BAB 5. Orang Dewasa Itu = Menyebalkan!

885 Words
“Huh! Besok, ya? Aku nggak dikasih jeda waktu dulu gitu, Om? Untuk persiapan sebagai asistent pribadi?” Padahal sesungguhnya Kaluna hanya sedang mengulur waktu. Pikirnya, sial sekali sih nasibnya harus bekerja melayani seorang om-om yang menyebalkan ini, apalagi tanpa dibayar. Sedangkan untuk saat ini prioritas Kaluna adalah uang, tenaga dan waktunya telah banyak terpakai untuk kuliah sambil kerja paruh waktu. Dan sekarang harus ditambah lagi dengan sebagai asistent pribadi om dari sahabatnya sendiri. Anggara tersenyum sinis sambil menggelengkan kepalanya pelan. Dia tidak habis pikir, bisa-bisanya gadis ini pakai segala menawar padanya. Berani sekali! Padahal dia sedang dalam ancaman yang tidak main-main. Anggara memajukan wajahnya, menatap lekat-lekat pada gadis di hadapannya, yang ekspresi wajahnya membuat pria itu gemas sekali. “Kal, dengarkan saya. Kamu hanya punya satu pilihan atas tantangan dari saya ini. Take it or leave it!” “Ish! Iya deh iya, take it deh, daripada jadi istri om-om,” ucap Kaluna sekenanya. Tanpa melihat pada Anggara yang melirik tajam padanya. Kemudian melirik pada kaca spion, dia bercermin dan merasa wajahnya belum terlihat tua untuk dipanggil om-om. Meskipun diakuinya sudah kepala tiga, tapi menurut Anggara wajahnya cukup baby face. “By the way, Om. Urusan ini nggak perlu Bella sampai tahu, ya. Nggak usah deh Om bilang-bilang sama keponakan Om itu kalau aku lagi jadi asistent pribadinya Om Angga. Bisa gawat! Dia itu selain kepo, mulutnya juga ember. Kalau dia tahu pasti nanti Intan dan Fanya juga bakalan tahu, Om.” “Hemm, iya.” “Iya apa, Om? Jangan iya doang, kalau ngomong yang jelas dong, Om! Ka—” “Iya. Saya nggak akan bilang pada siapapun apalagi pada Bella keponakan saya. Cukup begitu?” Anggara menoleh dan menatap lekat-lekat pada gadis cerewet di sampingnya. “Cukup, Om!” Kaluna menjentikkan jarinya seraya tersenyum lebar. Anggara menggelengkan kepalanya pelan. Cukup menarik juga bagi Anggara berurusan dengan gadis remaja belasan tahun yang seumuran dengan keponakannya sendiri. Sebenarnya jika bukan karena suatu hal, dia tidak akan mau repot-repot meluangkan waktu dengan gadis kemarin sore itu. Tapi ada sesuatu yang begitu kuat hingga membuat Anggara punya ide gila untuk memberi gadis itu tantangan sebagai asistent pribadinya. “Oh ya Om, satu lagi!” Anggara kembali menoleh pada Kaluna. Tatapannya begitu datar dan dingin. “Hemm? Apalagi?” “Papaku. Tolong jangan sampai masalah ini diketahui sama Papa! Oke?!” Terlihat wajah manis Kaluna begitu serius saat ini. Anggara yang melihatnya bukannya takut tapi malah ingin sekali mentertawakannya. Sekuat tenaga dia tahan supaya tetap terlihat serius juga. “Kenapa memangnya?” Kedua bola mata Kaluna sontak membelalak. “Kok malah tanya kenapa sih, Om?! Ya pokoknya jangan aja! Aku nggak mau masalah ini sampai ke telinga Papa atau keluargaku yang lain, titik!” “Yaa tapi kan kalau akhirnya kamu kalah dalam misi tantangan 6 hari ini, saya akan tetap melamar kamu. Otomatis keluarga kamu akan tahu. Iya, kan?” “Nggak!” jawab Kaluna dengan cepat. “Aku nggak akan kalah dalam tantangan ini dan aku nggak akan menjadi istri Om Angga!” Anggara mencibir sambil mengangkat kedua bahunya bersamaan. “Hemm … kita lihat saja nanti. Kamu jangan terlalu yakin begitu, nanti kalau kalah kamu bisa frustasi,” ucap pria tampan itu dengan tenang. “Ish! Apaan sih Om ini! Aku nggak akan kalah dan aku akan buktikan itu! Lagipula, aku ini masih umur belasan loh, Om. Belum ada niatan sama sekali untuk menikah. Aku masih punya banyak mimpi yang harus dikejar. Jangankan menikah, pacar saja belum punya.” Anggara menaikkan kedua alisnya. “Yaa pacar memang belum punya. Tapi berciuman di depan umum berani betul kamu. Itu melebihi orang yang berpacaran diam-diam. Ck ck anak remaja jaman sekarang, ya.” Wajah tampannya mencibir Kaluna yang diam tak berkutik kali ini. Kaluna menghela napas. “ Ya sudah sih, Om. Bisa nggak sih jangan ungkit-ungkit itu lagi.” “Bisa, jalankan saja hukumanmu dengan baik. Jangan sampai kalah tantangan. Kan kamu hobi taruhan.” “Om nyindir aku? Lagian nih ya, kalau bukan karena keponakan Om tuh yang bikin taruhan gila, aku nggak akan bermasalah kayak gini deh.” Lagi-lagi raut wajah Anggara mencibir gadis itu. “Jangan suka menyalahkan orang lain. Kan kamu yang pilihan, mau ikut taruhan itu atau tidak. Kalau kamu sudah memilih ya harus bisa bertanggung jawab.” “Huffttt!” Kaluna memutar kedua bola matanya dengan malas. “Paling repot memang kalau berurusan dengan orangtua.” Anggara menggelengkan kepalanya pelan, gemas sekali dia melihat gadis cerewet di sampingnya itu. “Lebih tepatnya orang dewasa. Dan kamu, belum bisa berpikir dewasa. Kalau orang dewasa, akan berpikir berkali-kali untuk menerima tantangan itu.” Kaluna melotot. “Aku juga nggak akan menerima tantangan itu kalau hadiahnya nggak semenarik itu, Om! Aku butuh hadiah itu untuk—ah … sudahlah, Om nggak perlu tau!” Raut wajah Kaluna memberengut. Anggara tahu, ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu. Namun dia tidak mau bertanya lebih jauh. “Oke.” Kening Kaluna mengernyit. “Heh! Kenapa nih orang? Kok tiba-tiba oke sih? Aneh!” Kaluna membatin. “Apanya yang oke, Om?” Anggara mengangkat kedua bahunya sekali. “Yaa oke saja. Yang penting bagi saya, mulai besok kamu sudah menjalankan tantangan dari saya sebagai asistent pribadi saya.” Nada suara Anggara tetap tenang meskipun gadis di sampingnya selalu berbicara dengan menggebu. “Ya udah iya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD