Bukan Pernikahan Biasa

2233 Words
Cepat-cepat, Kinanti mematikan keran air dan menajamkan pendengaran, sebab telinganya mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Mimik wajah yang semula tampak tegang dan serius karena sedang fokus itu pun berangsur-angsur rileks kembali. Sebab, ia telah yakin, bahwa yang terdengar itu bukanlah suara motor orang lain. ‘Jatayu sudah kembali? Cepat sekali?’ batinnya, seraya menatap beberapa perkakas kotor yang masih tersisa di bak pencucian piring. ‘Ia yang terlalu cepat kembali, atau aku yang terlalu lamban, ya?’ lanjutnya, sembari mulai menghitung-hitung jarak antara rumah Jatayu dengan lokasi tempat yang dituju oleh suami sementaranya tersebut. Usai sarapan tadi, kira-kira satu jam yang lalu, Jatayu memang pamit mau ke pasar kembang, di kawasan Splendid, tak seberapa jauh dari balai kota Malang. Mau membeli bibit terung, untuk di tanam di pekarangan samping rumahnya. Jatayu memang unik. Meski ia adalah sarjana Teknik Mesin, sama seperti Mahesa, dan bekerja sebagai teknisi di sebuah pabrik tekstil yang lumayan besar, namun ia memiliki hobby yang sangat bertolak belakang dengan bidang kerja dan disiplin ilmu yang dikuasainya tersebut, yaitu berkebun. Di samping rumahnya, ia memiliki pekarangan yang cukup luas. Di situlah ia biasa menyalurkan hobby-nya. Tak hanya bunga-bunga cantik aneka warna yang menghuni pekarangan rumah Jatayu, tetapi juga beberapa jenis tanaman buah dan sayur. Pendek kata, tak ada tumbuhan yang tak berhasil hidup dan tumbuh, jika tangan lelaki muda itu yang menanam dan merawatnya. “Apa kamu mau ikut, Kinan?” tanya Jatayu, setelah meneguk air putih dari gelasnya hingga habis, usai menandaskan sepiring nasi goreng sosis yang dihidangkan Kinanti. “Kinanti menggeleng, sambil tangannya terus sibuk membereskan meja makan. “Barangkali saja, kamu ingin sekalian cuci mata. Di hari Minggu pagi seperti ini, di sana ramai sekali. Bukankah selama tinggal di sini, kamu belum pernah sekali pun pergi keluar untuk jalan-jalan?” Kinanti tersenyum geli, “Apa kamu lupa, Jat, bahwa aku ini orang Malang asli? Rumah orangtuaku bahkan tak sampai enam kilo meter dari sini, dan rumah Mahesa pun lebih dekat lagi.” “Ha ha ha ….” Spontan, Jatayu tergelak, menertawakan kekonyolannya sendiri. Hanya demi membujuk Kinanti agar mau ikut pergi keluar dengannya, ia sampai lupa, bahwa istri sementaranya tersebut bukannya baru tiga bulan tinggal di kota Malang. Ia memang memboyong Kinanti untuk tinggal di rumahnya, usai akad nikah, tetapi boyongan itu, bukanlah antar kota, apalagi antar pulau. Melainkan, hanya lintas kecamatan saja. Kinanti dan Jatayu sebenarnya bukanlah dua orang asing, meskipun Jatayu adalah laki-laki yang sengaja dipilih oleh Mahesa—mantan suami Kinanti—untuk menjadi muhalil bagi perempuan itu. Ya, pernikahan mereka memang tidaklah sama dengan pernikahan sepasang sejoli pada umumnya. Sebab, pernikahan yang berlangsung hampir tiga bulan lalu tersebut adalah pernikahan sela, yaitu pernikahan yang sengaja dilakukan demi terpenuhi syariatnya, bagi pasangan suami istri cerai talaq tiga untuk rujuk kembali. “Kamu ingat, Jat, saat masih kuliah dulu, bahkan kita bertiga pernah melewatkan Minggu pagi bersama di kawasan Simpang Balapan, tak seberapa jauh dari pasar kembang Splendid itu, kan?” “Iya.” Jatayu mengangguk, di antara sisa-sisa gelaknya. “Lalu kamu keseleg es cincau, saat melihat aku dan Mahesa …” Jatayu tak lagi perhatian pada kata-kata Kinanti yang tidak tuntas tersebut. Ia juga tak melihat, bias rona merah yang bersemburat di wajah perempuan itu. Sebab, sebuah layar tak kasatmata sudah langsung tergelar di hadapannya dan menayangkan kembali, suasana Minggu pagi yang dimaksud oleh Kinanti. Setelah lelah joging mengitari carfreeday area di kawasan Simpang Balapan, Jatayu, Kinanti, dan Mahesa duduk lesehan, mengelilingi sebuah meja pada salah satu kedai dadakan yang digelar di trotoar dengan napas yang masih tersengal. Wajah ketiganya mengkilat, tertempa sinar matahari pagi, sebab keringat yang belum sepenuhnya kering. “Pak, es cincau tiga,” pinta Kinanti pada pemilik kedai yang langsung disambut dengan anggukan dan senyum ramah oleh laki-laki berpeci itu. “Kalian mau langsung makan juga?” Ia beralih pada Jatayu dan Mahesa. “Iya, dong!” tukas Mahesa, bersemangat. “Dan untukku gratis, lho, ya!” celetuk Jatayu, mengingatkan. “Tidak lupa, kan, dengan kesepakatan kita?” Pandangannya tertuju pada Mahesa, yang duduk tepat di hadapannya. “Ah, kamu ini, ingat mulu sama yang gratis-gratis!” “Iya, dong. Kesepakatan tetaplah kesepakatan!” “Kesepakatan? Kesepakatan apa, sih?” sergah Kinanti, menyela. “Ada, deh …!” tukas Jatayu, berteka-teki. “Kasih tahu, dong!” “Ini es-nya, Mbak, Mas.” Laki-laki pemilik kedai, tiba-tiba sudah berjongkok di dekat meja mereka dengan nampan di tangan, membuat obrolan tiga remaja yang masih duduk di bangku kuliah, semester empat itu terjeda. Cekatan, tangan kurusnya menurunkan satu demi satu gelas berisi es cincau dan meletakkannya di hadapan mereka masing-masing. “Terima kasih,” kata Jatayu, dengan wajah semringah. “Ayo, bilang, kesepakatan apa?” lanjut Kinanti, sepeninggal laki-laki paruh baya berpeci itu dari meja mereka. Jatayu menatap gadis keras hati itu dengan senyum penuh arti. Sementara Mahesa, kekasihnya, memilih untuk membuang muka, pura-pura tidak mendengar. “Tanya aja, tuh, sama pacarmu!” timpal Jatayu, seraya menunjuk Mahesa dengan gerakan kepala. Tangannya segera mengangkat gelas, setelah cukup mengaduk-aduknya. Mengikuti saran Jatayu, Kinanti beralih pada pemuda berkulit putih di sebelahnya. Ia menatapnya lama dengan sorot mata penuh ancaman. Menyadari bahaya yang sedang mengintainya, Mahesa merasa harus segera bertindak. “Bukan apa-apa, Sayang,” tukas pemuda berhidung mancung dan beralis tebal itu, mesra, sembari mendaratkan sebuah kecupan di pipi gadis yang baru seminggu menjadi kekasihnya tersebut. “Uhuk … uhuk ….” Jatayu tersedak es cincau yang sedang diminumnya hingga terbatuk. Kontan, Kinanti dan Mahesa yang duduk di hadapannya beralih melihat kepadanya. “Kenapa, Jat?” tanya Mahesa dan Kinanti, berbarengan. Keduanya turut tegang, sebab melihat wajah Jatayu yang berubah merah. “Ah, kalian ini, sungguh terlalu! Yang begitu-begitu, jangan di pamerin di depan orang lain, napa?” protes Jatayu dengan wajah bersungut-sungut setelah batuknya mereda. “Ish … tidak boleh protes!” tukas Mahesa, seraya mengibaskan tangan. “Mangkanya, buruan sana, cari pacar juga!” “Dasar, k*****t!” sembur Jatayu, karena dongkol. Setelahnya, pemuda itu lebih banyak diam, menjadi pendengar sekaligus penonton. Obrolan didominasi oleh Mahesa dan Kinanti yang sedang kasmaran-kasmarannya. “Jat, kamu kenapa?” Jatayu tersentak, sebuah tepukan mendarat di pundaknya. Layar tak kasatmata yang menayangkan ulang slide masa lalu itu pun hilang dari pandangan, berganti dengan sosok Kinanti yang sudah berdiri di samping meja makan. “I—iya, Kinan, a—ada apa?” tanyanya, gugup. “Kamu itu yang ada apa, Jat? Tiba-tiba saja melamun, lalu mendadak terlihat sedih.” “Aku … sedih?” Laki-laki itu menggumam, kemudian diam tercenung. Ia percaya, jika Kinanti mengatakan bahwa wajahnya tampak sedih. Sebab, memang demikianlah yang selalu dirasakannya, setiap kali mengingat beberapa hal yang sudah terlanjur berlalu di belakang. “Memangnya, memikirkan apa, Jat?” “Ah, tidak … bukan apa-apa!” tepis Jatayu, sembari menggeleng tegas. “Jadi, beneran tak mau ikut, nih? Nanti kita mampir ke carfreeday area dan jajan di sana,” bujuk laki-laki itu, sekali lagi. Kinanti tampak berpikir. Sebenarnya, ia rindu juga dengan suasana di luar sana. Apalagi Jatayu bilang, akan mengajaknya untuk mampir ke area carfreeday di Simpang Balapan. Langsung terbayang di dalam benaknya, segarnya es cincau, sedapnya Siomay Bandung, atau gurihnya bakso bakar. Tanpa sadar, Kinanti menelan ludahnya sendiri. “Bagaimana, ikut?” Untuk sesaat, keduanya bertautan pandang. Lalu, Kinanti tersenyum lebar, “Enggak, deh!” tukasnya, disertai gelengan kepala. Sebab kemudian, perempuan yang terbiasa disiplin dengan tanggung jawabnya itu teringat pada piring-piring kotor dan perkakas dapur yang menggunung di dalam bak cuci piring. Usai memasak pagi tadi, ia belum sempat mencucinya. Sebab, tiba-tiba kepalanya terasa pusing dan berputar. Karenanya, ia putuskan untuk beristirahat dulu, sebelum tiba waktunya sarapan pagi. “Ya. Ok, deh. Aku berangkat sendiri!” tukas Jatayu, sambil pura-pura cemberut, membuat Kinanti diam-diam menahan tawa. Niatan untuk membeli bibit terung, sebenarnya tercetus spontan saja, kemarin petang, saat mereka berdua sedang berada di meja makan. Kinanti menghidangkan tempe dan ikan mujahir goreng, plus sambal terung, serta lalapan daun kemangi ditambah mentimun untuk menu makan malam. Baik Kinanti maupun Jatayu, sangat lahap menyantap menu makanan itu. Sampai-sampai, semua makanan yang terhidang di meja maka ludes, tandas, tanpa sisa. “Astaga … malam ini, kita makan banyak sekali!” celetuk Kinanti, di sela-sela keasyikannya memisahkan daging ikan dari durinya. Refleks, Jatayu melihat ke arah wadah-wadah yang telah kosong di atas meja. Sejurus kemudian, ia tersenyum, seraya beralih melihat ke piring Kinanti. “Iya juga, ya. Baru malam ini, aku melihatmu makan banyak. Biasanya tak lebih dari secentong nasi.” “Beginilah jadinya, jika ada sambal terung, Jat!” “Ooo … karena sambal terung?” “Kinanti tersenyum lebar, seraya mengangkat kedua alisnya, “Ya, begitu, deh, jadi lupa diet!” tukasnya di antara suara desis yang keluar dari mulutnya, karena kepedasan. T awa keduanya berderai, menghangatkan suasana ruang tengah rumah Jatayu, di mana meja makan itu berada. Selama hampir tiga bulan tinggal di rumah sederhana namun asri tersebut, dan selalu memasak sendiri, Kinanti memang baru sekali itu saja menghidangkan sambal terung. Idenya pun muncul secara mendadak. Sebab, siang harinya, tak seberapa lama setelah Jatayu kembali ke pabrik, Bu Endah—tetangga depan rumah—datang untuk mengantarkan beberapa buah terung dan seikat kacang panjang, hasil dari panenan yang dibawanya dari kampung. “Kalau begitu, besok aku akan ke pasar kembang.” “Ngapain?” tanya Kinanti, yang masih terus mengunyah dan memilah-milah daging ikan dari durinya. “Membeli bibit terung.” “Hmm …?” Pandangan Kinanti beralih pada Jatayu. “Mau kutanam di sebelah. Biar nanti, kalau sudah berbuah lebat, kita bisa menyantap sambal terung setiap hari,” tukas laki-laki itu, menjawab tatapan penuh tanya di mata istri sementaranya. “Ha ha ha ….” Tawa Kinanti kembali berderai, “Kelamaan itu, Jat! Bisa-bisa, saat terung-terung telah berbuah lebat, aku sudah tidak tinggal di si …” Mendadak senyap. Kata-kata Kinanti tak berlanjut. Tak hanya binar yang terpancar dari bola mata perempuan itu saja yang sekonyong-konyong meredup. Tetapi, juga binar di mata Jatayu. Ekspresi keduanya berubah seratus delapan puluh derajat dalam waktu yang bersamaan, tanpa bersepakat atau dikomando terlebih dahulu. Setelah keduanya terpaku dalam pertautan pandang yang berlangsung untuk beberapa saat lamanya, baik Kinanti maupun Jatayu, menundukkan pandangan, kembali menekuri makanan di dalam piring masing-masing. Sedetik, dua detik, berdetik-detik berlalu dalam bisu. Hanya embusan napas berat keduanya yang terdengar, silih berganti. “Kenapa, Kinan?” tanya Jatayu tiba-tiba, memecahkan hening. “Hmm …?” guman Kinanti, seraya kembali melihat kepada laki-laki di hadapannya. “Kamu tampak tak senang, sebentar lagi meninggalkan rumah ini?” Kinanti tak menyahut. Ia kembali menunduk, menatap sisa sambal terung dan ikan goreng yang tinggal seperempat bagian di piringnya. Mendadak, hasratnya untuk menghabiskan makanan itu menguap seketika. Sebab, tiba-tiba perutnya sudah terasa penuh sesak dan tak ada tempat lagi untuk makanan, barang sesuap pun. Bertolak belakang dengan Kinanti yang tak mampu menutupi perasaan, Jayatu jauh lebih bisa menyembunyikan apa yang sebenarnya berkecamuk di dalam dadanya. Setelah berhasil menguasai diri kembali, laki-laki itu tetap meneruskan makannya. Sembari terus memasukkan makanan ke mulut dan mengunyah, pandangannya beberapa kali singgah ke wajah Kinanti. “Bukankah seharusnya kamu senang, Kinan? Sebentar lagi akan kembali ke rumah Mahesa yang jauh lebih bagus dan lebih besar dari gubugku ini. Berkumpul lagi dengannya, seperti semula, setelah pernikahan ulang kalian diselenggarakan.” Alih-alih menjawab atau menyahut, Kinanti kian rapat mengatupkan bibirnya. Sesekali saja perempuan itu mendengkus dengan sangat halus, sehingga tak terdengar oleh Jatayu yang masih sibuk dengan makanannya. Hanya di dalam hatinya saja, Kinanti sibuk berkata-kata. Bahwa kemewahan atau limpahan materi tidak ada artinya dibandingkan dengan rasa damai dan tenteram yang kini ia rasakan. “Bukankah tak ada kebahagiaan yang melebihi kebersamaan dengan orang yang kita cintai?” Jatayu kembali bertanya, kali ini tak ubahnya gumaman yang ditujukannya pada dirinya sendiri. Kinanti melengos, pura-pura menatap ke arah jam dinding. Kalau saja tak ingat malu, ingin rasanya ia membantah kata-kata Jatayu itu dan menumpahkan semua yang sedari tadi berkecamuk di dalam hatinya. Karena tak tahan lagi dengan situasi yang membuatnya tak nyaman, Kinanti bangkit dari duduk dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangannya yang belepotan oleh sambal. “Kok, sudah mencuci tangan, Kinan?” Jatayu menatap piring di seberangnya yang ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. “Makanannya tak kamu habiskan dulu? Tanggung itu, tinggal sedikit lagi!” tukasnya, seraya beralih menatap Kinanti yang sedang berdiri memunggunginya. “Enggak, deh, Jat. Aku sudah merasa kenyang.” Jatayu tak menimpali. Ia hanya berusaha mundur ke belakang, mengoreksi ulang perkataan maupun pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya. Lalu meraba-raba, kata-kata atau pertanyaannya yang mana, kira-kira, yang telah merusak mood perempuan yang tak lama lagi harus dilepaskannya tersebut. Setelah selesai mencuci tangan dan mengeringkannya dengan handuk kecil yang tergantung di sebelah wastafel, Kinanti kembali ke meja makan. Dilihatnya Jatayu juga telah menyelesaikan makan malamnya. Tak ada sebutir nasi pun yang tersisa di piring laki-laki itu. Tok … tok …tok …. Kinanti tersentak. Suara ketukan pada pintu belakang, tak jauh dari tempatnya berdiri, membuat lamunan singkatnya buyar. Hilang dengan serta-merta, pemandangan di meja makan yang berlangsung kemarin petang itu dari pandangannya. Berganti dengan dinding berlapis keramik warna hijau muda dan keran yang mengucurkan air. “Kinan … Kinan ….” Refleks, Kinanti menoleh ke arah pintu. “Jatayu, kaukah itu?” tanyanya pada seseorang di luar sana yang baru saja mengetuk dan memanggil-manggil namanya. “Ya, Kinan. Ini aku. Tolong buka pintu.” Tanpa bertanya lagi, perempuan itu segera mematikan kembali keran air dan beranjak menuju ke arah sumber suara. dengan tangan yang masih belepotan oleh busa sabun pencuci piring.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD