Chapter 4

1664 Words
"Aku masih kaget ada cowok nginep." "Risaa.. Kan udah aku jelasin." Risa kemudian tersenyum menatap Vani seraya tersenyum. "Udah berasa dapet lampu hijau dari Papa Mama ya, Van?" goda Risa. "Lampu hijau apaan? Emangnya lagi di perempatan adan lampu hijau." "Ciee, salting." Risa kemudian terkekeh. Vani pun tidak ambil pusing dengan ledekan dari Risa dan tetap melanjutkan kegiatan makan siangnya.  Gadis itu tiba tadi pagi dan datang ke villa Vani sebelum sarapan dimulai. Itu sebabnya Risa mengetahui keberadaan Bram yang semalam menginap di villanya. Bila tidak seperti itu, Vani juga tidak berniat untuk menceritakannya kepada Risa karena baginya itu adalah hal yang tidak perlu.. "Tapi kalo dipikir-pikir dan dilihat-lihat. Kalian cocok banget loh, Van." Vani pun mengangkat satu alisnya setelah mendengar ucapan dari Risa. "Itu temennya Devan, Sa. Jangan aneh-aneh, deh." Senyuman Risa pun semakin mengembang. "Enggak papa, Van. Ganteng gitu. Keren dan sama-sama jiwa-jiwa pebisnis kan?" Vani pun terkekeh dan menggelengkan kepalanya. "Cuma beda dua tahun aja nggak, sih?" "Risa.." Vani berusaha mengingatkan agar temannya itu tidak terus-terusan membahas hal yang malas Vani bahas. "Ups. Aku lupa. Lebih cocok sama Yoga, deng." "Risaa.." Risa kemudian terkekeh. "Iya deh, iya. Habis ini kita mau kemana?" tanya Risa. Mereka menghabiskan waktu bersama sejak tadi. Lebih tepatnya setelah selesai bekerja, keduanya memutuskan untuk makan siang bersama dan berniat untuk jalan-jalan setelah ini. Hanya saja keduanya belum tahu akan pergi kemana. "Habisin dulu makan siangnya, deh." Risa menganggukkan kepalanya dengan cepat. Mereka berdua pun melanjutkan kegiatan makan siangnya itu. "Apa nonton aja kali ya?" tawar Risa. Mereka memang tengah berada di salah satu restoran di mall saat ini. Memang seharusnya keduanya pergi ke restoran saja bukan ke mall. Akan tetapi tadi karena tidak tahu harus kemana, jadi keduanya memasuki mall ini. "Jangan, Sa. Yang lain aja. Udah jauh-jauh ke Jogja masak nonton bioskop. Di Bogor kan juga bisa kalo nonton." "Iya juga, sih." Keduanya kemudian terdiam dengan pemikiran masing-masing. Teringat akan sesuatu, gadis itu pun segera menatap Vani. "Gimana soal, Jay? Katanya mau cerita." Vani bahkan hampir lupa mengenai hal tersebut bila saja Risa tidak bertanya. Kemarin dirinya berjanji untuk menceritakan apa yang terjadi dengannya ketika bertemu Jay. Rupanya Risa tidak pernah lupa bila Vani memiliki hutang cerita kepadanya. "Habisin makan dulu," ucap Vani. Risa pun segera menghabiskan makanannya dengan secepat yang ia bisa. Setelah keduanya selesai makan, Vani pun mulai menceritakan apa yang terjadi pada dirinya ketika bertemu Jay. Risa menyimak dengan sangat antusias. "Fix pasti dia masih mau ngejar." Vani menganggukkan kepalanya. Ia tidak ingin terlalu gede rasa. Hanya saja bila melihat dari bagaimana cara Jay menatapnya kemarin, sudah sangat jelas apa yang lelaki itu inginkan. Tatapan itu masih tetap sama seperti beberapa tahun lalu. Rasanya tidak ada yang berubah. "Tapi keren banget, sih. Kebetulan banget ya ada si Bram disitu." "Ya, untungnya. Semoga aja nggak ketemu Jay lagi." Vani tidak membenci lelaki itu. Ia hanya merasa risih dan tidak nyaman dengan sikap berlebihan yang selalu Jay tunjukkan kepadanya. Vani paham bahwa lelaki itu memiliki perasaan terhadapnya. Hanya saja bila lelaki itu bersikap sedikit lebih baik, maka Vani akan dengan senang bersikap layaknya teman yang ramah. Akan tetapi karena sikap Jay lumayan menyebalkan jadi Vani memiliki untuk menghindarinya saja. "Tapi kalo ketemu dia lagi, terus Bram gimana?" "Apanya gimana?" tanya Vani bingung. "Kamu kan ngaku dia pacarnya kamu. Terus kelanjutannya gimana?" "Ya udah. Tinggal bilang udah putus aja." "Tapi Bram jomblo nggak, sih? Jadi penasaran, deh." "Kalo soal itu, Bram bilang-" Vani kemudian terdiam dan tidak jadi melanjutkan ucapannya. Ingatannya pun kembali teringat pada pop up pesan yang tadi pagi muncul di ponsel lelaki itu. "Bilang apa?" tanya Risa penasaran kepada Vani yang menjeda ucapannya. "Nggak tau. Itu privasi dia." "Nggak tau?" tanya Risa merasa heran. "Bram bilang apa, Van?" gadis itu bertanya lagi dan terlihat sangat penasaran. "Privasi dia, Sa." Risa terdiam sejenak. "Oh gitu." Dirinya kemudian kembali menatap Vani. "Tapi kalo jomblo, cocok loh buat kamu. Aku jadi pengen jodohin." "Risaa." ---------------- Bram menghela napasnya setelah mematikan laptopnya. Ia kemudian bangkit untuk meregangkan ototnya. Dirinya kemudian melangkah menuju kasur dan langsung merebahkan diri di atas sana. Ia merasa lelah karena langsung bekerja setelah kembali dari villa Vani. Bahkan saat ini sudah terlalu terlambat baginya untuk makan siang. "Laper," gumamnya. Bram kemudian memilih untuk mengambil ponselnya di atas nakas terlebih dahulu. Ia meletakkan benda pipih itu di atas nakas sejak tiba di kamar hotel tadi.  "Astaga, lupa!" Bram benar-benar lupa untuk mengirim balasan atas segala pesan yang masuk ke ponselnya pagi ini. Dirinya bahkan belum menceritakan apa yang terjadi kepada Elsa. Padahal semalam dirinya berniat untuk segera mengirimkan pesan kepada gadis itu. Sayangnya karena terlalu asik berbincang bersama Vani, Bram jadi tidak memainkan ponselnya. Bahkan ketika terbangun di pagi hari, dirinya tidak sempat memainkan ponsel karena terburu-buru mandi untuk mengikuti sarapan bersama keluarga Vani. Lalu setelah itu dirinya segera menyetir kembali ke hotel. Perjalanan yang lumayan melelahkan mengingat ia langsung bekerja setelah tiba di kamar hotel. "Ngeliat grafik saham capek juga, ya." Bram kemudian kembali menghela napasnya ketika melihat ratusan panggilan tidak terjawab dan juga ratusan pesan yang masuk. Di antara semua pesan itu, Bram mengenyitkan keningnya ketika mendapatkan dua buah pesan dari Bayu dan juga ada beberapa pesan dari papanya. Bram membuka pesan dari papanya dan langsung mengernyitkan kening. "What? Liburan bareng keluarganya Om Bayu?" Bram kemudian langsung memeriksa pesan yang dikirimkan oleh Bayu. Rupanya dia benar-benar diajak untuk berlibur bersama keluarga itu.  Bram pun memejamkan matanya. "Peluang emas parah ini, Bram." Papanya sendiri yang menyarankan agar Bram menyetujui ajakan ini. Seperti yang selalu dikatakan oleh papanya itu. "Pentingnya menjaga relasi," ujar Bram lengkap dengan nada yang percis sama seperti yang biasa dikatakan oleh papanya. Bram memandang pesan dari Bayu itu sekali lagi. "Liburan bareng Vani?" gumamnya. Di sela-sela ketika dirinya berpikir, sebuah panggilan telepon masuk ke dalam ponselnya. Ketika Bram melirik ID caller sang penelpon dengan nama kontak 'MY Angel' ia kemudian langsung mengangkatnya. "Halo, My Angel." "Lo lagi di goa mana? HP lo baru ada sinyal?" Bram tersenyum saat mendengar pertanyaan bernada ketus yang dilontarkan gadis itu. "Sorry, Ngel. Gue mantengin saham dari tadi." "Bodo amat. Lo jadi balik nggak sih? Capek banget gue nelponin lo berkali-kali. Sok sibuk banget deh, heran." Bram tidak bisa berhenti mengembangkan senyumannya karena mendengar ocehan gadis itu. "Enggak, Ngel." Terdengar decakan sebal dari seberang sana. "Terus jadinya kapan?" Bram juga tidak tahu kapan dia akan kembali. Sebenarnya dirinya tidak berniat untuk berada berlama-lama di Jogja. Ia memang harus segera kembali untuk membantu Angel menyiapkan grand opening toko offline-nya. Selama ini Bram menekuni kegiatan menjual pakaian secara online. Kegiatan itu ia kerjakan selama menjalani perkuliahan dan kini ia berpikir untuk membuka toko offline.  Angel bekerja padanya dengan mengurus hal itu. Sebenarnya Angel berniat untuk melamar pekerjaan di perusahaan Widjaja. Hanya saja Angel mengatakan bekerja dengan Bram sepertinya akan terasa lebih menyenangkan. Terlebih lagi pekerjaannya dengan Bram cukup santai saat ini.  "Belum tahu, Ngel." "Nyebelin banget, sih! Katanya udah beli tiket tengah malem kemarin. Lo sendiri yang bilang kalo nggak mau lama-lama di Jogja. Terus kok sekarang berubah pikiran?" Bram pun mengusap rambutnya dengan kikuk. "Ii itu.." "Terus grand openingnya gimana? Besok, loh." Bram pun memejamkan matanya dan hampir saja melupakan fakta bahwa besok akan menjadi acara grand opening toko pakaiannya. Seharusnya ia tidak melupakan hal sebesar itu mengingat dirinya telah mempersiapkan begitu banyak hal. Ah, lebih tepatnya sebenarnya Angel yang paling berjasa besar atas semua ini. "Ditunda aja kali ya, Ngel?" "Apa?! Ditunda?" Bram kemudian terkekeh mendengar nada terkejut dari Angel. Baginya suara gadis itu sangat lucu. "Lo gila, ya? Gue udah nyiapin capek-capek. Terus beritanya juga udah kesebar. Kenapa ditunda, sih?" Bram tentu tidak bisa melewatkan kesempatan berlibur bersama keluarga Vani. Sejauh ini, ia tidak menyesal karena kemarin mengiyakan permintaan keluarga itu untuk menginap. Padahal seharusnya kemarin Bram langsung kembali ke hotel setelah mengantar Vani. Dengan begitu dirinya bisa langsung kembali ke Bogor. "Atau gue nggak hadir aja ya besok? Nggak papa, kan?" Terdengar helaan napas di sebelah sana. "Ada apa sih di Jogja, Bram? Kok lo jadi nyebelin? Gue masih inget ya. Lo mager banget kesitu. Lo juga terpaksa banget hadir di acara apa itu yang Papa lo minta. Terus kok tiba-tiba, sih?" Bram juga merasa terkejut dengan peluang sebesar ini yang ia temukan. Padahal bila boleh jujur, tadinya ia memutuskan untuk membuka official offline store adalah untuk dapat mengundang Vani ke acara grand opening-nya. Itu salah satu cara agar Bram bisa mendekati gadis itu. Ia melakukannya seniat itu sehingga memberikan surat kepada Elsa dan meminta gadis itu untuk memberikan undangan kepada Vani.  Rupanya gadis itu sekarang berada di Jogja dan tidak kembali besok.  Itu artinya, Vani tidak akan bisa datang ke acara grand opening tokonya. Sehingga percuma saja bila diadakan besok karena tujuan utama Bram tidak akan tercapai. Akan tetapi dirinya merasa tidak enak dengan Angel dan atas segala persiapan yang telah dilakukan oleh gadis itu. Angel bekerja dengan sangat baik dan gadis itu begitu bersemangat dengan proyek ini. "Ada darurat, Ngel. Papa minta gue lebih lama disini soalnya ada urusan." Helaan napas kembali terdengar dari seberang sana. "Oke. Berarti grand openingnya diundur?" tanya Angel. Bram dapat mendengar nada kekecewaan dari suara gadis itu. "Tetep aja walau tanpa gue. Kalo diundur, pasti repot. Nggak enak juga karena beritanya udah kesebar. Orang-orang udah tau tanggalnya besok." "Oke. Hati-hati lo di Jogja." Bram memejamkan matanya. Ia menjadi merasa tidak enak bila seperti ini. Suara Angel yang menandakan ia seolah berserah dan menerima keputusan mendadaknya ini membuat Bram merasa bersalah. "Iya. Lo mau dibawain oleh-oleh apa?" "Nggak ada. Udah ya? Maaf spam nelponin sama chat." "Ngel.." "Lo marah?" tanya Bram kemudian. "Engga. Udah ya. Bye.." "Lo-" Klik.. Bram tidak jadi melanjutkan ucapannya karena sambungan telepon telah diputus. Lelaki itu kemudian menghela napasnya. "Gue nggak profesional banget deh." Lelaki itu kemudian memijat keningnya perlahan. "Balik apa netep ya?" tanyanya pada diri sendiri. "Kalo gue netep, lumayan liburan bareng Vani bisa pendekatan. Tapi kalo nggak balik, nggak enak banget deh sama Angel."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD