Daun pintu terkuak. Di depan pintu, Jatayu berdiri sembari mengatupkan kedua telapak tangan di depan dadanya dan meringis, “He … he … he … maaf, Kinan.” Ekspresi wajahnya tampak polos dan jenaka, tak ubahnya mimik wajah seorang bocah kecil yang sedang memohon, setelah melakukan sebuah kesalahan.
“Kenapa harus meminta maaf?” tanya Kinanti, sedikit heran. Sebab ia merasa, laki-laki di hadapannya itu tak sedikit pun melakukan kesalahan, sehingga harus meminta maaf, terlebih kepada dirinya.
“Sebab, aku telah lupa membawa kunci cadangan pintu depan. Sehingga harus menggedor-gedor pintu belakang dan membuat pekerjaanmu terganggu,” jawab laki-laki itu, seraya melihat ke arah tangan Kinanti yang belepotan sabun.
“Ooo ….” Bibir Kinanti membentuk huruf O dengan kepala sedikit menggut-manggut. Perempuan itu kemudian membuka daun pintu lebih lebar, “Itu tidak menjadi masalah, sebenarnya, Jat. Ini rumahmu sendiri, kan?”
“Memang!” Jatayu mengangguk, “Tetapi, untuk sementara … ini rumah kita!” tandasnya, memberi penekanan pada kata ‘kita’, membuat mimik wajah Kinanti sekonyong-konyong berubah.
“Jatayu …” gumam perempuan itu, spontan, sebab hatinya tersentuh. Namun, Jatayu tak mendengarnya. Karena, laki-laki itu telah melangkah masuk dan berjalan menuju ke sudut ruang dapur di mana lemari perkakasnya berada. Kinanti bersyukur untuk itu. Dengan demikian, laki-laki yang tengah ia tatap punggungnya tersebut tak sampai melihat matanya yang berkaca-kaca.
“Huufth …!” Kinanti menghela napas dengan kasar, sejurus kemudian, setelah ia berhasil menguasai perasaannya kembali. Terlihat jelas kejengkelan pada mimik wajahnya. Ya, perempuan itu memang tengah kesal yang amat sangat. Tetapi bukan pada Jatayu atau kepada orang lain, melainkan pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak kesal, belakangan, ia dibuat pusing karena tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Ia kerap kebingungan, karena akal dan hatinya sudah sering tak seiring-sejalan lagi. Tak hanya sekali-dua, hatinya merasakan sesuatu bahkan menginginkan sesuatu yang sama sekali tak dikehendaki dan ditentang oleh logikanya.
Setelah berhasil menemukan apa yang dicarinya, yaitu sebuah sekop mini dan ember kecil, Jatayu segera berbalik badan untuk segera kembali ke pekarangan samping dan menanam bibit terung yang berhasil didapatkannya dari salah satu toko pertanian di pasar kembang. Namun, laki-laki tinggi atletis itu urung melangkah, sebab pandangannya langsung bersirobok dengan sosok Kinanti yang masih berdiri mematung di tempatnya semula dengan wajah yang keruh.
“Kinan, ada apa?” tanya Jatayu, seraya menatap lekat wajah istrinya.
“Enggak. Gak ada apa-apa!” Kinanti menggeleng tegas. Setelah itu, ia kembali ke tempat cucian piring dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat terjeda.
Jatayu mengerutkan kening. Ia tak langsung percaya begitu saja. Setelah sejenak berpikir, ia melangkah mendekati istrinya tersebut. Tak sampai setengah meter jarak mereka berdua, bahkan lengan keduanya nyaris bersentuhan.
“Dari tadi belum selesai, Kinan? Banyak banget yang harus dicuci, ya? Apa kamu lelah? Jika lelah, berhenti dan beristirahatlah! Tak usah terlalu memaksakan diri untuk segera menyelesaikan semuanya. Toh, masih ada nanti dan besok!”
“Iya, belum selesai, Jat. Sebenarnya tak terlalu banyak. Hanya saja, setelah kamu berangkat tadi, aku tak langsung mengerjakannya. Sebab ada panggilan masuk ke handphone-ku.”
“Siapa yang menelpon?” tanya Jatayu, spontan. Jatayu tak bermaksud menyelidiki, ia hanya ingin memastikan, bahwa perempuan yang sekarang tinggal dengannya dan menjadi tanggung jawabnya tersebut baik-baik saja dan tak ada hal buruk yang mengganggu pikirannya.
“Hanya Ibuku dan …”
“Dan siapa?” sergah Jatayu, cemas.
“Mahesa.” Lirih suara Kinanti, tak bersemangat.
“Ooo …,” sahut Jatayu, bernada lega, “ya sudah kalau yang menelpon mereka, setidaknya bukan orang yang membuatmu merasa terganggu dan tak nyaman.”
“Tapi, aku tak mengangkat panggilan dari Mahesa!”
“Hah? Tak mengangkatnya?” gumam Jatayu, seraya menoleh dan menatap tak percaya pada perempuan yang yang sedang berdiri di sampingnya itu. Lalu, dahinya mengernyit, “Kenapa, Kinan? Apa kalian sedang ribut atau memperdebatkan sesuatu lagi?”
Kinanti menggeleng, “Tidak!”
“Lalu, mengapa kamu tak menerima telpon darinya?” kejar Jatayu, penuh keheranan.
Kinanti menggeleng lemah, sementara tangannya terus dengan kesibukannya. Menyadari, bahwa perempuan itu tampak tak ingin membahasnya, Jatayu memutuskan untuk berhenti bertanya.
“Ok, lah, kalau begitu, Kinan. Apa pun permasalahan yang terjadi di antara kalian berdua, semoga segera teratasi dengan baik dan tak berkepanjangan. Aku kembali ke pekarangan, ya. Sudah kudapatkan bibit terungnya.”
Tanpa menunggu persetujuan Kinanti, Jatayu yang tampak santai dengan kaos oblong hijau army dan celana pendek selutut warna hitam itu segera melangkah keluar dengan membawa kedua alat berkebunnya. Sementara Kinanti, hanya melirik kepergiannya dengan perasaan yang bercampur aduk. Setelah kembali sendirian, ia menghela napas berat.
****
Matahari sudah sepenggalah, saat Kinanti selesai dengan pekerjaannya dan berdiri di ambang pintu belakang. Pandangannya tertuju ke salah satu sudut pekarangan samping, di mana Jatayu sedang berjongkok memunggunginya.
“Belum selesai, Jat?” tanya Kinanti, setengah berteriak.
Serta-merta, Jatayu menoleh ke arahnya dan tersenyum lebar, “Belum.” Laki-laki itu menggeleng. “Tapi, bibit terungnya sudah kutanam semua, tuh … di sebelah sana!” tukasnya, seraya menunjuk ke sebuah arah. Kinanti mengikuti arah yang ditunjuk laki-laki itu. Pandangannya langsung tertuju pada gundukan kecil-kecil yang berderet di bawah jendela. Karena penasaran, Kinanti melangkah keluar, mendekati gundukan-gundukan tersebut.
“Gundukan-gundukan ini?” tanya Kinanti, seraya berjongkok, mengamati salah satu gundukan tanah yang masih basah di hadapannya.
“Iya!” jawab Jatayu, yang sudah turut berjongkok di sebelahnya.
“Mana? Gak ada pohonnya!”
“Ha … ha … ha ….” Tawa Jatayu langsung pecah berderai-derai. Kinanti menoleh padanya dengan sorot mata keheranan.
“Apanya yang lucu?”
“Kamu itu yang lucu!” tukas Jatayu, seraya menjentik hidung Kinanti dengan jarinya yang belepotan tanah. “Mana ada, biji baru dipendam langsung tumbuh pohonnya?”
“Woi … enak aja, ngusapin jari kotor ke muka orang!” protes Kinanti seraya mengusap hidungnya dengan telapak tangan.
“Ha … ha … ha ….” Tawa Jatayu kian lebar.
“Segitunya ketawa, kayak lihat badut aja!”
“Ini, sih, lebih lucu dari badut!” tukas Jatayu sambil meremas-remas sebongkah tanah lembab, lalu mengusapkannya ke pipi istri sementaranya itu.
“Walah … asem!” umpat Kinanti, seraya membalas. Diambilnya segenggam tanah yang masih basah dan langsung ditempelkan ke dahi Jatayu.
“Huah … nantang, nih!” celetuk laki-laki itu, girang. Serta merta, diabilnya lagi sedikit tanah dan dibalasnya perbuatan perempuan di sampingnya tersebut. Meski wajah mereka menjadi cemong-cemong dan kotor oleh tanah basah, namun keduanya tertawa lepas, tanpa beban.
Baru saja Kinanti hendak membalas lagi, suara klakson mobil tiba-tiba terdengar dari arah jalan. Serentak, keduanya menoleh. Melihat mobil yang baru saja datang dan berhenti di depan rumah itu, tawa keduanya berhenti dengan serta-merta. Kompak, tanpa dikomando, dua sejoli itu menghela napas berat.
“Mau apa ia datang kemari?” gerutu Kinanti, lirih.
Refleks, Jatayu menoleh dan menggigit bibir. Keningnya mengernyit, membuat kulit dahinya membentuk garis-garis lipatan.
‘Ada apa dengan mereka berdua?’ batin laki-laki itu, yang langsung teringat pada kata-kata Kinanti di dapur tadi, tentang keenganannya menjawab telpon dari seseorang yang ada di dalam mobil itu.
“Waduh … waduh … yang sedang asyik ber-weekend!” kata seorang laki-laki tampan yang baru keluar dari mobil hitamnya.
“Hai … Sa, kok, gak bilang-bilang kalau mau datang?” tanya Jatayu, seraya bangkit berdiri, setelah sebelumnya melirik ekspresi wajah Kinanti yang tampak ogah-ogahan.
“Aku sudah berusaha menelpon Kinanti tadi, tapi tak diangkat-angkat!” tukas laki-laki dengan balutan polo shirt biru navy dan celana jeans bootcut dengan warna senada itu.
“Ooo …” sahut Jatayu, seraya menoleh kepada Kinanti.
“Ayo masuklah ke dalam rumah, Hesa!” Jatayu mempersilakan sahabatnya dengan isyarat gerakan kepalanya. “Aku membersihkan diriku dulu, ya,” imbuhnya seraya menuding wajahnya sendiri dan menunjukkan tangannya yang belepotan lumpur.
“Ok!” Laki-laki bernama Mahesa Lintang Kelana itu mengangguk, seraya melayangkan pandangannya pada Kinanti.
Gegas, Jatayu berbalik badan dan melangkah menuju pintu belakang. Diam-diam, laki-laki berambut sebahu itu menghela napas berat. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi tak enak.
****
Dengan langkah yang setengah diseret, Kinanti melangkah keluar dari dapur. Di tangannya, ada sebuah nampan dengan dua cangkir bermotif bunga axio yang masih mengepulkan uap tipis. Aroma harumnya kopi Dampit guar, menggugah selera. Kalau saja suasana hatinya sedang enak, ingin rasanya Kinanti menyeduh satu cangkir lagi, untuk dirinya sendiri. Seperti yang sering dilakukannya bersama Jatayu, sepulangnya laki-laki itu dari pabrik, tempatnya bekerja. Sayangnya, suasana hatinya sedang tidak enak siang ini.
Sesampainya di ruang tengah, Kinanti bisa mendengar suara tawa Jatayu dan Mahesa yang berderai lepas. Terbersit rasa penasaran di hati perempuan itu, perihal apa sebenarnya yang tengah mereka bicarakan, sehingga tertawa-tawa dengan sedemikian serunya. Untuk itu, Kinanti menghentikan langkahnya, kurang lebih dua meter sebelum ambang pintu penghubung antara ruang tamu dengan ruang tengah.
Ia menajamkan pendengaran, untuk menguping. Namun, tak ada hal penting yang bisa didengarnya, kecuali obrolan-obrolan ngalor ngidul seputar mesin dan pekerjaan. Karenanya, kemudian Kinanti memutuskan untuk keluar saja dari tempatnya mencuri dengar.
“Lama sekali kamu menyeduhkan kopi untuk kami, Sayang,” celetuk Mahesa dengan mata berbinar dan senyum lebar. Tampak jelas sekali, kerinduan terpancar dari mata dan wajahnya. Kinanti tak menyahut. Ekspresi wajahnya tetap datar, seolah ia tak mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh laki-laki itu. Sementara Jatayu, melengos halus, melihat ke arah lain.
“Aku tadi menelponmu, kenapa kamu tak mengangkatnya, Kinan?” tanya Mahesa, setelah perempuan yang masih sangat dicintainya itu selesai meletakkan secangkir kopi di hadapannya dan secangkir satunya di hadapan Jatayu yang duduk di seberangnya.
Alih-alih menjawab, Kinanti tampak acuh tak acuh, seraya mengambil duduk di dekat pintu, sambil mendekap nampan di dadanya. Pandangannya menerawang jauh.
“Kinan?” panggil Mahesa, membuat perempuan itu terhenyak, sadar dari lamunannya.
“Hmm? A—apa?” tanyanya, gugup.
“Kenapa kamu tak mengangkat telponku?” Mahesa mengulangi.
“Te—telepon?” tanya Kinanti, linglung. “Ooo … e … a—aku belum memeriksa handphone-ku,” jawab perempuan itu, sekenanya, sembari melihat ke arah Mahesa dan Jatayu secara bergantian.
“Kamu kenapa, Kinan?” Mahesa bertanya, keheranan. Dalam pandangannya, mantan istri yang hendak dirujukinya setelah Jatayu menceraikannya tak lama lagi itu terlihat aneh dan tidak seperti biasanya. Sebab, yang ia tahu, Kinanti adalah seorang perempuan cerdas yang enerjik. Selalu menyenangkan untuk diajak bicara dan tak pernah sekali pun terlihat lemot, apalagi linglung. Sangat bertolak belakang dengan Kinanti yang tengah dijumpainya kali ini.
“A—aku?” tanya Kinanti, sekali lagi.
“Iya, kamu kenapa?” tanya Mahesa, mulai khawatir.
“E … e … ti … tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya … hanya merasa lelah saja.”
“Apa kamu menyuruhnya bekerja yang berat-berat, Jat?” Pandangan Mahesa beralih kepada Jatayu yang duduk di seberangnya.
“Enggak!” tukas laki-laki itu cepat dan tegas.
“Lalu, kenapa istriku terlihat kepayahan seperti itu?”
Jatayu melihat ke arah Kinanti, tepat pada saat perempuan itu juga tengah melihat kepadanya dengan sorot mata sungkan. Kinanti benar-benar merasa tak enak pada suami muhalilnya itu. Tersebab dirinya, ia jadi mendapat teguran dari Mahesa. Pandangan keduanya saling bertautan. Sesaat, Jatayu sedikit bingung, tak tahu harus bagaimana. Namun, karena dilihatnya Kinanti benar-benar tampak tertekan, maka ia berinisiatif untuk mengambil alih perhatian Mahesa.
“Yang sebenarnya …”
“Aku jenuh, kalau hanya diam saja tanpa kegiatan!” potong Kinanti, sebelum Jatayu menyelesaikan kata-katanya. “Jadi, aku kerjakan saja, apa yang bisa kukerjakan!” lanjutnya.
“Kamu, kan, bisa pergi jalan-jalan kalau memang lagi jenuh, Sayang! Cuci mata, menyenangkan hati.”
“Sedang tidak ingin keluar!” jawab Kinanti sekenanya. “Sebenarnya, Jatayu sudah melarang-larang, tapi aku tak mau dengar. Kupikir, toh ia cuma bisa melarang, tapi tak turut merasakan kejenuhanku!” tukasnya, menambahkan. Ia benar-benar tak ingin Jatayu terlihat salah di mata Mahesa.
“Tetapi, lihatlah, Kinan! Kamu jadi terlihat kelelahan seperti itu!”
“I—iya! Aku memang kelelahan!” Kinanti menganguk-angguk. “Jadi, bawaannya pingin berdiam diri saja, atau rebahan.”
“Ya sudah, kamu istirahatlah sana! Agar beberapa hari lagi, saat kujemput, kondisimu sudah jauh lebih segar!”
“Apa?” Kinanti terperanjat. “A—apa ma—maksudmu, Hesa?”
Mahesa tersenyum lebar, sebelum kemudian kembali berbicara, “Tadi aku sudah bilang pada Jatayu, lusa, aku yang akan menjemputmu.”
“Lusa kapan?” Kinanti terlihat panik.
“Ya, lusa, setelah tiba batas perjanjian kita bertiga. Apa kamu lupa?”
Hening. Kinanti menggigit bibir. Pandangannya jatuh ke atas meja kaca di depannya. Tiba-tiba saja, perasaannya menjadi sangat kacau.
“Maksud kedatanganku ke sini tadi, pertama, memang ingin menjengukmu, Kinan. Rindu sekali rasanya. Aku tak sabar jika harus menunggu sampai masa perjanjian kita bertiga berakhir, meskipun hanya kurang beberapa hari lagi. Lalu yang kedua, ingin menyampaikan rencanaku”
“Rencana apa? tanya Kinanti dan Jatayu, bersamaan.”
“Wah, kalian ini, jadi kompak sekarang!” tukas Mahesa, bernada kelakar.
“Rencana apa, Hesa?” desak Kinanti, tak menggubris kelakar yang dilontarkan oleh mantan suaminya itu.
“Jadi gini, Jat. Seperti yang aku bilang padamu tadi, lusa, saat pernikahan kalian berakhir, aku akan menjemput Kinanti dan mengantarkannya sendiri pada kedua orangtuanya. Sekalian mau kembali meminta restu kepada mereka untuk menikahinya ulang.”
“Tetapi … bagaimana dengan masa idah?” tanya Jatayu, spontan. Ketiga orang yang tengah berada di usia awal tiga puluh itu saling berpandangan.