Randi di seberang telepon terdiam seketika. Sedangkan Kaluna menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangan supaya dia tidak sampai berteriak. Sebab jika sampai papanya itu mendengar suara teriakannya, sudah pasti nanti dia pulang akan kena marah besar.
“Ba—baik, Pak Anggara. De—dengan senang hati pasti saya akan menerima lamaran Bapak. Oh, ya ampun! Ini sangat mengejutkan sampai-sampai saya gugup begini. Saya … saya sangat ba—bahagia, Pak!”
“Ohh terima kasih ya, Pak Randi. Hari Sabtu ini rencananya saya akan datang ke rumah Pak Randi untuk melamar secara langsung. Pak Randi tidak perlu repot-repot menyiapkan apapun, saya yang akan mengurusnya. Mulai dari catering, dekorasi, dan semua apapun yang dibutuhkan, saya akan siapkan yang terbaik nanti di rumah Pak Randi. Bagaimana, Pak?”
“Ohh saya benar-benar tidak menyangka, Pak Anggara! Akan menjadi calon mertuanya Pak Anggara. Saya benar-benar terharu ini loh, Pak!”
Terdengar suara kekehan kecil Anggara yang begitu sopan masuk di telinga, padahal lirikan mautnya pada Kaluna begitu menyebalkan di mata gadis malang itu.
“Saya juga sangat bahagia, Pak Randi. Sebentar lagi akan melepas masa lajang saya dengan putri Bapak. Kalau begitu, nanti saya kabari lagi ya, Pak. Untuk segala persiapannya. Saya juag akan mentransfer sejumlah uang untuk pegangan Bapak kalau-kalau ada kebutuhan mendadak.”
“Oh iya benar sekali itu, Pak. Memang biasanya kalau ada acara besar apalagi lamaran, selalu ada yang namanya biaya mendadak. Bahkan lebih besar nanti keluarnya ketimbang untuk kebutuhan yang sudah pasti.”
Lalu terdengar suara tawa sumbang Randi yang disambut dengan kekehan kecil Anggara. Sedangkan Kaluna langsung menutup wajahnya. Malu sekali dia dengan ucapan papanya. Kaluna paham betul dengan karakter sang papa yang sangat mata duitan.
“Baik Pak Randi. Secepatnya akan saya transfer, ya. Terima kasih, Pak Randi.”
“Sama-sama, Pak Anggara. Saya juga sangat berterima kasih.”
Lalu sambungan telepon ditutup. Konsen Anggara kembali pada Kaluna. Dia tersenyum miring melihat Kaluna yang perlahan membuka wajahnya kembali.
“Bagaimana? Sekarang kamu sudah percaya kan kalau saya serius? Saya bukan tipe orang yang suka bercanda, Kal.”
“Yeah … keliatan kok,” jawab Kaluna dengan malas.
“Oke Kaluna, Sabtu ini kamu siap-siap saya lamar, ya. Tenang saja, semua kebutuhanmu untuk acara lamaran akan saya kirim ke rumah kamu besok. Atau … kalau kamu berkenan, kita cari persiapannya hari ini juga. Yuk!”
Kaluna mengernyitkan dahinya, sebelah ujung bibirnya naik. “Dih, apaan sih Om ini! Yak yuk yak yuk aja, kebelet kawin ya, Om?”
Anggara tersenyum tipis. “Kalau saya kebelet kawin, seperti yang kamu bilang tadi, dari kemarin-kemarin sudah saya pacari model internasional atau artis papan atas terus saya ajak kawin. Bukan itu konteksnya, anak nakal. Saya hanya ingin menjaga harga diri dan kredibilitas saya.”
Kaluna mengusap wajahnya dengan kasar berulang kali. “Duh, pusing aku, Om! Ini semua gara-gara keponakan Om itu deh, jadi kena getahnya gini. Om, dengar ya, aku ini masih 19 tahun, aku pengennya nikah tuh nanti aja, umur 25 atau 28 sekalian nggak apa-apa deh. Aku masih pengen lulus kuliah dulu, kerja mapan dulu, jalan-jalan ke Korea dulu, dateng ke konsernya BTS dulu, baru deh abis itu berbakti pada suami!”
“Ck ck banyak sekali impianmu hai anak muda. Ayo kita buat kesepakatan. Setelah kamu menikah dengan saya, segala impianmu itu akan saya bantu wujudkan. Kuliah sampai lulus, kerja di kantor bergengsi, tentu saja itu kantor milik saya, kan. Lalu bulan madu ke Korea, kamu tinggal pilih mau Korea Selatan atau Korea Utara. Datang ke konsernya BTS, kita beli tiket red zone, ajak teman-temanmu sekalian biar seru. Asalkan kamu tetap berbakti pada saya mulai dari pernikahan hari pertama.”
Kaluna melongo mendengar ucapan pria menyebalkan di sampingnya itu. Dia sedang memindai dengan penuh selidik, apakah semua omongannya itu hanya bualan semata. Tapi terlihat dari raut wajah Anggara, sepertinya begitu serius.
Lagipula Kaluna tahu betul, om-om ganteng ini tajirnya minta ampun. Kalau soal uang pastilah siapapun yang menjadi istrinya tidak perlu khawatir dengan masalah token listrik bunyi berbarengan dengan gas dan galon habis.
Buktinya saja, Arabella seringkali bercerita dibelikan hadiah-hadiah barang branded dari omnya tersayang ini, adik bungsu dari mamanya.
Anggara menjentikkan jarinya di depan wajah Kaluna sehingga gadis itu tersentak. “Kenapa malah bengong? Kaget ya tiba-tiba dapat rezeki nomplok? Dapat suami sempurna seperti saya.”
Kaluna memutar kedua bola matanya dengan malas. Namun detik kemudian raut wajahnya justru berubah menjadi memelas. Seperti orang yang frustasi.
“Om, seriusan deh, aku nggak sanggup Om kalau disuruh nikah secepat ini. Apalagi suaminya setua Om ini, aduh ….”
Mendengar itu sontak Anggara melirik tajam lewsat ekor matanya. Baru kali ini dia ditolak seorang gadis sambil diejek begitu. Biasanya dia yang akan menolak para wanita cantik sempurna yang mendekatinya.
Anggara mengamati gadis polos di sampingnya. Dia sama sekali tidak kalah cantik dengan wanita-wanita yang selama ini jatuh cinta padanya. Tapi kecantikannya itu berbanding lurus dengan sifat kekanakannya yang masih mendarah daging. Anggara jadi geleng-geleng kepala sendiri.
“Om, hukumannya yang lain saja deh. Yah Om yah! Pleaseee!” Kaluna mengatupkan kedua telapak tangannya. Bahkan kedua bola mata bulatnya yang berwarna hitam bening itu mengedip-ngedip seperti kucing yang meminta belas kasihan.
Anggara berpikir sejenak. Bukannya dia mau egois, tapi kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali, pikirnya. Dia berjanji pada dirinya sendiri, nanti setelah berhasil menikahi gadis itu, dia tidak akan pernah menyakitinya.
Anggara berdeham sekali. “Oke, anak nakal. Begini saja, hukuman mu akan saya ganti. Yaitu kamu harus menjadi asisten pribadi saya sampai dengan hari lamaran. Kalau kamu berhasil, oke lamaran itu akan saya batalkan. Tapi kalau kamu gagal, maka kamu harus ikhlas saya lamar lalu saya nikahi. Bagaimana?”
Seketika sorot mata Kaluna berbinar penuh harapan. “Setuju!” jawabnya tanpa berpikir ulang.
Namun detik kemudian keningnya kembali mengernyit. “Ehh bentar bentar, Om. Tugas aku sebagai asisten pribadi Om itu apa aja, ya?” Kaluna baru teringat dia belum dijelaskan apa tugasnya sebagai asisten pribadi. Tiba-tiba gadis itu agak menyesal juga tadi langsung menyetujui begitu saja, padahal yang dihadapinya ini adalah seorang yang otaknya licik sepertinya. Pikir Kaluna dengan khawatir.
“Apapun yang saya minta kerjakan, ya harus kamu kerjakan. Namanya juga asisten. Yang jelas kamu harus mempermudah hidup saya.”
“Umm lebih spesifik lagi bisa, Om? Contohnya apa?”
“Contohnya kalau saya lagi malas makan sendiri, kamu temenin. Atau kalau saya lagi pengen makan sesuatu, kamu masakin. Yaaa begitulah.”
Kaluna tampak berpikir sejenak. Kalau ditimbang-timbang, jadi asisten itu jauh lebih mudah dibanding jadi istri. Dan mungkin ini adalah satu-satunya kesempatan untuk bisa bebas dari pernikahan laknat itu.
Kaluna tersenyum tipis sambil menganguk-angguk sendiri. Kemudian dia menatap tajam pada Anggara. “Om Angga, masa hukuman sebagai asisten hanya sampai hari Sabtu, kan? Nggak lebih?”
Anggara mengangguk dengan yakin. “Tentu. Hanya sampai hari Sabtu. Tapi kalau kamu gagal, maka Sabtu malam minggu saya akan datang melamar ke rumahmu.”
“Kalau aku berhasil?” Kaluna memicingkan kedua matanya.
“Kamu bebas dari saya.”
“Bebas tanpa syarat?” Kaluna memiringkan sedikit kepalanya.
“Ya. Bebas tanpa syarat. Kita tidak terikat apapun lagi,” jawab Anggara dengan sangat serius.
Senyum bulan sabit seketika terbit lagi di bibir ranum Kaluna. Gadis itu mengulurkan tangan kanannya pada Anggara. “Oke, deal.”
Anggara menatap lekat pada gadis cantik berkuncir dua. “Deal.” Keduanya berjabatan tangan dengan erat. “Jangan lupa, hukumanmu sebagai asisten dimulai besok.”