“Kal, maaf ya! Beneran deh, gue nggak tahu kalau itu om gue. Lo jangan ngambek gitu dong, Kal! Jelek banget muka lo kalau cemberut gitu.”
Kaluna menghentikan langkahnya tiba-tiba, otomatis Bella yang sedang membuntutinya sedari tadi menabrak punggung Kaluna. “Ups!”
Kaluna membalik badan dengan wajah memberengut. “Lo tuh udah salah bukannya minta maaf yang tulus gitu, malah ngehina gue.”
Bella terkekeh kecil. Dia garuk-garuk kepala yang tidak gatal. “Iya Kal, sekali lagi maaf. Tapi lo baik-baik saja kan sama om gue?”
“Apanya yang baik-baik?! Om lo tuh rada-rada miring kayaknya otaknya. Masa’ nih ya, gara-gara taruhan itu, gue jadi kena hukuman sama dia!”
Kedua bola mata Bella membelalak. “Hah! Hukuman apa, Kal?”
“Gue disuruh jadi asistennya sampai dengan hari Sabtu ini, kalau nggak ….” Lidah Kaluna terasa kelu untuk melanjutkan ucapannya. Sungguh, meskipun Bella adalah salah satu sahabat dekatnya. Namun tetap saja malu sekali rasanya mengucapkan kalau dia akan dilamar jika tidak berhasil menjalankan hukuman.
“Kalau nggak apa, Kal?’ Bella penasaran juga, apa yang akan dilakukan oleh om tergantengnya itu pada Kaluna.
“Kalau nggak hukuman gue bakal diperpanjang kayaknya. Ah sudahlah, gue harus siap-siap nih!”
“Sekarang banget, Kal?” Bella tidak percaya, sebab setahu dia di jam siang begini tentu saja Om Anggara masih di kantor miliknya. Setahunya lagi, Om Anggara terlalu sibuk mengejar karir di usianya yang tiga puluhan itu, hingga lupa kalau dia juga harus mengejar calon pendamping hidup.
“Iya, sepulang kuliah. Gue nggak mau hukuman gue ini gagal, Bel. Bisa mati gue!”
“Oke. Oh ya, ini mau lo ambil sekarang, Kal? Jadi lo ke penthouse om gue nggak usah naik ojek.” Bella menggoyang-goyangkan kunci Vespa yang sedang dipegangnya.
“Eh, nggak, nggak! Lo tolong simpanin itu iPhone dan Vespa, ya. Sebagai investasi gue aja,s ewaktu-waktu gue butuh untuk berobat mama, akan gue ambil. Inget loh, itu udah punya gue!”
Bella tersenyum. “Iya, iya gue paham. Wahh berati kalau gue pake’ jadinya nyewa dong nih?”
“Ya iyalah! Namanya juga investasi.” Kaluna tergelak. Bella jadi ikutan terkekeh, tapi detik kemudian raut wajahnya kembali serius. “Padahal daripada tiap hari lo naik angkot ke kampus loh, Kal. Mana sering telat lagi. Apa nggak sebaiknya ini Vespa buat transportasi lo kuliah aja?”
“Yahhh maunya sih gitu, mana cakep bener tuh Vespa.” Kaluna melirik Vespa pink yang sudah full modif terparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Kemudian dia menghela napas dalam-dalam. “Tapi kan lo tau sendiri, Bel. Nanti yang ada baru dua hari di rumah sudah dijual sama papa gue.”
Bella jadi ikut menghela napasnya. “Iya juga, sih.”
Kaluna menjentikkan jarinya di depan wajah Bella. “Ya sudahlah, Bel. Life must go on. Gue harus kembali ke setelan awal.” Kemudian gadis itu menunjuk-nunjuk pada jam di pergelangan tangannya. “Gue harus cabut nih.”
“Bella! Kal!” Terdengar teriakan Intan.
Kaluna dan Bella menoleh pada asal suara, tampak Intan dan Fanya berlarian menghampiri mereka berdua.
“Makan yuk di Café Biru!” ajak Fanya ketika dia baru saja sampai di hadapan Kaluna dan Bella. Napasnya masih terlihat agak tersengal.
“Huffttt, maaf! Kali ini gue nggak gabung, ya. Masih ada yang harus gue kerjain. Bye.” Tanpa menunggu jawaban ketiga sahabatnya, Kaluna langsung berlari menuju area luar kampus.”
“Loh! Loh! Mau kemana itu Kaluna? Kita baru juga sampai, udah ditinggal kabur aja. Mana dia belum cerita lagi soal kemarin,” oceh Intan karena dibuat penasaran.
“Udahlah, gitu aja ngomel. Yuk kita ke café!” Bella berjalan lebih dulu, lalu diikuti kedua sahabatnya.
Sementara itu Kaluna mencari tempat yang sepi untuk menelepon Anggara. Dia berdiri tidak jauh dari halte kampus. Bella sudah memberinya nomor Anggara tadi.
“Hallo.”
Terdengar suara bariton khas Anggara di seberang telepon. Mendengar suara itu saja sudah mampu membuat tubuh Kaluna bergidik ngeri. Apalagi membayangkan dia akan menjadi asisten pribadi si pria kulkas itu.
“I—iya, hallo.”
“Iya Kaluna?”
“Loh, Om udah simpan nomor aku?”
Kaget juga Kaluna karna Anggara langsung tahu bahwa dia yang menelepon.
“Nggak perlu disimpan juga saya sudah hapal suara kamu. Sudah nggak usah basa-basi, kapan kamu bisa jalan ke penthouse saya?”
“Yeee ngeselin banget.”
“Apa kamu bilang?!”
Suara Kaluna tadi yang hanya berupa gumaman tidak terlalu jelas didengar oleh Anggara, dan Kaluna langsung menepuk mulutnya sendiri beberapa kali.
Eh, nggak kok, Om. Aku bilang, iya ini sudah mau berangkat.”
“Oke, bagus. Saya juga sebentar lagi akan pulang dari kantor.”
“Huffttt. Ya sudah Om, kirimin alamatnya, ya.”
“Nggak usah. Sebentar lagi akan ada taksi jemput kamu, tunggu saja. Penthouse saya ada di lantai 37. Nanti saya chat kamu untuk nomor kuncinya. Cuma saya dan kamu yang tahu nomor itu, jadi kalau penthouse saya nanti sampai kerampokan. Saya langsung tahu harus mencari kemana.”
“Idih! Ya sudah Om, kayaknya itu taksinya sudah datang deh. Sopirnya ngelihatin aku terus.”
“Oke.”
Sambungan telepon ditutup. Kaluna mendekati taksinya yang kaca jendelanya sudah terbuka.
“Bapak yang mau antar saya ke Apartement Blue Sky, ya?”
“Dengan Mbak Kaluna?” Sopir taksi itu balik bertanya.
Kaluna mengangguk. “Iya saya.”
“Silakan naik, Mbak. Iya saya antar Mbak ke Apartement Blue Sky.”
“Terima kasih.” Kaluna pun segera masuk ke taksi. Sebetulnya dia sendiri tidak hapal jalan menuju apartement tempat penthouse milik Anggara berada. Jadi dia hanya asyik memandangi jalan raya saja lewat kaca jendela.
Hanya sekitar 30 menit kemudian, taksi telah memasuki halaman lobi apartement. Ada 3 gedung apartement di sana dan taksi mengarah pada gedung Blue Sky.
“Silakan, Mbak. Sudah sampai,” ucap sopir taksi dengan ramah.
“Oh iya, tarifnya berapa ya, Pak?”
“Sudah dibayar oleh Pak Anggara.”
“Ohh, baiklah. Makasih ya, Pak.” Kaluna pun turun dari taksi. Dia mendongak, berusaha melihat puncak apartement tapi terlalu tinggi dan silau.
Dengan langkah ragu Kaluna memasuki lobi apartement tersebut. Dia disambut oleh seorang petugas keamanan yang membukakan pintu.
Kaluna jadi merasa canggung, diperlakukan bagaikan penghuni apartement, padahal memimpikan pernah masuk kesini saja belum pernah.
Tanpa perlu bertanya lagi pada resepsionis di sana, Kaluna segera menuju lift, sebab tadi Anggara sudah bilang bahawa penthousenya berada di lantai 37.
Saat memasuki lift, gadis itu bersama dengan beberapa orang lainnya. Namun semakim tinggi lift naik, semakin berkurang pula orang-orang di dalam lift. Mereka telah turun di lantai unitnya masing-masing.
Dan ketika menuju ke lantai 37, Kaluna benar-benar telah sendiri. Tentu saja seperti itu, karena di gedung Apartement Blue Sky hanya ada satu penthouse saja. Dan itu adalah milik Anggara Mahameru Yudhistira.