Chapter 3

1155 Words
Bram menghela napasnya begitu ia merebahkan diri di kamar tamu vila. Ini tidak seperti yang ada di rencananya. Dirinya berniat untuk kembali nanti tengah malam menuju Bogor. Dia sudah memesan tiket dan dirinya sudah mempersiapkan diri dengan tidur seharian tadi. Bukan tanpa alasan dirinya kembali ke Bogor dengan begitu tergesa. Ada sesuatu yang harus ia urus. Akan tetapi bila begini, tidak ada yang bisa diperbuat. Bram kemudian tersenyum. "Tapi ya gimana. Mertua sama my future wife memaksa." Meski ia harus merugi karena sudah terlanjur memesan tiket kembali malam ini, namun itu tidak masalah. Kesempatan seperti ini tidak boleh dilewatkan, bukan? Untuk itu Bram harus segera menghubungi banyak orang terkait hal ini. Terkait dirinya yang batal kembali tengah malam dan sudah berada di Bogor esok hari. "Kabarin Elsayang dulu kali, ya?" gumam Bram seraya merogoh saku jasnya. Ketika mengeluarkan ponselnya, Bram langsung berdecak sebal. Ponselnya mati karena kehabisan daya baterai. Lelaki itu kemudian menghela napasnya dan bangkit dari posisi merebah. "Charger di mobil pula." Maka mau tidak mau, Bram harus melangkah keluar mengambil charger-nya. Dirinya kemudian keluar kamar berniat untuk mengambil charger di mobil. Dirinya tidak tahu bila akan menginap jadi ketika dirinya ditawari untuk singgah, lelaki itu turun dari mobil tanpa membawa apapun. "Mau kemana, Bram?" Suara itu membuat Bram menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sofa. Nampak Vani tengah duduk di sana dengan laptop di atas meja. Gadis itu sepertinya tengah mengerjakan sesuatu. Vani juga telah mengganti pakaiannya dengan baju tidur yang nyaman. Bram berani bertaruh gadis itu pasti akan begadang mengerjakan sesuatu. Tadi Vani dan Flora memang masuk kamar terlebih dahulu. Sementara Bram berbincang dengan Bayu mengenai beberapa hal. Hanya perbincangan sebentar saja. Sekitar setengah jam. Bila situasinya tidak selarut ini, Bram yakin Bayu akan mengajaknya berbincang lebih lama. "Ini, mau nyari charger." Vani menatap ponsel di genggaman Bram. "Oh. Nggak bawa charger atau power bank?" Bram terdiam sejenak kemudian menganggukkan kepalanya. "Iya. Boleh pinjem charger. HP kita sama tipenya." Bram mengetahuinya karena tadi ia sempat melihat Vani memainkan ponselnya selama di perjalanan. Tentu saja Bram hafal dengan tipe HP di genggaman gadis itu karena ia cukup familiar dengan dunia gadget. "Iya, boleh." Vani menganggukkan kepalanya kemudian mengambil charger di dekat stopkontaknya. Bram melihat charger itu sedang digunakan. "O, lagi dipake?" tanya Bram seraya menghampiri gadis itu. "Nggak lagi dipake. Nggak papa pake aja." Vani kemudian menyerahkan charger tersebut kepada Bram. Bram terdiam sejenak dan kemudian menganggukkan kepalanya untuk menerima charger miliki Vani. Bram menatap layar laptop Vani sejenak kemudian menatap gadis itu. "Ngerjain apa?" Vani kemudian tersenyum. "Proposal untuk Pak Handoko." "Pak Handoko?" Bram rasanya tidak asing dengan nama tersebut. Ia berusaha untuk mengingatnya. "Pak Handoko yang dari perusahaan Oko Corp. ?"tanya Bram baru mengingat. Vani menganggukkan kepalanya. "Kamu kenal?" "Kenal banget. Beliau temen main badminton." "Temen main badminton?" tanya Vani. "Iya." "Loh, Bram. Disini?" Bram menoleh ke arah Bayu yang muncul membawakan sepaket pakaian tidur. "Iya, Om." Bram tersenyum terkejut kepada Bayu yang benar-benar meminjamkannya pakaian tidur. Vani menatap papanya kemudian menatap Bram yang masih mengenakan kemeja. Pasti terasa sedikti tidak nyaman apabila lelaki itu tidur dengan pakaian seperti itu. Pantas saja bila Bayu membawakannya pakaian tidur. "Ini. Pake ini aja, ya. Biar enak tidurnya." Bram kemudian menerima pakaian tidur itu. "Makasih banyak ya, Om." "Iya. Kalo butuh apa-apa. Bilang aja sama Vani, ya. Kamar kalian sebelahan soalnya." Bayu kemudian tersenyum manis. Bram pun berdiri kikuk menatap Bayu. "Makasih banyak, Om. Maaf ngerepotin." Bayu kemudian tersenyum. "Nggak papa. Om masuk dulu, ya." "Iya, Om." Bayu kemudian tersenyum menatap Vani sekilas dan melangkah pergi meninggalkan mereka. Bram menatap pakaian tidur yang diberikan Bayu. Dirinya kemudian menatap Vani. "Makasih ya, charger-nya." Vani menganggukkan kepalanya. "Sebenarnya aku penasaran sama hubungan kamu dan Pak Handoko," gumam Vani. Bram pun mengernyitkan keningnya. Dirinya menatap laptop Vani yang masih menyala. "Kak Vani mau begadang?" tanya Bram. Vani menganggukkan kepalanya. "Kalau gitu aku ganti baju dulu abis itu kita ngobrol." "Nggak papa?" tanya Vani. Ia sebenarnya merasa tidak enak dengan Bram bila sampai harus membuat lelaki itu begadang. Dirinya kadang tidak bisa mengendalikan diri bila sudah penasaran terhadap sesuatu. "Nggak papa," ucap Bram. --------------- Vani terbangun dari tidurnya dan kemudian langsung terkejut ketika menyadari bahwa ia tertidur di sofa. Dirinya kemudian melirik laptop yang layarnya mati. Dia pasti terlalu bersemangat bekerja semalam. Tidak, lebih tepatnya terlalu bersemangat berbincang bersama Bram. Lelaki itu juga tertidur di sofa sebelahnya. Mereka benar-benar ketiduran semalam setelah perbincangan yang cukup panjang. Vani pun membereskan berkasnya dan menutup laptopnya. Tadinya ia berniat mengerjakan disini bukan di kamar karena koneksi Wi-Fi ke kamarnya tidak begitu baik. Akan tetapi dirinya justru berakhir dengan berbincang bersama Bram hingga dini hari. Vani bahkan tidak ingat sampai pukul berapa dirinya berbincang dengan lelaki itu. "Tidur disini semalem?" Vani terkejut ketika mendengar pertanyaan itu. "Mama. Aku kaget." Flora kemudian menoleh ke arah Bram yang masih tertidur di atas sofa. Matanya membulat. "Kamu tidur sama Bram disini." "Diksinya nggak begitu, Mama. Aku dan Bram tidur disini. Kalo kayak gitu bikin salah paham." Flora pun hanya bisa membuka mulutnya. "Kamu begadang kerja? Terus ngajak Bram?" "Engga. Semalem ngobrol soal Pak Handoko sama Bram." Flora menghela napasnya. "Ya udah, Mama mau lanjut masak dulu." Vani menganggukkan kepalanya dan Flora pun berlalu. Vani pun bangkit dari duduknya dengan menenteng laptop dan berkas. Dirinya menatap Bram sejenak. Lelaki itu masih tertidur dengan tenang. Bahkan mereka berdua tidur tanpa selimut dan Vani mengakui bahwa dirinya merasa kedinginan. Ia yakin Bram juga pasti merasakan hal yang sama. Ia jadi merasa tidak enak terhadap lelaki itu. Seharusnya ia bisa menahan diri dan menanyakan mengenai Pak Handoko pagi ini. Hanya saja dengan semua informasi yang Vani peroleh dari Bram setelah perbincangan semalam membuat Vani merasa bahwa berbincang semalam adalah pilihan terbaik. Vani pun menghela napasnya. Lagi pula sudah terjadi dan rasa tidak enak Vani tidak akan mengubah kenyataan bahwa mereka tertidur di sofa. Vani pun berniat untuk melangkah meninggalkan ruangan tamu akan tetapi sebuah ponsel di atas meja bergetar dan menunjukkan panggilan masuk. Vani menunduk menatapnya. Itu bukan ponsel milik Vani dan sudah tentu itu adalah ponsel milik Bram. Panggilan masuk itu kemudian menghilang karena tidak diangkat dan menunjukkan notifikasi total 121 panggilan tidak terjawab. Total panggilan yang juga berasal dari penelpon yang sama. Vani kemudian menoleh kepada Bram. Sepertinya ia harus membangunkan lelaki itu. Bisa saja ada hal penting yang harus Bram ketahui. Ketika hendak melangkah mendekati lelaki itu, sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Bram. Vani menatapnya karena pesan tersebut muncul dalam bentuk pop up dan menampilkan seluruh isi pesan. Vani sangat sadar bahwa saat ini dirinya tengah bersikap lancang karena membaca pesan itu tanpa izin. Bahkan ia tidak memiliki hak untuk membacanya karena itu privasi Bram. Akan tetapi ia tidak sengaja membacanya. Pesan yang dari orang yang sama dengan yang menelpon Bram hingga 121 kali. Vani kemudian melangkah meninggalkan ruangan tersebut menuju kamarnya. Ia mengurungkan niatnya membangunkan Bram setelah membaca pesan masuk tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD