BAB 6. Tentang Mamanya Yang Sakit

1387 Words
Tiba-tiba Kaluna merasa resah kembali. “Aduh aku baru ingat! Besok kan Senin, Om. Aku ada kuliah pagi.” “Kalau begitu pulang kuliah langsung temui saya. Kamu yang cari saya, temukan dimanapun saya berada, karena saya orang sibuk, jadi nggak bisa janji besok ada di mana.” “Cih, sombong betul, Kisanak!” Anggara mengedikkan kedua bahunya. “Loh, memang begitu adanya. Kamu bisa pulang malam hari setelah tugasmu selesai.” Kaluna terdiam sesaat, lalu dia menarik napas dalam-dalam. “Umm … Om, tapi tolong jangan terlalu malam, ya. Sebab aku harus mengurus ibu di rumah. Tolong pengertiannya.” Kini giliran Anggara yang terdiam sesaat. Dia kembali menatap lekat-lekat wajah gadis remaja yang terlihat begitu cantik natural, ekspresinya juga begitu jujur. Sama sekali berbeda dengan wanita-wanita hedon yang biasa mengintainya. “Om? Tolonglah!” “Oke.” “Ah, makasih ya, Om! Besok aku akan telepon setelah pulang kuliah. Bye.” Kaluna langsung membuka pintu mobil dan nyaris turun sambil melompat. “Hei!” Anggara terlambat. Tangannya terulur dan masih ingin mengatakan banyak hal pada Kaluna, tapi gadis itu sudah menutup kembali pintu mobil. Terlihat jalannya menjauh sambil melompat-lompat kecil. “Hemm, dasar,” desis CEO tampan itu lalu mulai menjalankan mobilnya, keluar dari kawasan café. Kaluna sendiri memilih langsung pulang ke rumah. Hari sudah terlalu sore untuk dia mampir-mampir lagi ke tempat lain. Pulang jam segini saja sudah bagus kalau tidak kena semprot papa dan kakaknya. Gadis itu menyetop angkot dengan jurusan melewati gang rumahnya. Azan magrib sudah lewat beberapa menit ketika Kaluna sampai di rumah. Dia masuk ke dalam rumah tanpa mengetuk pintu, lagipula asalkan belum dikunci, dia tidak butuh siapapun untuk menyambutnya pulang. Memberi salam pun tidak akan ada yang menjawab, percuma saja. Tempat pertama yang ditujunya adalah kamar mamanya. Dia membuka pintu kamar itu perlahan, lalu melongok sebentar. Dilihatnya sang mama sedang berbaring di atas ranjang dengan posisi terlentang. Kaluna tersenyum, melihat seperti itu saja sudah bisa menghibur hatinya saat ini. Dia masuk dengan perlahan lalu menutup pintunya kembali. “Ma,” panggilnya pelan. Tidak ada jawaban. Padahal saat Kaluna sudah semakin mendekati ranjang, dia dapat melihat dengan jelas bahwa mamanya tidak sedang tertidur. Tapi sedang menatap langit-langit kamar dengan begitu serius. “Mama,” panggilnya lagi. Kali ini dengan nada suara agak kencang. Dan memang berhasil menarik perhatian Elvina, wanita 47 tahun yang terlihat kurus dan memiliki kulit putih pucat. “Hemm? Siapa, ya?” desis Elvina sambil menoleh pada Kaluna yang sudah duduk di tepian ranjang. “Ini aku, Bu. Kaluna.” “Ohh, Kal. Kamu toh. Sudah pulang sekolah kamu, Nak?” “Sudah, Ma.” Kaluna membantu mamanya untuk duduk. Kaluna memandangi wajah sang mama yang terlihat jauh lebih tua dibandingkan usianya sendiri. “Gimana? Upacara bendera tadi kamu jadi apa?” Elvina tampak sibuk menggelung rambutnya yang panjang. Kaluna menghela napas dalam-dalam. “Pembawa bendera, Ma.” “Wahhh, bagus! Bagus itu! Hebat kamu, Nak.” Namun baru saja Elvina tampak bersemangat, detik kemudian dia terdiam dengan tatapan kosong. Lalu keningnya mengernyit dan seperti orang yang sedang berusaha keras mengingat-ingat sesuatu. “Kenapa, Ma?” tanya Kaluna dengan lembut sambil mengusap-usap tangan sang mama. Tangan kanan Elvina terangkat dan terulur seperti ingin menggapai-gapai sesuatu. “Kamu itu … ummm … memangnya ruang berapa?” Kaluna tersernyum tipis. “Kelas berapa maksudnya ya, Ma?” Elvina sontak menunjuk-nunjuk pada wajah putrinya sambil mengangguk beberapa kali. “Nah, itu! Kelasmu ….” Belum sempat Kaluna menjawab lagi, pintu kamar dibuka oleh seseorang. Dia adalah Kinara, kakak perempuan Kaluna, yang raut wajahnya langsung berubah sumringah begitu melihat ada Kaluna di sana. “Heh, udah pulang?! Bagus deh, Mama belum makan malam tuh!” ucap Kinara dengan nada ketus. “Ya.” Kaluna menjawab acuh tak acuh. Tanpa diberitahu pun Kaluna yakin sang mama memang belum diberi makan oleh kakak atau papanya. “Sekalian, tadi sore diapers Mama bocor,” lanjut Kinara lagi dengan memasang ekspresi jijik. “Terus belum kamu ganti, Kak?” Kinara yang sudah akan keluar dan menutup pintu, urung lalu kembali menatap tajam pada adik dan mamanya. “Ya belumlah! Jijik aku, kan. Sudah kamu aja yang ganti, biasanya juga kamu kok.” Tanpa menunggu jawaban dari Kaluna lagi, Kinara langsung keluar dan menutup pintu kamar dengan agak kencang. Sampai-sampai mama mereka dibuat kaget. Kaluna geleng-geleng kepala melihat sikap kakak satu-satunya itu. Kemudian dia mengusap punggung mamanya untuk menenangkan. Elvina yang tampak masih terkejut dan ketakutan, menunjuk-nunjuk ke arah pintu tanpa bicara sepatah katapun. Seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi tidak sanggup keluar. “Iya, Mama. Itu tadi Kak Kinara. Mama, aku ganti dulu diapersnya, ya.” Lalu dengan lembut Kaluna membaringkan kembali sang mama di atas kasur. Kaluna cekatan sekali mengurus mamanya dan dia sama sekali tidak merasa risih. Justru dengan tenang Kaluna sambil mengajak ngobrol mamanya sehingga sesekali terdengar suara tawa keduanya. Sudah tiga tahun ke belakang, Elvina didiagnosis terkena penyakit demensia. Dari yang awalnya hanya lupa pada hal-hala kecil saja, makin hari dan makin bulan, semakin parah gangguan ingatan yang diderita Elvina. Bahkan sekarang seringkali Elvina seperti kehilangan kata-kata. Dia kadang terlihat ingin sekali mengatakan sesuatu tapi tidak bisa terucap keluar. Pernah suatu pagi, sekitar setahun lalu, Elvina menyiapkan seragam putih biru yang ternyata memang masih ada di tumpukan pakaian terbawah. Dan sejak saat itu, Elvina selalu menganggap bahwa Kaluna masih bersekolah SMP, padahal putri bungsunya itu sudah duduk di bangku kuliah. “Ma, aku ambilkan makan dulu, ya. Nanti aku suapin.” Elvina mengangguk sambil tersenyum. Lalu Kaluna keluar dari kamar mamanya dan berjalan untuk menuju ruang makan. Saat dia melewati kamar papanya, yang memang terpisah dari kamar sang mama. Sebab papanya itu memang sudah tidak mau lagi tidur satu kamar setelah penyakit istrinya semakin parah. Jangankan untuk mengurus istrinya yang sakit, mendekatinya saja dia tidak mau. “Pa, pokoknya nih ya, aku harus didandani oleh MUA terkenal! Aku harus tampil super cantik, nggak mau tahu!” Terdengar suara Kinara yang cukup kencang. Sehingga membuat Kaluna jadi penasaran, dia jadi tertarik untuk menguping di luar kamar papanya. “Tenang saja, Sayang. Apapun yang kamu minta pasti akan dituruti. Kamu pasti akan langsung dijadikan ratu Pak Anggara!” “Uhuk! Uhuk!” Mendengar suara papanya menyebut nama Anggara, Kaluna sontak batuk-batuk karena dia tersedak ludahnya sendiri. Sepertinya Kaluna alergi dengan nama Anggara. Randi dan Kinara yang mendengar suara batuk Kaluna langsung berjalan keluar kamar. Begitu melihat Kaluna yang sedang berdiri canggung di sana, Randi langsung melotot dengan kedua tangan di pinggang. “Ngapain kamu di sini?!” hardik Randi pada putri bungsunya itu. “Ck ck lagi nguping, ya? Bukannya ngurusin makannya mama malah nguping di sini!” timpal Kinara dengan tatapan tajam pada adiknya. “Nggak ngapa-ngapain. Pas lewat aja kebetulan batuk,” jawab Kaluna sekenanya. Lalu dia melenggang pergi begitu saja dari sana. Malas rasanya meladeni papa dan kakaknya yang sudah pasti ujung-ujungnya hanya akan ribut saja. Kaluna melangkahkan kakinya lebar-lebar menuju ruang makan. Randi sempat memanggilnya lagi tapi tidak diindahkan sama sekali. Dibukanya tudung saji di atas meja makan, melihat menu yang tersaji di sana, dia hanya menghela napas dalam-dalam. Hanya tinggal tersisa dua potong tempe dan semangkuk sayur sop yang bahkan hanya tinggal kuahnya saja. Papa dan kakaknya itu memang keterlaluan. Tadi pagi padahal Kaluna yang memasak sayur sop dengan isian sayuran lengkap, tempe goreng tepung, juga ikan balado. Dengan teganya papa dan kakaknya itu hanya menyisakan lauk makan malam yang bahkan untuk mamanya saja, Kaluna rasa masih kurang. Akhirnya dia mengalah, untuk malam ini dia tidak makan lagi. Setelah menyendokkan nasi dan seluruh lauk yang tersisa ke piring, Kaluna langsung kembali ke kamar mamanya. Elvina memang selalu makan di dalam kamar. Pernah Elvina jalan sendiri ke dapur, tapi malah wanita 47 tahun nyaris saja menyebabkan kebakaran. Karena menyalakan kompor lalu meninggalkannya begitu saja. “Mama, ayo makan dulu.” Tidak ada jawaban dari Elvina, Kaluna mendekati tempat tidur mamanya sambil membawa piring di tangan. “Mama! Yuk, makan dulu.” Masih tidak ada jawaban. Samar-samar terdengar suara dengkuran halus. Kaluna agak membungkuk, memperhatikan wajah mamanya yang sedang berbaring dengan posisi miring. Ternyata mamanya itu sudah tertidur lelap. “Huffttt.” Kaluna mengedikkan kedua bahunya. Diletakkannya piring berisi nasi dan lauk itu di atas meja nakas. Lalu dia ikut naik ke atas ranjang dan merebahkan badannya di samping sang mama. Dipeluknya mamanya itu dari belakang, lalu gadis itupun ikut memejamkan mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD