakan dengan cinta? Apa maksudnya yang sebenarnya? Cinta? Cinta siapa? Apakah ia telah …?’ Refleks, Kinanti menggeleng lemah. Ia tak berani melanjutkan dugaannya. Segera ditepisnya jauh-jauh pikiran-pikiran yang berseliweran di dalam benaknya itu. Ia tak berani mengambil kesimpulan, sebab, tak ingin kecele lagi. Terlanjur percaya diri seperti tadi, tetapi ternyata, kenyataan yang ada tak sesuai dengan apa yang disangkanya. ‘Pastilah itu tadi ia ucapkan karena ingin menghiburku saja. Tidak ada tujuan atau maksud lain, selain agar hatiku tak menjadi malu atau sedih!’ tandasnya. Tanpa kesepakatan atau janjian terlebih dahulu, Jatayu dan Kinanti mengembus napas berat dalam waktu yanh bersamaan. Logika keduanya berkata, agar segera melepaskan pelukan itu, lalu mencari tempat persembunyian. Bisa ke kamar tidur, kamar mandi, dapur, atau ke mana saja, asalkan tak saling lihat. Akan tetapi … ada sesuatu yang menahan keduanya, sehingga tidak kunjung melakukannya. Sesuatu yang kuat dan berasal dari dalam dirinya sendiri, yaitu perasaan nyaman dan tenteram. Ketenteraman yang membuat kedua insan itu merasa tak ubahnya sedang berada di sebuah lembah teduh dengan pemandangan taman bunga dan belaian angin surga yang berembus sepoi-sepoi. Hingga kemudian … “Kinan, sepertinya aku terlambat kembali ke pabrik,” kata Jatayu tiba-tiba, berbisik. “Hmm … apa?” tukas Kinanti, seraya melepaskan tangannya dari leher Jatayu dengan serta-merta. Bersamaan, keduanya melihat ke arah jam dinding merah maroon yang tergantung di dekat jendela besar. Jarum pendeknya sedang berhenti di angka satu, sedangkan jarum panjangnya menempel di angka sebelas. Itu artinya, lima menit lagi, jam istirahat Jatayu akan berakhir. “Sisa lima menit lagi!” tukas Jatayu, spontan. Sekonyong-konyong, laki-laki itu berdiri.“Kinan, aku balik ke pabrik dulu, ya.” “Kamu akan terlambat sesampainya di sana, Jat,” sahut Kinanti lirih. “Maafkan aku, ya,” kata perempuan itu lagi, penuh penyesalan. “Maaf untuk apa?” sahut Jatayu. “Kamu tidak bersalah apa-apa, jadi tak perlu munta maaf!” “Tetapi, aku yang tadi membuatmu … membuatmu …” Hening. Kinanti kehilangan kata-kata. “Membuatku apa?” tanya Jatayu, sedikit usil. Kinanti tak menyahut. Serta-merta, wajahnya kembali merona karena teringat akan apa yang sudah dilakukannya tadi. Meskipun tiba-tiba memeluk Jatayu adalah tindakan refleks yang sama sekali tak direncanakannya, tetap saja perempuan itu merasa malu. Jatayu menatap gemas pada perempuan di hadapannya itu. “Sudah, aku harus kembali sekarang! Sampai di pabrik pasti akan sedikit terlambat. Tetapi, sedikit terlambat masih lebih baik, daripada terlambat banyak!” tukasnya dengan senyum lebar, berusaha untuk melucu. Setelahnya, laki-laki itu benar-benar berbalik badan dan menyambar helm yang diletakkannya di meja kecil dekat pintu ruang tengah. Kinanti tidak menyahut. Ia hanya melongo, menatap punggung laki-laki yang sesaat lalu telah membuatnya merasa begitu damai itu. “Eh … Jatayu ….” panggil Kinanti, sebelum laki-laki itu benar-benar melampaui pintu. “Ya?” sahut Jatayu, sembari kembali berbalik badan, menghadap padanya. “E … e … ha … hati-hati!” kata Kinanti, sedikit gugup. Jatayu tersenyum refleks, seraya mengangguk dan mengedipkan satu matanya. “Kau juga, ya. Hati-hati di rumah. Istirahatlah! Jangan terlalu lelah, agar tak jatuh sakit saat tiba saatnya bertemu dengan Mahesa, esok lusa!” Kinanti tak menyahut, Ia hanya menelan ludah. Entah mengapa, ia merasa tidak suka dengan kata-kata Jatayu yang terakhir itu. ‘Mahesa … Mahesa … ah, Mahesa lagi! Mengapa selalu Mahesa yang disebutnya?’ gerutu perempuan itu diam-diam. Tak seberapa lama kemudian, terdengar suara mesin motor Jatayu menyala dari arah halaman depan. Kinanti tak berusaha bangkit dari duduknya dan mengantar kepergian Jatayu seperti biasanya. Melainkan, ia tetap duduk terpaku di kursinya dan sibuk dengan pikiran dan dialog-dialog di dalam hatinya sendiri. “Kinan, aku berangkat. Assalamualaikum …” teriak Jatayu dari luar, di antara deru suara motornya. Setelah itu, suara mesin Yamaha Vixion tersebut beranjak menjauh dan terus menjauh, hingga kemudian terdengar sayup-sayup saja di kejauhan, sebelum akhirnya benar-benar lenyap dari pendengaran. Sepeninggal Jatayu, ruangan di dalam rumah kecil milik laki-laki muda itu menjadi sunyi. Hanya suara helaan napas berat yang terdengar, beberapa kali, di sela-sela bunyi detak jam dinding yang terdengar mendominasi. “Tuhan, apa sebenarnya yang telah terjadi padaku ini?” keluh Kinanti, lirih, setelah perempuan berkulit kuning langsat itu kelelahan dengan pergulatan yang terjadi di kancah batinnya sendiri. Sebutir air mata lolos dari cangkang matanya. Bergulir keluar, lalu jatuh, menelusuri pipinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD